26 Januari 2013

Hari ke-22: Antara Hujan dan Madu Rasa


Minggu lalu, Jakarta dan beberapa kota sekitarnya lagi rajin-rajinnya mandi. Tuhan ingin kota kita bisa bersih. Daki-daki berwujud plastik, botol, dan kekotoran lainnya yang tersembunyi digilas hingga menyeruak tampak.  Selayaknya mandi, kita nyaris tak mungkin melakukan aktifitas lain secara beriringan. Kita tak mungkin mengetik sambil mandi. Kita tak mungkin rapat sambil mandi. Sementara waktu terus berjalan, mobilitas keruangan kita terhenti saat mandi.

Mandi membuat kita basah, dan terlalu lama basah ternyata bisa membuat kita lembek dan lemah. Penyakit pun ikut mewabah. Bukannya ingin tak bersemangat, tapi memang menggerak-gerakkan konstruksi yang lembek bisa saja menghancurkan, malah.

Hujan pada alam juga bisa menimbulkan hujan-hujan yang lain, di antaranya adalah hujan psikologis dan hujan ingus. Hujan psikologis berawal dari permasalahan-permasalahan hidup-seperti tekanan di kantor, atau judul skripsi yang lagi-lagi ditolak-dan memori serta perasaan melankolis yang menguap dari permukaan laut kehidupan menuju langit kejiwaan. Cuaca mood jadi mendung dan tak jarang jadi kelam berpetir. Untuk kita yang punya pawang, bisa saja hanya cuaca mendung itu saja yang terjadi, rintik air yang turun dari awan mata tidak serta-merta turun. Tapi, ketika kita tak punya acara-acara yang superpenting, pawang memang tak dibutuhkan, hujan airmata memang kadang harus dibiarkan turun. 

Sementara hujan ingus, turun karena gejala biologis pada semesta tubuh. Suhu dingin ketika dikawinkan dengan kekebalan tubuh yang rendah dan kurang dipupuk vitamin bisa melahirkan bibit-bibit influenza. Yang kemudian menguap menuju kerongkongan dan berubah menjadi rintik-rintik lendir. Sifatnya pun beragam, ada yang kental namun gerimis, ada juga yang cair tetapi deras. Keduanya sama-sama mengganggu, membuat mulut harus terus berpayung tisu. 

Kedua hujan petaka itu ternyata punya satu penawar yang sama: ‘’madu rasa’’. Pada hujan ingus, Madurasa--produk obat cair populer yang mengandung madu murni dengan rasa buatan--dielu-elukan sebagai panganan yang berkhasiat meningkatkan daya tahan tubuh dan mengembalikan semangat. Kentalnya lendir ingus sedikit-banyak bisa dirubuhkan dengan kentalnya si Madurasa. Derasnya rintik ingus juga bisa dibendung olehnya. Selain itu, rasa buatannya manis dan menyegarkan bisa sekaligus menjadi pupuk untuk mempercepat pertumbuhan rasa senang pada diri. Lumayan, untuk menambal lesu yang meruntuhkan. 

Kalau pada hujan ingus, ‘’madu rasa’’ sebagai obat adalah kata benda, maka untuk menangani hujan psikologis madu rasa mesti berupa kata kerja. Saat hujan melanda jiwa, cara ampuh untuk membuatnya reda adalah memadu rasa. Jelas, hal ini tidak mungkin kita lakukan sendiri, butuh pasangan.  Kepadanya, kita meleburkan, menyatukan, memadu seluruh perkara dan juga perasaan. Jadi, ketika awan sudah mendung menampung uapan  perkara dan perasaan dari laut kehidupan itu, hujan tidak turun di tanah sendiri, yang membuat kita basah kuyub seorang diri. Melainkan bisa kita bagi. Kita bisa mendaratkannya di pundak si dia atau Bahkan, hujan bisa saja tidak sampai ke ‘’bumi’’, karena rintiknya yang baru saja mencuat dari mata langsung disapu.  Memadu rasa bisa membuat hujan berakhir dengan senyuman pelangi. 

Jadi, selama musim hujan, mari kita pastikan stok Madurasa dan tempat untuk memadu rasa selalu tersedia.  Nah, kalau sudah percaya, mungkin kita juga bisa sesekali mencoba kedua 'madu rasa' itu sekaligus, memadu rasa sambil meminum Madurasa? seperti apa yah, sensasinya.. :p

……..
Tulisan ini semestinya tertanggal Sabtu, 19 Januari 2013. 

Hujan menimpa kota adalah hal biasa, tetapi kalau hujan sudah reda sementara ada kamu yang tetap basah kehujanan, mana bisa daku tega. :D

1 komentar

Fauzi mengatakan...

Ihirrr... Kirain madu rasa yang dimaksud yang minuman obat itu, ternyata...
Eh, salam kenal ya...

Posting Komentar

© blogrr
Maira Gall