29 Desember 2014

Menyelamatkan Ikan Yang Tenggelam di Lautan


...hanya karena kita khawatir ikan lupa caranya berenang

































...
Dinukil dari momen-momen saat ke Pulau Pari, Mei 2014 lalu, bersama kawan-kawan kantor. 

03 Desember 2014

Menolak Ciut

Sekarang ini, hidup adalah perkara menakut-takuti ketakutan, agar ia takut bergelayut, agar diri mantap bergelut menolak ciut.  

01 Desember 2014

Membuat Zine Itu Meningkatkan Daya Tarik (?)

Hahaha. belum juga menulis tapi saya sudah tertawa. Maklum, ini sungguh lucu. Bikin geli, tapi ya emang nyata. Ini adalah soal zine, yang ternyata ada kesepakatan umum di antara para pegiat zine, bahwa membuat zine bisa meningkatkan daya tarik  di hadapan siapa pun yang kita menaruh hati padanya.

Kemarin, di sesi Ngomongin Zine, ada sejumlah pegiat zine yang berseloroh kalau zine  cukup ampuh untuk memikat hati seseorang. Motivasi (baca: ceng-cengan) untuk temen yang single kerap diberikan, "Tuh tuh, manis tuh, coba lu samperin, pura-puranya ngasihin zine dulu. terus kenalan deh."

Selain itu, sesi woro-woroin zine, via media sosial atau bagi-bagiin di gigs misalnya, sedikit-banyak bikin kita jadi pusat atensi. "ih apaan tuh. apaan tuh. Mau doong. Ini lu yang bikin? Waaaa! ini gratis? beneran gue boleh bawa? Waaaaa"

Haha!

17 Oktober 2014

Satu Waktu



...Terpaksa menunggu hingga satu waktu kita bertemu...
Kan ku ceritakan semuanya padamu gelisah itu...

Pulih nanti... Pulih nanti...


Belum lama lalu, saya menonton lagi film Janji Joni. Suka banget dengan seluruh isi film ini: ceritanya yang ringan dan ajaib; para cameo dan pemain utama; dan tentunya soundtracks-nya. Seluruh lagu-lagu band indie di film ini hip di masa akhir saya SMA. Saya termasuk pendengarnya. Selain lagu Sajama Cut yang Less Afraid, lagu Satu Waktu di atas adalah lagu yang paling berkesan. Semacem nancep di hati. Seolah diciptakan untuk mengerti saya yang emang sedang  menunggu 'satu waktu' sambil dirubung gelisah. Haha. 

Menurut penelusuran lagu yang di film dinyanyikan oleh band-nya Rachel Maryam, Fedi Nuril, Imam Fatah, dan Henry Foundation itu ternyata aslinya dibawakan oleh Rebecca Theodora, yang pada masa film itu dibuat dikenal sebagai vokalisnya Goodnight Electric dan The Upstairs. 

Selamat menikmati 

06 Oktober 2014

25 dan Kekosongan



Kosong!

Itulah yang didapati oleh Walter Mitty di frame urutan ke-25 dari sheet film kiriman  Sean O'Connell, sang fotografer lepas langganan majalah LIFE, tempat Walter bekerja. Padahal, foto ke-25 itulah yang Sean inginkan untuk dijadikan cover edisi terakhir Life. Mengikuti arus zaman, LIFE memilih untuk melakukan transisi. Pindah dunia, dari bentuk yang berwujud menjadi maya alias online. Karena itulah foto ke-25 itu bukan hanya penting, tetapi akan menjadi fenomenal. Bahkan Sean sendiri menyebut foto ke-25 itu adalah The quintessence of Life.

Semua awak LIFE jelas kecewa dengan transisi besar-besaran dan mendadak itu. Namun, hanya satu yang paling kena imbasnya, yaitu Walter. Sebagai penanggung jawab arsip film-film negatif, Walter mesti menemukan foto di frame ke-25 itu. Mencari intisari “hidup”.

Cerita serupa tapi tak sama juga dialami lebih dulu oleh Biksu Tong dan Kera Sakti. Terbalik dengan Walter Mitty, mereka justru menemukan kekosongan setelah melakukan perjalanan sangat jauh. Bahkan harus berhadapan banyak siluman. Setibanya di tempat bertahtanya Sang Budha di India sana, Biksu Tong akhirnya mendapatkan anugerah yang selama ini ia cari, yaitu kitab suci. Tapi betapa kagetnya Biksu Tong ketika membuka lembar demi lembar kitab tersebut. Kosong melompong. Tanpa satu aksara pun.

