14 Februari 2013

Hari ke-30: Epilog sekaligus Prolog



"Tak lama lagi aku akan bermain di sebuah konser orkestra."
"Bagaimana perasaanmu?"
"Senang sekali, karena ini adalah mimpiku."
"Oh, berarti tak lama lagi kau juga akan punya mimpi baru."

Kira-kira begitulah percakapan antara Philips, pria berhati dingin dengan Lina, celloist tuna netra dalam film Ganz nah bei dir yang saya tonton di Goethe Haus kemarin.  Kalimat tanggapan Philips tersebut diucapkan dengan datar, tanpa intonasi, dan spontan, bahkan ketika saya mendengarnya, sedikit terasa seperti ejekan.  Philips tak mengapresiasi Lina yang pastinya sedang sibuk berlatih untuk mempersiapkan konser besarnya itu. Serta merta ia malah bilang kalau Lina akan punya mimpi baru setelahnya. 

Walau ucapannya dingin dan singkat, tapi jawaban Philips itu cukup membekas. Baik di hati Lina (terlihat dari ekspresi sedikit kagetnya) dan si gue ini. Philips benar, ketika satu impian besar akan kita selesaikan pencapaiannya, kita harus memikirkan impian apa yang selanjutnya kita raih. 

Posting ini adalah penanda kalau program 30 Hari Bercerita sudah rampung gue ikuti. Walau tersendat dan molor, tetapi gue tetap ingin berusaha menuntaskannya, sampai hari ke-30. Ya, setidaknya, walau nggak bisa strict pada 30 Hari rutin menulis, seenggaknya gue bisa menulis 30 cerita. Dan karena keterlambatan itu pun gue menjadi malu. Malu sama diri sendiri gue sendiri karena nggak konsisten untuk rutin menulis. Serealistis apapun hambatan untuk menulis, ya, gue tetep malu. Kalau kata, Mbak Gina, gue nggak punya sense of urgency. Akibatnya, jadi selalu memaklumi dan menunda-nunda deh. Penyakit!

09 Februari 2013

Hari ke-29 Fertina: 12 Tahun dan Seterusnya di 'Hogwarts'


Sudah sejak kelas 5 SD cewek yang kini berusia 23 tahun ini mulai mengikuti cerita karangan JK Rowling: Membaca dengan seksama setiap novelnya, menonton filmnya, sesekali mengikuti kegiatan di komunitas fans, mengoleksi segala hal yang berhubungan dengan Harry Potter. 

“Harry Potter sebagai buku dan kisah itu adalah saksi perkembangan hidup gue!” ujar Muggle pemilik nama Fertina ini. 

Saya pun takjub. Ternyata seru banget yah hidupnya orang yang punya hasrat dan adiksi besar terhadap cerita fiksi. Semenjak kenal dengan Fertina, saya banyak dilibatkan dengan cerita-cerita serunya tentang Harry Potter. Sejak 12 tahun lalu litulah, Fertina mengumpulkan material-material dari dunia rekaan JK Rowling dan membangun Hogwart-nya sendiri di kesehariannya. Tak hanya kamarnya yang penuh dengan poster bertema Harry Potter, sudah banyak ruang dalam diri dan kehidupannya yang dilekati Harry Potter dan dunianya.

Untuk itulah, di posting kali ini saya mengundang langsung orangnya untuk ngobrol-ngobrol santai dan bersahaja. Biar nggak saya doang yang ketularan. Hahaha. Mari kita, yuk ah! 

Ceritain dong, gimana sih awalnya lo kenal sama Harpot. Apa yang membuatlo tertarik untuk membacanya? Padahal saat mulai membacanya lo masih kelas 5 SD. Anak 5 SD kan nggak suka baca buku tebel-tebel, apalagi saat itu lo masih gendut. :p  

Selamat siang ya, mas Rizki, masnya lancang sekali bawa-bawa masa lalu saya! Justru karena gendut itu, salah satu pengaruh Harpot yang membekas di gue. Jadi dari awal itu gue nggak bisa banyak main di luar rumah, karena rumah gue dulu di pinggir jalan raya dan jauh dari rumah teman-teman. Jadi, deh, larinya ke baca. Masih baca buku-buku fantasi juga sih kebanyakan. 

05 Februari 2013

Hari ke-28: Uang dan Pencapaian




“You see, if you don’t take money they can’t tell you what to do. That’s the key to the whole thing, don’t touch money! It’s the worst thing you can do. 
Money is the cheapest thing. Liberty is the most expensive.”


Terlalu klise memang kalau kita menyatakan diri menolak kebutuhan akan uang sementara konstruksi sosial atas pencapaian hidup sudah begitu kuat terbentuk. Terlalu banyak pesan yang membombardir hasrat kita. Iklan-iklan di media massa, obrolan dengan teman sebaya mengenai pencapaian hidup, imaji hidup enak yang ditampilkan film, serta petuah-petuah orangtua mendominasi pikiran kita.  Semua tuntutan-tuntutan itulah yang akhirnya membuat kita merasa harus mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, bahkan hingga mengesampingkan hasrat dan pencapaian kita yang sesungguhnya. Kita bersusah-susah mengumpulkan uang untuk bisa menganggap kalau kita bisa dengan mudah menghabiskan uang. 

