18 Juli 2017

Menonton The Impossible

Ada empat alasan mengapa saya pengin menonton film ini. Pertama, Tom Holand. Pertama kali tahu film pun dari Tom Holland. Ketika saya sedang mencari tahu tentang film-film Tom, saya menemukan The Impossible sebagai film pertama yang dibintangi Tom sebagai aktor. Sebelumnya, ia sudah pernah terlibat di film sebenarnya, film garapan studio ghibli pula. Cuma aja, di film itu Tom hanya jadi pengisi suara.Saat menonton The Impossible ini, saya membayangkan tokoh Lucas yang diperankannya adalah jelmaan dari Peter Parker muda. Dia tangguh banget sebagai anak kecil, namun ada rapuhnya juga.

"Aku adalah anak yang pemberani, Bu. Tapi sekarang ini aku takut sekali," katanya di tengah-tengah banjir tsunami yang sudah menyeretnya jauh, tak lama setelah ((( akhirnya ))) ia bertemu dengan ibunya.

Kedua, Ewan McGreggor. Ya walau film ini masih berasa menye-menyenya, tapi nggak terlalu gamblang diceritakannya. Si sutradara apik membuat saya "merasa" tanpa perlu "mengetahui" sepenuhnya apa yang terjadi. Udah gitu, di film ini ada Ewan McGreggor! Saya sedang kangen film Beginners yang dia perankan. Tapi saya takut menontonnya. Maklum, di film itu saya akan menemukan dialog "make it easy to end up alone." Kalau kalian main Mobile Legends, maka kalimat itu sama sakitnya seperti serangan dari Karina. Ia selalu menghilang ketika menyerang, tapi dampaknya nyata sekali. Cepat pula ditinjukannya.

Saya pikir, dengan menonton film melankolis lainnya yang menampilkan Ewan McGreggor yang entah gimana parasnya itu melankolik sekali, saya bisa jadi merasa sedikit sensasi film Beginners.
Di film The Impossible, Ewan berperan menjadi si kepala keluarga. Sebelum ombak tsunami menumpasnya, ia sedang berenang bersama dua dari tiga anaknya. Ia adalah ayah yang hmm, lagi-lagi, kuat tapi pecah belah alias rapuh juga.

Semoga kalian belum lupa kalau di tulisan ini saya ingin menyebut empat alasan. Alasan ketiga adalah, karena ini film tentang keluarga. Saya sedang merasa perlu menerpa cerita-cerita tema keluarga agaknya, dengan alasan yang sebaiknya saya nggak sebut di sini. Kalau kalian tetep maksa pengen saya cerita, berarti kalian sama saja seperti anggota keluarga yang "jauh" tapi hobi betul mengajukan pertanyaan seolah merekalah yang menjalani hidupmu. Hhh~

Keempat, ini adalah film tentang bencana. Somehow, saya suka melihat bagaimana cara manusia bertahan diri di ujung hidupnya. Dan melihat apa yang mereka perjuangkan serta apa yang mereka lepas ketika kekuatan mereka sedikit. Ketika dalam bencana, tingkat kesadaran manusia terhadap kematian melonjak drastis. Beda dengan pernikahan, naik haji, naik jabatan, atau lolos seleksi; kematian adalah momen yang pasti terjadi, tapi agaknya tak pernah menjadi pencapaian siapa pun selama sedang hidup. Nah, di saat bencana manusia (kayaknya (aing belum pernah)) memikirkan kematian dua kali lebih sering daripada bernafas.

Di saat bencana pula, Tuhan dan semestanya membanjiri hidup dengan kemungkinan, sederas mungkin. Apakah ada batang pohon yang bisa dipeluk agar tak terbawa tsunami lagi; apakah akan ada Coca Cola yang bisa diminum ketika selamat; apakah anak itu akan bertemu ayahnya lagi; apakah jika turun dari mobil untuk kencing, sopir galak akan meninggalkanmu; semua hanya bisa dijawab dengan "mungkin."

Ada satu adegan yang saya suka dari film ini. Yaitu tentang bagaimana seseorang bisa menahan kematiannya demi memperjuangkan sesuatu. Ia seperti sudah melihat malaikat maut bilang "assalamualaikum", tapi ia berhasil menyuruh si malaikat menunggu di teras dulu, nggak langsung masuk ke dalam rumah lalu menjambret nyawamu.

Begitulah, pemirsa. Manusia hidup akan mati. Tapi manusia yang sudah terlanjur  hidup, akan terus menghidupi hidupnya. Semungkin mungkin.


18 Juni 2017

Yang Tak Lagi Terlewatkan Dari Malang



Saya pernah ke Semeru, dan karena itu saya melewati juga jalur yang dilewati para pelancong yang menaruh Bromo pada tujuannya. Tapi sampai 11 Juni 2017 saya belum pernah mengunjungi pegunungan mungil yang pemandangannya banyak betul didamba orang tersebut.

