07 Juli 2018

Tanggal Cantik

Hari ini adalah tanggal 7 di bulan 7. Gue baru menyadari bahwa ini adalah tanggal cantik siang tadi.

Jadi, gue dan Rima hari ini punya rencana untuk survei satu tempat resepsi. Sebuah masjid di bilangan Cinere.

Namun, rencananya bertambah di pagi hari. Rima ngajak mampir ke sebuah gedung di Pondok Labu untuk test food sebuah jasa katering yang paling murah yang kami temui.

06 Juli 2018

"Ayat-ayat Cinta, Mah, Lewaat..."

Namanya Ulama A Manan. Ia mengaku sering menjadi guru ngaji dan menolak untuk dibayar. Ngajar ngaji atau dakwah, katanya, harus berdasarkan keikhlasan, sama seperti yang dilakukan Nabi Muhammad. Kalau pun ada yang ngasih imbalan, ia menganggap sebagai hadiah. Adalah salah besar kalau mematok nilai hadiah imbalan tersebut, kata pak Ulama.

Ia punya penghasilan dari berdagang dan jadi sopir ojek. Saya tadi jadi penumpangnya dan karena itu jadi kenalan dengannya, lalu lanjut mendengar kisah hidupnya semenjak ia tahu bahwa saya wartawan.

"Mas suka nulis?" kata bapak yang suka twitteran karena suka politik itu.

"Saya suka baca novel, Pak," saya menjawab.

"Saya punya cerita menarik. Bisa mas jadikan novel kalau mau."

05 Juli 2018

Menceritakan Rencana Nikah Ke Teman Dekat



Gue sempat bercita-cita untuk menyembunyikan rencana pernikahan dan baru memberi tahu orang banyak saat sudah dekat waktunya saja. Pertama, biar surprise. Kedua, biar gue terbebas dari perasaan bahwa gue mesti begini-begitu dalam mempersiapkan pernikahan. gue mau gue dan pasangan bener-bener menjiwai (rencana) pernikahan kami benar-benar dulu sebelum akhirnya orang tahu. Pun, ada resiko kita ketimpa jinx kalau menceritakan rencana.

Tapi menyembunyikan itu susah, ternyata.

Atau lebih tepatnya, menceritakan rencana pernikahan itu ternyata berfaedah.  Bikin lebih enteng dan mantep. Asal ke orang yang tepat ceritanya kali ya.

Gue sudah membuktikannya. Satu persatu temen dekat gue ceritain juga akhirnya. Gue cerita ke Dea, Abriani, Jeanett, Hira, Adi dan yang paling seru adalah saat cerita ke temen sebaya, yaitu Tito serta Lodar.

04 Juli 2018

Kesepakatan #64: Menunda Cerita Ke Media Sosial

"Aku punya ide. Kesepakatan kecil, yang menurutku penting."

 "Hah. apaan lagi?"

 "Setelah nikah, aku nggak mau kita langsung update apapun di media sosial. Cerita-ceritanya kita tunda sampe, hmm, dua minggu setelahnya. Gimana gimana?"

 "Ih, emang kenapa sih?"

 "Aku nggak mau aja kita pamer kebahagiaan sekilas-sekilas. Kalaupun mau cerita, cerita yang utuh. Dengan ngasih jarak dua minggu, kita punya waktu untuk mengolah momen-momen pernikahan kita dulu."

 "Deal" 


 *ps: Nomor kesepatakan dipilih acak. Bukan sebuah urutan.

01 Juli 2018

Pengumuman: Gue Botak!



Jelas, itu bukan pengumuman utamanya kecuali kalau kalian memang pengin tahu gimana gue menggunduli kepala ini di sore sebelum malam takbiran kemarin tanpa rencana yang bener-bener matang. 

Sekedar info saja, gue terakhir kali botak itu kuliah. Agaknya, momen lebaran pas untuk menjajalnya. Beberapa orang menganggap gue botak demi buang dosa, kembali ke fitri, atau habis umrah. Padahal, gue cuma iseng belaka. Pengen ngerasain suasana baru saja gitu sekalian ngejawab tantangan Rima yang sesekali ia bilang dengan nada gurau. 

Tapi, gue juga mengamini anggapan orang-orang tadi itu. Gue menyimpulkan, menggunduli rambut itu adalah tanda bahwa kita masuk fase baru, persis seperti apa yang gue akan lakukan SETELAH LEBARAN. 
Setelah lebaran adalah kata yang sering terngiang-ngiang di kepala gue tahun ini. Soalnya, Rima dan keluarganya waktu itu bilang bahwa pertemuan keluarga kami dilakukan setelah lebaran saja. "Momennya pas, suasana silaturahmi." 

Pertemuan keluarga ini adalah momen penting. Ya kan, ya dong? Ibarat naik gunung, ngajak nikah itu adalah pos pertama, minta restu ke orang tua itu pos kedua, dan pertemuan keluarga adalah satu pos sebelum pos summit. 

Dan pertemuan itu baru saja berlangsung tadi siang. 

Gue dan Rima membawa keluarga inti untuk makan siang bareng. Kami pilih tempatnya di sebuah restoran bilangan Ampera. Kami sudah reservasi tempat untuk 15 orang. Keluarga inti Rima 4 orang, keluarga gue ada 10. Namun akhirnya pasukan bertambah 4 karena mamahnya Rima ngajak Kak Riri dan Bang Gian, sepupu Rima. 

Kedua pasang orang tua kami set untuk duduk berhadapan. Tanpa perlu dipandu, papah dan ayahnya Rima langsung ngobrol sedari awal salaman. Untungnya, mereka punya latar belakang profesi yang nggakjauh beda. Sama-sama orang proyek kayak si Doel. 

Beres bertukar cerita tentang latar belakang keluarga dan pekerjaan, giliran gue mengeluarkan satu per satu kalimat yang sudah gue susun tadi pagi dan sudah disepakati Rima dengan catatan "Bagian kita pertama kali ketemu nggak usah diceritain lah, iuh." 


Yang menarik dari pertemuan tadi adalah gimana polah si Akang keponakan gue. Begitu rombongan keluarga Rima datang, Akang ciut. Ia melipir keluar dari meja dan merengek minta orang-orang pergi.  Akang malu

Hampir 20 menit Akang rungsing karena kenyamanannya terganggu orang-orang yang ia anggap asing. 

Namun, pelan-pelan kegelisahannya mereda. Ia mulai mau diajak gabung lagi walau tetap diam dan meminta hape untuk nonton YouTube. 

Nah, setelah beres makan, Rima beraksi. Ia menghampiri Akang, menggendongnya lalu mengajak Sabika (anaknya Kak Riri yang empat tahun) untuk ke halaman belakang. Ternyata, Akang mau! 

Sejurus kemudian, ia akrab dengan Sabika. Mereka melihat-lihat kolam, memberi makan ikan dengan nasi sisa, dan  main kejar-kejaran seperti nggak ada hari esok. 

Melihat polah Akang dan Sabika, gue membayangkan semesta sedang menyiratkan pesan penting. 

Lega, deh. :) 


© blogrr
Maira Gall