Tak bisa dipungkiri, sedikit banyak, pikiran saya pun terkontaminasi. 

04 Februari 2013

Hari ke-27: Kebiasaan Menulis Keseharian dan Para Penerbitnya


Bagi saya, menulis adalah medium bercerita yang paling asik. Apalagi saya memang nggak pandai berbicara, menulis adalah opsi yang paling tepat. Saat menulis saya nggak berinteraksi secara langsung dengan si komunikan, saya sendirian. itulah mengapa dengan menulis saya lebih lepas berekspresi. 
Kegiatan tulis-menulis (yang bukan menulis pelajaran sekolah atau kuliah pastinya :p ) saya mulai sejak SMA. Intensitas serta kualitasnya pun berprogres. Diawal-awal saya cuma biasa menulis cecoretan sederhana yang tak terstruktur bentuknya, lalu di tahun kedua ketiga kuliah saya mulai berlatih tak cuma menuliskan perasaan saja melainkan juga gagasan dan pengalaman, apalagi saat itu saya berkenalan dengan Multiply dan Blogspot.

Setelah fase itulah saya pun memantapkan diri untuk menjadikan tulisan sebagai medium saya bercerita, baik bercerita untuk khalayak maupun bercerita untuk diri sendiri. Sejak itulah saya merasa yakin kalau menulis tentang keseharian itu penting! Alasannya, menulis membuat saya bisa lebih memahami diri sendiri, untuk menulis kita harus tahu apa yang kita alami dan rasakan. Setiap kata yang keluar seolah menjadi tangga untuk saya turun ke dasar diri dan mendalaminya. Kedua, tulisan itu tidak temporer sifat wujudnya, karena itulah menulis adalah dokumentasi. Rekam jejak kehidupan. Dengan menulis keseharian, kita jadi punya mesin waktu, kita bisa kembali merasakan pengalaman masa lalu di masa sekarang dengan hanya membaca tulisan kita di masa lalu itu. Dan setelah dilakukan, saya pun jadi tahu, bahwa menulis ternyata adalah kebutuhan.  

Nah, tentunya, bagi saya, kesadaran dan semangat menulis itu nggak muncul begitu saja, melainkan tersulut dari cerita dari orang-orang yang rajin menulis, dan tulisan kesehariannya begitu menarik serta menginspirasi. Siapa sajakah mereka? Sekiranya, ada tiga yang percikannya cukup besar dalam mempengaruhi saya untuk menulis. Mereka adalaaah…. 

1. Pidi Baiq 

Perkenalan saya dengan Pidi Baiq terbilang unik. Saat itu saya membeli Drunken Monster dengan pertimbangan bahwa dia adalah lulusan FSRD, anggota band The Panas Dalam dan di bagian kata pengantarnya seorang Dosen Filsafat lah yang menulis. Saat itu saya memang sedang butuh bacaan yang… uhuk… filosofis. Kebutuhan itu pun bukan  tak terpenuhi begitu saja ketika ternyata Drunken Monster ternyata berisi kumpulan cerita keseharian Pidi Baiq seorang. Dominasi humor dalam cerita dirinnya yang memang konyol dan seperti selalu punya pikiran yang autentik ternyata banyak  menyelipkan makna yang mendalam dan filosofis. Pidi Baiq membuat saya memikirkan lagi tentang esensi hidup. 

03 Februari 2013

Hari Ke-26: Sulvi





Sebutlah ini cerita yang gagal. Karena pada awalnya, saya ingin bercerita tentang kosan saya dulu di Jatinangor yang menjadi sanctuary. Tempat yang saya anggap paling nyaman, tenteram, damai, dan disanalah saya bisa maksimal menikmati hidup sebagai diri saya sendiri. Tak hanya asik untuk bersendiri ria, pada kosan bertajuk Pondok Melati inilah sebentuk kenyamanan itu juga terwujud pada persahabatan kami, belasan anak cowok yang tinggal bersama di bawah satu atap selama lima tahun, bahkan lebih.  Semenyebalkan apapun kepemerintahan si bapak kos dan antek-anteknya, Pondok Melati tetaplah rumah bagi saya. 

Tapi tapi tapi… saat sedang mengumpulkan memori tentang suasana kosan, penelusuran saya terhenti pada folder foto bernama Sulvi. Buyarlah semua rencana bernostalgia dan mengagung-agungkan romantisme si kosan saya itu sebagai sanctuary. Cerita jadi berputar arahnya, si Sulvi justru jadi tokoh sentral yang akan dikedepankan dalam posting ini. 

Memang siapakah seonggok Sulvi itu? 
© blogrr
Maira Gall