Menemukan kekosongan selalu membuat kita kecewa. Seperti Walter, Biksu Tong juga kecewa bukan main. Sang Buddha malah tersenyum melihat ekspresi Biksu Tong, ia pun menjelaskan. “Kitab tanpa aksara itulah kitab yang sejati,” katanya.

Kekosongan adalah kesejatian.

Dalam buku Titik Nol—sumber saya membaca kisah Biksu Tong tersebut—si penulis, Agustinus Wibowo, menyimpulkan kekosongan seperti yang ditemukan oleh Biksu Tong itu adalah alasan untuk kita mencari. Bahwa dalam hidup ini memang ada “sesuatu” yang tak bisa dijelaskan dengan bahasa atau pun berjuta-juta aksara, tidak dapat dinalar dengan berlaksa bahasa. Sesuatu yang agung. Sesuatu yang menyimpan segala misteri.

Bagi Agustinus, perjalanan adalah jawabannya. Karena dengan perjalanan, kita akan mengalami, merasakan, dan menemukan. Terus begitu. Bisa jadi, karena terinspirasi dari filosofi itu, Agustinus Wibowo memilih menjadi musafir selulusnya ia kuliah. Ia berkelana dari Cina menuju Nepal, Tibet, lalu pindah ke India, Pakistan dan Afganistan. Semua ia lakukan lewat jalur darat dan sendirian.           

Tak beda dengan Agustinus, Walter pun nekat berangkat demi mencari pengisi kekosongan frame ke-25 itu. Petualangan akbar yang nekat dan spontan... dan ekstrem pun ia amalkan. Ia menyebrangi benua, naik helikopter yang dikemudikan oleh pilot mabuk, lompat ke laut lepas lalu diserang hiu, menyusuri Islandia dengan longboard dan lari menghindari abu vulkanik Eyjafjallajökull. Namun itu rupanya belum bisa membuat  Walter menemukan Sean.

Walter pulang ke Amerika. Menyerah.

Petinggi LIFE pun memecat Walter, seperti karyawan-karyawan lainnya. Kegagalan Walter dilengkapi lagi dengan kesedihan. Di kepulangannya itu pula, ketika Walter berharap bisa mendapatkan secercah bahagia dari Cheryl, wanita yang ia suka, Walter kembali dikecewakan. Saat mengunjungi rumah Cheryl, Walter disambut oleh mantan suaminya. Pikirnya Cheryl sudah rujuk lagi dengan suaminya. Kian kandaslah Walter. 

Namun, ternyata semesta tak ingin Walter berhenti. Intisari Life mesti terus dicari. Di rumahnya, Walter mendapati satu lagi petunjuk penting. Ternyata Sean pernah berkunjung ke rumahnya dan berbincang panjang dengan Ibunya Walter. Dari situlah diketahui bahwa Sean kini sedang berada di Himalaya untuk memotret macan tutul salju. Kontan Walter pun bergegas. Tas ransel serta notebook pemberian almarhum ayahnya disiapkan beserta perlengkapan lainnya. Untuk kedua kalinya perjalanan akbar yang nekat dan spontan... dan ekstrem diamalkannya. Karena kekosongan di angka 25 itu. Demi mencari intisari hidup itu.

Kembali Walter menyebrangi benua. Bus yang penuh sesak dan hiruk pikuk ia tumpangi, bersama dua pendaki lainnya, Walter menapaki Himalaya yang (sangat) dingin itu. Hingga akhirnya, seperti yang disangka, Walter pun menemui Sean di ujung pendakiannya. Ia benar sedang membidikkan kameranya, menunggu munculnya si macan tutul salju. Walter terpana dan terkejut ketika menemui Sean, apalagi ketika mendengar jawaban Sean soal keberadaan foto di frame ke-25 itu.

Ternyata foto di frame ke-25 itu disisipkan oleh Sean di sebuah benda yang belakangan itu selalu di bawa-bawa oleh Walter, termasuk ketika dalam petualangannya mencari Sean ke Islandia. Astaga!

Kekosongan di angka 25 itu akhirnya menemukan isinya. Setelah berbagai petaka dan nestapa, akhirnya yang disebut sebagai The quintessence of Life itu berhasil dicari. Saya tak ingin memberikan spoiler untuk yang belum menonton film ini, namun, singkatnya, apa yang dicari oleh Walter adalah dirinya sendiri. Kekosongan yang menjadi krisis di masa transisi besar-besaran Life membawanya ke petualangan yang ternyata adalah petualangan untuk menemukan dirinya sendiri.

