29 Februari 2016

Kebahagiaan


Kalau benar kebahagiaan bisa diciptakan, 
dimanakah toko yang menjual bahan-bahannya? 

Aku ingin mencipta kamu.

Akan ku buat kamu juga punya kemampuan untuk mencipta, 
sehingga kamu akan pergi juga ke toko bahan-bahan itu, 
lalu mencipta aku. 

Sehingga ketika saling menatap, kita menemukan kebahagiaan. 

Sehingga aku tak lagi perlu mengais-ngais kebahagiaan pada tumpukan waktu yang dibuang oleh keakraban yang berujung canggung; ciuman yang lebih baik tak jadi; dua tangan berhimpitan namun tak bergandengan; dan wajah manis yang tak bisa dicubit. 



(Cerpen) Mencuri Hati


Namaku Yunita, hari ini bekerja shift sore menuju malam. Tak ada yang harus kukerjakan hingga akhirnya pria itu datang. Pria yang kemudian bikin aku pengin membelek dadanya, mencuri hatinya

Pria itu datang diantar polisi dan beberapa pria lain yang mulutnya tak pernah sepi membahas kaitan antara azan magrib, motor, tukang bakso, persimpangan, jalan berlubang, dan kucing nyebrang

Dari cerita polisi, aku tahu kalau pria ini adalah petugas pos. Dari seorang pria yang ikut mengantar, aku tahu kalau pria ini adalah si baik hati dan pekerja ulet. Pernah suatu kali ada berkas tertinggal di tempat fotokopi miliknya, si pria ini mengantarkan, betapapun ia sudah memberi tahu kalau dokumen itu tidak penting.

Tak lama kemudian, datang seorang wanita. Ku dengar ia mencari-cari si pria ini. “Saya istrinya… Saya istrinya,” nada bicaranya resah penuh kebingungan

Sial, dia sudah beristri, pikirku

Lalu istrinya masuk ke ruangan kerjaku. Mengajak bicara suaminya, “Pak, besok si Eneng bagi rapot. Bapak, janji, lho, mau ngajak dia ke toko buku bekas depan sekolah kalau dapet rengking.” Suaminya tak menjawab satu kata pun. Orang-orang pun memanggil-manggil si istri untuk keluar ruangan

Akhirnya tinggallah aku dan si pria di ruangan

Saat itulah aku benar-benar bisa menatapi wajahnya. Pria ini tak tampan, tapi mukanya menyimpan banyak cerita bahagia. Kubuka matanya, duh, ini mata yang banyak melihat senyum, aku percaya

Saat aku ingin membuka kemejanya. Kutemui selembar kartu pos di sakunya, lusuh dan robek di tepi-tepinya. Isi pesannya semanis surat cinta sepasang kekasih yang baru sebulan pacaran. Setelah “salam rindu selalu” kulihat ada nama Yusuf, tertoreh di samping coretan yang menutupi nama di bawahnya. Nama yang sama seperti yang tertulis di atas saku kemejanya

Namaku Yunita. Dokter forensik yang hari ini bekerja shift sore menjelang malam. Aku jatuh cinta pada Yusuf, petugas pos yang tadi kuperiksa mayatnya. Ah, ya, nama kami serasi, Yusuf- Yunita

Yusuf sudah beristri, tapi tak apa, karena hanya aku yang bisa benar-benar mencuri hatinya. Jangan bilang siapa-siapa

26 Februari 2016

(Cerpen) Kartu Pos dari Seberang



Ini hari ketiga Yusuf ke rumah bertembok kuning berpagar kayu yang berhadapan dengan kavling dengan bangunan rumah yang sudah hancur setengah. Ia tetap tak mendapatkan seseorang pun yang keluar pintu dan membalas sapaannya

“Permisi! Pos!” sahut Yusuf

Sudah delapan setengah kali ia menyapa. Yang terakhir tak selesai karena ia dikagetkan sebuah mangga menimpa kepalanya, jatuh dari pohon yang rantingnya melintang di atas pagar

Di hari pertama kunjungan, Yusuf bingung bukan main. Alamat yang dituliskan tak hanya sulit dibaca, tetapi juga tak menampilkan nomor rumah. Nama gang pun baru Yusuf bisa baca setelah minta petunjuk istrinya, dua temannya, dan satu penjaga tempat fotokopi. Selebihnya, pengirim menyebutkan patokan rumah. “Depan rumah kosong, yang ada pohon mangga.” Untuk kiriman satu itu, Yusuf juga menjadi detektif pos

Kartu pos ia masukkan ke saku kemeja. Mangga tadi ia masukkan ke tas

Andai saja Yusuf tidak membaca isi pesan pada kartu pos itu, ia tak akan berusaha sekeras ini mengantar. Tapi Yusuf sudah terlanjur membaca surat telanjang itu, dan membuat Yusuf membayangkan kalau dirinya adalah si penerima pesan manis itu. Bahkan, Yusuf sampai punya ide untuk mengganti nama pengirim dengan nama istrinya, lalu mengalamatkan ke dirinya sendiri. Ia kirim lewat kantor pos lain yang agak jauh dari tempat kerjanya

Pak Gun, penjaga fotokopi tempat Yusuf menanyakan alamat di hari kedua, yang mendapati Yusuf begitu melempar pecinya. “Senyum sendirian aja, lu, Suf. Ajak peci gue, tuh. Kasian dari tadi dia bengong mulu.” Yusuf cengegesan

Di hari kelima Yusuf baru bisa balik ke alamat itu. Di ujung gang Yusuf berhenti, tak seperti biasa kali itu portal mengadang. Yusuf melihat, di rumah tujuannya ramai orang, sampai-sampai ada tenda dan banyak kursi

Di tepi portal ada janur kuning melintang. Yusuf membaca nama yang tertulis di situ. Satu nama persis dengan nama yang ada di kolom alamat kartu pos itu. Yusuf tersenyum

Sementara satu nama lagi, ternyata tak sama seperti nama pengirim kartu, tidak seperi yang Yusuf bayangkan. “Astaga naga,” Yusuf mengelus dadanya

(ilustrasi oleh: Made Wiryawan)
----
Pertama kali ditulis pada 15 Januari 2016 untuk program #30haribercerita
© blogrr
Maira Gall