25 Januari 2015

Menjadi Fotografer Konflik


Terhadap foto-foto konflik: ada yang acuh, ada juga yang pesimis. Di film ini, seorang fotografer konflik mencoba melawan pesimisme itu sambil menghadapi pertempuran hatinya sendiri.

Di tulisan ini saya ingin menceritakan kesan saya atas film A Thousand Times Goodnight. Disutradarai dan ditulis oleh Eric Poppe, diperankan oleh Julliete Binoche. Rilis pada 2013 lalu.

Alkisah, seorang pewarta foto wanita, Rebecca, memiliki renjana terhadap peliputan di daerah konflik. Demi mendapatkan foto yang kuat berkesan ia siap masuk ke area yang sangat berbahaya sekalipun. 

Ketika di Kabul, Afganistan, ia mengikuti prosesi perencanaan hingga peledakan bom bunuh diri oleh seorang warga perempuan setempat. Ia terus memotret hingga akhirnya bom pun diledakkan. Walau sudah menghindar beberapa meter dari si pelaku, kena juga ia imbasnya. Rebecca terluka hingga tak sadarkan diri.

Ia pun dipulangkan ke rumah. Awalnya sambutan keluarga terkesan ramah. Tapi, tak lama ia tahu bahwa anak dan suaminya menyimpan marah.

22 Januari 2015

Target Yang Melampaui Hasil

Lernen hat nicht immer ein Ziel, Aber immer ein Ergebnis
Ini adalah kartu pos yang dikirimkan Fertina. Saya terima minggu lalu. Munchner Volkschochschule adalah nama tempat Fertina kursus bahasa di Munchen sana.

Intinya, pepatah itu bilang kalau belajar itu bukan soal target, melainkan hasil.

Sesaat setelah menerima kartu pos ini saya kirim pesan ke Fertina, "quote di kartu posnya menohok!"

Kenapa menohok?

Ya karena bikin saya tersindir. Dalam proses belajar yang saya sedang jalani ini, saya belum menghasilkan sesuatu yang berarti. Paper tugas pun akhirnya cuma jadi tugas, saya nggak membuatnya jadi layak untuk dipublis. Masa iya, akhirnya, nanti, hasil kuliah yang saya bangga untuk dipublis hanyalah foto wisudaan? nggak mau!

Mari kita lihat. Akankah, mulai sekarang seorang Rizki akan jadi giat?

"SEMANGAT!"


18 Januari 2015

Ada Bayi Di Rumah


Tahun 2014 adalah tahunnya 'rumah sakit' bagi keluarga kami. Di awal tahun mamah sering sekali bolak-balik rumah sakit untuk mengantar nenek berobat. Walaupun nggak sering ikut, tapi cerita mamah membuat saya  merasakan betul suasana rumah sakit. Nenek akhirnya meninggal. Kami semua berkabung. Sejak itu, kami sudah nggak punya lagi nenek maupun kakek. Rumahnya di Serang sana yang kerap kami kunjungi kehilangan jiwa. Ia hanya menjadi bangunan belaka, yang ditumbuhi kenangan di halamannya. 

Lantas, beberapa bulan setelahnya, giliran om saya yang mendekam lama di rumah sakit. Om saya ini punya penyakit kambuhan, cukup sering dia harus dirawat inap. Tapi, yang kemarin itu ternyata menjadi kunjungan ke rumah sakitnya yang terakhir. Om saya itu tutup usia Oktober kemarin. 

Paduan antara 'rumah' + 'sakit' selalu menghasilkan 'kematian' saat itu. Di rumah pun, sering sekali kami kedatangan kucing sakit yang kemudian mati. Saya yang selalu menguburnya.Pernah tiba-tiba di dekat pagar rumah ada mayat kucing dewasa, ia seperti dibuang oleh seseorang. Soalnya, tak lama sebelumnya saya melewati pagar tak ada apa-apa. Pernah juga ada anak kucing yang tiba-tiba datang ke rumah, kakinya luka parah. Tulangnya terlihat. Saya mencoba merawatnya. Tapi tak lama, ia meninggal juga. Yang terakhir adalah anak dari kucing rumah. Ia sakit, lalu sekarat. Nggak bisa bergerak selama empat hari. Saya coba rawat, bahkan sampai dibawa ke dokter. Tapi, di hari ketiga perawatan ia mati. Saya menggali kubur lagi.

Hingga akhirnya, semesta ini membuktikan, bahwa paduan 'rumah' dan 'sakit' bisa juga membuat kami bersuka. Lepas dari duka. November lalu, kakak saya dirawat inap di rumah sakit. Bukan karena penyakit tapi, melainkan karena ia melahirkan. Kami semua berkunjung lagi ke rumah sakit, kali ini bukan untuk menjemput jenazah, tapi untuk menjemput anugerah.

© blogrr
Maira Gall