Kekosongan pada kitab hidup ini sesungguhnya adalah panduan yang agung. Kekosongan membuat kita mencari. Pencarian membuat kita berjalan. Perjalanan menawarkan kita untuk bertualang. Petualangan menuntut kita untuk berjuang. Perjuangan akan menghadiahkan kemenangan.

“Bukan kitabnya yang penting, tetapi hakikat kehidupan yang ditemukan dari perjuangan perjalanan.” Itulah kesimpulan Agustinus

Sementara dalam film The Secret Life Of Walter Mitty, Perjalanan, pencarian, petualangan dan perjuangan mengisi kekosongan frame ke-25 yang begitu penting untuk sebuah transisi besar-besaran disimpulkan sebagai suatu usaha untuk mencapai tujuan hidup. Kesimpulan tersebut persis seperti moto majalah LIFE, “to see the world, things dangerous to come to, to see behind walls, draw closer, to find each other, and to feel. That is the purpose of life.”

Jadi, sudah seberapa banyak dunia yang kita lihat? Sudah cukupkah rasa yang kita cicip? Sudah sedekat apakah kita dengan hidup? Sudahkah kita mendapati makna dan menemukan diri kita yang sejati?

Mari kita berdoa, semoga kita selalu diberi semangat untuk mengisi dan memaknai kitab kosong kehidupan ini, dan tentunya punya stok kesabaran untuk menghadapi berbagai krisis masa transisi. Semoga Tuhan dan semestanya menujukkan kita ke jalan yang lurus seru.


-Rizki Ramadan

Yang setahun kebelakang sudah menjalani usia ke-25, menghadapi krisis masa transisi, dan di umurnya ke-26  ini berharap bisa terus mencari dan menemukan The quintessence of Life-nya. Selamat 28 April.

....

Tulisan ini dibuat untuk merayakan ulang tahun saya yang ke-25 kemarin. Tulisan ini juga saya cantumkan di KARTU POSTer yang saya kirimkan ke beberapa teman dekat saya. Terima kasih sudah mau baca celotehan (yang mungkin terasa klise) ini. :D




02 Oktober 2014

#Artikel - Bisnis Plesetan (nan Slengean) a la Kamengski



Dengan plesetan visual, Kamengski membuat pemuda urban gemar dengan Firdaus Oil, Meggy Z dan Nike Ardila

Kita tentu sepakat, bahwa di kalangan pemuda kelas menengah macam kita-kita ini, produk bermerk Firdaus Oil pasti ditampik. Kita menyadari keberadaannya sebagai minyak penumbuh bulu, tapi sangat jarang sekali menggunakannya. Begitu juga Meggy Z. Agaknya, jarang ada pemuda kekinian yang peduli dengan pedangdut Anggur Merah tersebut. Sebenarnya, Firdaus Oil dan Meggy Z tak beda dengan Pomade dan Elvis Presley. Semuanya bagian dari budaya popular. Hanya saja, mereka ngepop di dua kelas masyarakat yang berbeda. 

21 September 2014

#Artikel - Self-Published Your Photobook and Be Happy



Di era kemajuan teknologi, industri percetakan dan sosial media ini, rasanya tiap pehobi fotografi perlu menjadikan penerbitan buku fotonya sendiri sebagai pencapaian. Selain akan membahagiakan diri sendiri, ini penting untuk memperkaya referensi fotografi.


Kalau kita berkunjung ke toko buku dan melihat rak koleksi buku-buku fotografi, pasti yang banyak kita temui adalah buku-buku panduan teknik fotografi. Mulai dari panduan fotografi dasar, teknik pencahayaan, hingga panduan menguasai digital imaging dalam waktu singkat. Sementara buku fotografi yang berisi kumpulan karya foto dengan tema tertentu dari seorang fotografer sedikit sekali mengisi rak. Kalau pun ada pasti harganya mengejutkan. Kebanyakan harganya di atas Rp 300 ribu. Niat untuk mengoleksi buku foto, memperkaya referensi foto, dan mengapresiasi karya fotografer pun mau tak mau harus ditunda. 

15 September 2014

15 September 2014



Jerman menang. Jokowi unggul
Sekarang kamu terbang. Nanti aku nyusul. (Amiiiin)





Doa dan cinta selalu menyertaimu
Be strong and Viël gluck, F. :D

04 September 2014

Yang Buru-Buru Datang


Kamu Belum Pergi 
Tapi 
Rindu Sudah Datang 

16 Agustus 2014

Lebaran 2014. Lebaran Serba Pertama



Lebaran tahun ini serba pertama. Karena keluarga kami belum lagi punya mobil maka kami naik kereta. Ya, sepanjang sejarah berlebaran sejak saya lahir, tahun ini adalah kali pertama saya merasakan mudik naik kereta.