Perjalanan ini nggak ada di rencana saya. Betul-betul mendadak. Adik saya yang kuliah di Malang sakit. Mamah saya pengin menjenguknya. Karena kami sekeluarga nggak mungkin membiarkan mamah terbang sendiri, akhirnya saya ikut pesan tiket juga. Kebetulan saya sedang dapat shift libur dua hari berturut-turut.

Saya juga sudah sering ke Malang sebenarnya. Selain ke Semeru, saya pernah ke Pulau Sempu saat kuliah dulu, dan tahun lalu juga diminta liputan ke sini. Tapi kunjungan-kunjungan itu nggak membuat saya merasa akrab sama Malang. Itulah juga yang memicu saya untuk berangkat ke sana.

Rencana untuk cabut ke Bromo baru muncul setelah isya. Paska urusan-urusan pengobatan adik saya selesai dan ia terlihat membaik keadaannya. Di perjalanan pulang dari rumah sakit menuju penginapan, adik saya bercerita tentang pengalamannya berkendara motor menuju Bromo. Butuh empat jam perjalanan, katanya. Pun, nggak bisa sembarang motor. Motor matic punya adik saya terhitung renta untuk mendaki jalanan menanjak dan medan berbatu. Jadi, kalau pun saya mau berangkat, pilihan menggunakan motor mesti dicoret.

Saya banyak bertanya.

"Kalau ke Bromonya siang enak nggak sih? atau harus malam?"
"Di sana cuma enak lihat sunrise, yah?"
"Kira-kira ada travel nggak ya, Fal?" tanya saya kepada adik.


Pertanyaan yang nggak mesti dijawab. Soalnya, ya, udah pasti ada. Sekali ketik "Bro.." di kolom pencarian saja Google sudah menampilkan sederetan nama penyedia jasa antar ke Bromo.

Akhirnya saya impulsif mencari jasa travel dan open trip untuk berangkat ke Bromo malam itu juga. Cukup sulit ternyata, soalnya, semua jasa menerima paket rombongan. Kalau cuma sendiri, dihitungnya private tour, harganya di atas Rp 1 juta. Sementara budget saya kan cuma ratusan ribu.

Hingga pukul 20.00, akhirnya saya bertemu jasa travel yang punya teman sedang buka open trip ke Bromo. Biayanya Rp 400 ribu. Saya sanggupi.

"Nanti jam 12 malam, mas, dijemput ya di hotel. Pake jip," katanya lewat WhatsApp.

"Oke, sip."

Sambil menunggu jemputan jip, saya jajan teh jahe ditemani Malala pemberian dari Rima.[/caption]
Saya senang ikut open trip. Kami akan pergi rombongan, bisa saling kenalan, tapi nggak ada ikatan yang membuat kami mesti nempel terus-menerus. Saat di lokasi, ya bisa bebas misah, dan tiba-tiba ngumpul lagi.

Sambil menunggu jemputan jip, saya jajan teh jahe ditemani Malala pemberian dari Rima.
Saya senang ikut open trip. Kami akan pergi rombongan, bisa saling kenalan, tapi nggak ada ikatan yang membuat kami mesti nempel terus-menerus. Saat di lokasi, ya bisa bebas misah, dan tiba-tiba ngumpul lagi.

Peserta open trip kali ini ada lima orang termasuk saya. Dua orang adalah pasangan muda dari Jerman. Dua orang lagi adalah Nura dan Gina, mereka adalah pelancong solo, sama seperti saya.
Kami tiba di basecamp Bromo (Wonokriti) pada pukul 02.30. Demi menunggu waktu sunrise, kami mengudap indomie demi sahur sambil bercakap-cakap dalam bahasa Inggris. Maklum, ada bule.

Sahur pakai Indomie dan kurma. Kedua bule itu bawa bekal pisang dan belimbing. "There is no star fruit and dragon fruit in our country," katanya.

Sahur pakai Indomie dan kurma. Kedua bule itu bawa bekal pisang dan belimbing. “There is no star fruit and dragon fruit in our country,” katanya.

Saya agak sebal sama warung-warung di sana. Mahal betul menaruh tarif. Untuk memakai toilet saja mesti bayar Rp 5 ribu. Untuk makan Indomeie mesti bayar Rp 20 ribu. Siapa, sih, yang ngajarin kapitalisme sampe ke gunung, gini? hhhhh.

Saya juga nggak suka-suka amat sama sensasi di anjungan Penanjakan 1. Dinginnya minta ampun. Pemandangannya bagus banget, sih. Tapi keramaiannya itu, lho. Saya justru menemukan pemandangan yang suangat memanjakan mata setelah turun dari anjungan.

Matahari mulai terlihat terbit dari anjungan Pananjakan 1 Bromo pada pukul 04.45. Para bule yang berpasangan bisa biasa saja berpelukan, sementara kami yang pribumi cuma bisa iri dan menghangatkan tubuh dengan nyempil di keramaian saja. uhhh




Matahari mulai terlihat terbit dari anjungan Pananjakan 1 Bromo pada pukul 04.45. Para bule yang berpasangan bisa biasa saja berpelukan, sementara kami yang pribumi cuma bisa iri dan menghangatkan tubuh dengan nyempil di keramaian saja. hhhh  
Dari belakang-genic


Selanjutnya kami menuju Kawah Bromo yang mengharuskan kami berjalan lalu mendaki sekitar satu jam. Lumayan, rasa kangen naik gunung jadi terobati.

