"Tak lama lagi aku akan bermain di sebuah konser orkestra."
"Bagaimana perasaanmu?"
"Senang sekali, karena ini adalah mimpiku."
"Oh, berarti tak lama lagi kau juga akan punya mimpi baru."
Kira-kira begitulah percakapan antara Philips, pria berhati dingin dengan Lina, celloist tuna netra dalam film Ganz nah bei dir yang saya tonton di Goethe Haus kemarin. Kalimat tanggapan Philips tersebut diucapkan dengan datar, tanpa intonasi, dan spontan, bahkan ketika saya mendengarnya, sedikit terasa seperti ejekan. Philips tak mengapresiasi Lina yang pastinya sedang sibuk berlatih untuk mempersiapkan konser besarnya itu. Serta merta ia malah bilang kalau Lina akan punya mimpi baru setelahnya.
Walau ucapannya dingin dan singkat, tapi jawaban Philips itu cukup membekas. Baik di hati Lina (terlihat dari ekspresi sedikit kagetnya) dan si gue ini. Philips benar, ketika satu impian besar akan kita selesaikan pencapaiannya, kita harus memikirkan impian apa yang selanjutnya kita raih.
Posting ini adalah penanda kalau program 30 Hari Bercerita sudah rampung gue ikuti. Walau tersendat dan molor, tetapi gue tetap ingin berusaha menuntaskannya, sampai hari ke-30. Ya, setidaknya, walau nggak bisa strict pada 30 Hari rutin menulis, seenggaknya gue bisa menulis 30 cerita. Dan karena keterlambatan itu pun gue menjadi malu. Malu sama diri sendiri gue sendiri karena nggak konsisten untuk rutin menulis. Serealistis apapun hambatan untuk menulis, ya, gue tetep malu. Kalau kata, Mbak Gina, gue nggak punya sense of urgency. Akibatnya, jadi selalu memaklumi dan menunda-nunda deh. Penyakit!