07 Maret 2017

Menulis Bebas - Lupa

Aku tahu mengapa sekolah hanya mengajarkan kita untuk menghapal tapi untuk urusan melupa, kita mesti otodidak. Karena hilaf adalah sesuatu yang sangat mudah dilakukan. Butuh banyak usaha dan banyak waktu untuk bisa menghapal dengan baik. Tapi untuk melupa? kita hanya butuh sedetik pengabaian agaknya.

Kamu nggak percaya? coba saja tanya ke bakwan angkringan yang walau sudah digoreng tapi kuminta dipanggang lagi. Ia menyaksikan bagaimana seorang pemuda yang selalu luput dari percobaan menepati janji.

Teh jahe beserta puluhan rintik hujan yang tak sengaja masuk ke gelas juga ikut menyaksikan, betapa pemuda itu bahkan sudah menciptakan sebuah sistem untuk bertahan (baca: kabur) dari segala gundah yang menyerang. Kamu tahulah, segala kebaikan yang dilakukan manusia sebenarnya adalah caranya untuk membendung hasrat tercela yang muncul dalam dirinya. Omong-omong, kamu sadar sesuatu nggak? Antara kalimat pertama dan kedua di paragraf ini tidak ada hubungannya. Tapi, toh, tak perlu mesti sudah terikat dalam suatu hubungan dulu, kan, untuk bisa berada dalam satu barisan? Hidup ini belum segitu transaksionalnya kan?

Yang paling parah dari kasus seperti ini adalah ketika kita lupa kalau kita punya bakat menjadi pelupa dan belaga punya sistem pengingat yang jauh lebih canggih dari fitur reminder ponselnya.

Tolong guyur mataku dengan sambal angkringan Kebon Jeruk. Biar aku sadar, walau sudah banyak lagu tentang harapan untuk bisa lupa ingatan, tapi sampai kapanpun takkan keluar fatwa yang menghalalkan profesi pelupa profesional dijadikan cita-cita.






© blogrr
Maira Gall