Sebenarnya bisa saja kami menumpang bus atau menumpang kendaraan pribadi milik saudara. Tapi karena si papah sebelumnya udah nyoba naik kereta ke kampung kami, Maja, Rangkas Bitung, dan papah sangat terkesan sekali dengan kenikmatan berkereta maka kami pun digoda untuk menjajalnya juga. Bukan cuma keluarga saya ternyata, dua keluarga lain yang tinggal di Jakarta pun ikut menjajal naik kereta. Mobil mereka titipkan di stasiun Palmerah. Sementara keluarga saya naik dari stasiun Sudimara, sekitar 15 KM dari rumah. 

Untuk sampai ke stasiun Maja, tak perlu waktu lebih dari sejam. Asiknya, turun dari stasiun Maja kami cukup berjalan kaki saja untuk mencapai rumah Abah dan Ibu (kakek-Nenek saya yang sudah almarhum). Asiknya lagi, kereta lowong sekali. Kami tak perlu merasakan bersesak-sesakan seperti yang kerap diberitakan tv di kereta-kereta mudik. 

Seperti tahun-tahun sebelumnya ritual lebaran di Maja adalah makan siang bersama-ziarah ke makam abah dan Ibu, makan-makan lagi, main petasan, saweran dan bagi-bagi 'persenan'. Tak banyak waktu yang kami habiskan di halal bihalal hari pertama lebaran itu. Sampai di Maja pukul 11.00, pukul 15.30 kami sudah  menumpang mobil Uwa'berangkat menuju Serang, ke kampung halamannya Mamah. 

Mamah dan Rinda, adik saya duduk di bangku kereta menuju Maja. Kereta yang berharga tiket Rp 8.000 ini sepi. Enak deh pokoknya. Sekadar perbandingan, jika kami naik bus. Ongkos yang dikeluarkan bisa mencapai Rp 30.000 per kepala


Suasana stasiun Maja setibanya kami di sana. O ya, saya baru tahu  loh ternyata saudara saya yang lain menumpang kereta yang sama. Hanya beda gerbong.  



Rumah Abah dan Ibu ini luas sekali. Dulu, rumah ini lebih panjang dan luas, tapi bangunan yang dulu membentuk huruf U itu sekarang ditebas salah satu sisinya. Di belakang rumah itu masih ada kebun yang luasnya selapangan futsal deh kira-kira. Karena (sangat) dekat stasiun, lahan rumah kami ini akan dijadikan tempat penitipan motor. Maklum, Maja dan masyarakatnya sekarang mulai banyak yang bekerja di Jakarta. 


Secuplik bagian dalam rumah. Masih terpajang kumpulan foto keluarga dari tahun ke tahun.


Mang Atip. Salah satu orang kepercayaan keluarga. Ia sedang memantau kebun belakang rumah sambil bercerita tentang sumur yang dulu biasa kami gunakan, serta pohon-pohon rambutan yang dulu begitu lebat dan menghasilkan


Keponakan saya (anak sepupu) ini bernama Pian. Sejak melihat saya memegang kamera dia antusias sekali bertanya gimana caranya memotret. Sejak itu, kamera digital saya disandera oleh si Spiderboy ini.


Dan ya, kemudian kamera saya pun digilir oleh krucil-krucil ini. 




Lebaran tanpa anak kecil dan petasan itu hambar rasanya. Setidaknya di keluarga kami. Dua hal itulah yang bikin lebaran jadi meriah. Dengan begitu pun, para orang dewasa macam saya bisa ikut mencicipi bermain-main. Tanpa ada anak kecil, ya kita gengsi lah. Haha. 



Di lebaran kemarin, ada banyak keluarga yang nggak hadir. Tapi kalau dilihat difoto udah kayak foto keluarga lengkap yah. Haha. Keluarga Papah memang keluarga besar. Delapan bersaudara dan salah satu kakaknya ada yang punya 11 anak. 

Plastik yang entah gimana ceritanya bisa berbentuk hati. Terselip di pagar rumah. Semoga rumah ini selalu diselipkan cinta di setiap sudutnya, bagaimana pun jadinya nanti. 


bersambung.... 