Saat melihat gurun pasir dan kuda-kuda saya jadi ingat novel Raden Mandasia. Saya ingat scene Loki Tua, Sungu Lumbu, dan Raden Mandasia berlari-lari dari kejaran prajurit. Sampai-sampai saya memfoto pemandangan di sana yang kayaknya mirip sama cover novel.

(Bukan) Loki Tua, Sungu Lembu, dan Raden Mandasia yang sedang dikejar prajurit Gerbang Agung.  

Ada yang janggal ketika saya sampai di puncak Bromo untuk melihat kawah. Saya keliyengan dan kaki saya sedikit bergetar. Haha. Baru kali itu saya ngeri sama ketinggian. Bahkan, saya sampai takut bergerak dan memutuskan duduk saja. Kalian mesti lihat suasana di sana, tempat jalannya sempit, hanya cukup empat kaki menyamping. Di sebelahnya ya sudah turunan curam. Parahnya lagi, nggak banyak pembatas yang bisa dipakai untuk berpegangan.

Sejak menghadapi gonjang-ganjing di kantor, saya pengen banget jalan-jalan, naik gunung. Rencananya usai lebaran. Tapi ternyata di tengah puasa pun bisa. #bahagiaadalah  

Jangan dulu mendamba Eropa kalau belum keliling Indonesia.  
Kami nggak berhenti di spot yang diberi nama Pasir Berbisik yang biasa dipakai untuk berfoto itu. Pikir kami, suasananya masih sama dengan pelataran gunung Bromo tadi. Jadi, kami minta langsung lanjut saja perjalananya. Baru di bukit Teletubies kami mampir dan berfoto-foto. Saya suka pemandangannya. Mengingatkan saya pada pemandangan alam bebas di New Zealand yang saya lihat dari internet. Suatu saat saya mesti ke sana dan mengirim kartu pos untuk siapapun dengan pesan "Indonesia tetap yang juara."

Ngeeeng
Bia dan Mari adalah pasangan, mereka datang dari Jerman. Sebelum ke Bromo mereka sudah ke Gunung Merapi dan Pulau Karimun Jawa. Sepulang dari Bromo ini mereka terbang ke Lombok untuk mendaki Rinjani. Lalu terbang ke Srilangka. Sebelahnya adalah Nura, awak kapal pesiar yang sedang libur. Berangkat dari Cirebon dan akan melanjutkan perjalanannya ke Bali setelah ini. Yang berkerudung merah adalah Nura. Mahasiswa. Berangkat dari Pati. Menyengajakan ke Bromo saat puasa. "Mumpung lagi dapet," katanya. Sementara yang paling ujung adalah.... si yang paling udah kehausan tapi nggak bisa minum.




24 April 2017

Pindah

 

blog ini tak akan lagi aktif. Saya pindah ke halaman baru. Mari berkunjung. :)

07 Maret 2017

Menulis Bebas - Lupa

Aku tahu mengapa sekolah hanya mengajarkan kita untuk menghapal tapi untuk urusan melupa, kita mesti otodidak. Karena hilaf adalah sesuatu yang sangat mudah dilakukan. Butuh banyak usaha dan banyak waktu untuk bisa menghapal dengan baik. Tapi untuk melupa? kita hanya butuh sedetik pengabaian agaknya.

Kamu nggak percaya? coba saja tanya ke bakwan angkringan yang walau sudah digoreng tapi kuminta dipanggang lagi. Ia menyaksikan bagaimana seorang pemuda yang selalu luput dari percobaan menepati janji.

Teh jahe beserta puluhan rintik hujan yang tak sengaja masuk ke gelas juga ikut menyaksikan, betapa pemuda itu bahkan sudah menciptakan sebuah sistem untuk bertahan (baca: kabur) dari segala gundah yang menyerang. Kamu tahulah, segala kebaikan yang dilakukan manusia sebenarnya adalah caranya untuk membendung hasrat tercela yang muncul dalam dirinya. Omong-omong, kamu sadar sesuatu nggak? Antara kalimat pertama dan kedua di paragraf ini tidak ada hubungannya. Tapi, toh, tak perlu mesti sudah terikat dalam suatu hubungan dulu, kan, untuk bisa berada dalam satu barisan? Hidup ini belum segitu transaksionalnya kan?

Yang paling parah dari kasus seperti ini adalah ketika kita lupa kalau kita punya bakat menjadi pelupa dan belaga punya sistem pengingat yang jauh lebih canggih dari fitur reminder ponselnya.

Tolong guyur mataku dengan sambal angkringan Kebon Jeruk. Biar aku sadar, walau sudah banyak lagu tentang harapan untuk bisa lupa ingatan, tapi sampai kapanpun takkan keluar fatwa yang menghalalkan profesi pelupa profesional dijadikan cita-cita.






© blogrr
Maira Gall