---
Di posting ini, seluruh foto diambil dengan kamera analog. #cieanalog 


01 Agustus 2014

#Pencermat Ikut Mamah Ke Pasar



Satu hari sebelum lebaran, saya ikut si Mamah ke pasar Ciledug. Lokasinya ada di lantai underground Mal Borobudur. Ya, si Mamah belanja untuk keperluan masak hidangan lebaran. Beruntunglah saya yang punya ibu doyan masak. 

Sudah lama sekali saya nggak berkunjung ke pasar tradisional, bisa jadi sih karena Papah jadi lebih sering mengantar Mamah ke Pasar. Kalau dirasa-rasa, keinginan 'main' ke pasar muncul setelah beberapa hari sebelumnya, Fertina bercerita kalau dia belanja ke pasar dan menemukan barang yang dia butuhkan banget dengan harga murah. Menanggapi cerita Fertina itu saya bilang, "Di pasar itu memang suka banyak yang ajaib. Dulu kan aku juga sering ikut mama ke pasar." Maksud saya dengan dulu adalah ketika masa-masa kuliah, ketika saya lagi gandrung-gandrungnya dengan fotografi. Terus, yang saya maksud dengan keajaiban pasar adalah karena bagi saya, pasar itu wahana berlimpah manusia yang beragam yang siap menyuguhkan momen seru nan ajaib. 

Alasan kedua saya ingin ke pasar dan motret di sana adala ya ingin ikut merayakan lebaran dan merasakan gegap gempita euforianya. Pasar itu penting bagi lebaran. Dari pasarlah hidangan khas yang jadi ikon perayaan lebaran itu dimulai. Semua orang yang ada di pasar sehari sebelum lebaran itu punya asa yang sama: menghidupkan lebaran. 

Memotret di pasar itu juga seru prosesnya, karena memotret bukanlah kegiatan yang lazim dilakukan di pasar. Beberapa orang akan terlihat heran dan cenderung jadi menghindar ketika tahu ada kamera. Tapi karena saya motretnya sambil bantu nenteng kresek belanjaan dan tetep sambil ngintil mamah yang berpindah dari satu lapak ke lapak lainnya, jadi (mungkin) orang-orang tak merasa insecure. 


Salah satu lapak paling ramai yang saya temukan. Menjual berbagai bumbu masakan Padang. Agaknya, hidangan lebaran itu seirama dengan masakan padang yang riuh dengan bumbu kental dan gurih.


Pasar adalah wilayahnya perempuan? ya setidaknya begitulah yang rasakan ketika melihat si bapak ini. Dia cuma bisa bengong ngegendong anaknya nungguin si istri belanja. 


Dua penjaja di gang lapak daging sedang bersantai sementara pedagang lainnya sibuk mengurusi daging. Bromance


Lebaran adalah harinya kita memaklumi lemak daging, kolesterol dan manis-manis. Hihiy


Baru tau kalau untuk bikin opor cuma butuh bumbu sekecil-kecil ini. Bener nggak sih? kayaknya salah. 


Salah satu fenomena setelah motor merajalela: banyak orang yang entah karena buru-buru atau malas, ogah lepas helm walaupun dia udah nggak di motor.


aduk-aduk kolang-kaling. Bukan kolang-kaling bambunya Doraemon yah. 


Mencatat apa-apa yang perlu dibelanjakan itu memang perlu sih. Jadi pas di pasar tuh fokus. Nggak kayak si mamah yang ngider-ngider mulu. Karena saat di pasar masih sedikit bingung mau beli apa, jadi apa pun yang dikiranya perlu dibeli ya dimampirin deh. Jadi banyak belanjaannya. 


---
Sedikit cerita tentang #Pencermat. Ini adalah program yang digagas demi mengembalikan semangat menulis di blog lagi. Karena berbagai alasan super klise imbas keseharian, saya, LodraAndraTito dan Dimas punya keresahan yang sama: kami jadi jarang nulis dan merasa butuh kembali rutin menulis. Alasannya beragam: biar nggak tumpul, agar bisa 'hidup', memenuhi hasrat berbagi dan tentunya, mengalahkan rasa malas.

Satu kali dalam seminggu, kami berkomitmen untuk menulis dan memublisnya di blog masing-masing. Jika ada yang telat atau absen menulis, maka ia wajib mentraktir kami makan. Hehe. Karena kami memilih Jumat sebagai hari terbitnya tulisan, maka program ini pun kami beri nama Pencermat, yang merupakan kependekan dari pencerita Jumat.

© blogrr
Maira Gall