21 September 2014

#Artikel - Self-Published Your Photobook and Be Happy



Di era kemajuan teknologi, industri percetakan dan sosial media ini, rasanya tiap pehobi fotografi perlu menjadikan penerbitan buku fotonya sendiri sebagai pencapaian. Selain akan membahagiakan diri sendiri, ini penting untuk memperkaya referensi fotografi.


Kalau kita berkunjung ke toko buku dan melihat rak koleksi buku-buku fotografi, pasti yang banyak kita temui adalah buku-buku panduan teknik fotografi. Mulai dari panduan fotografi dasar, teknik pencahayaan, hingga panduan menguasai digital imaging dalam waktu singkat. Sementara buku fotografi yang berisi kumpulan karya foto dengan tema tertentu dari seorang fotografer sedikit sekali mengisi rak. Kalau pun ada pasti harganya mengejutkan. Kebanyakan harganya di atas Rp 300 ribu. Niat untuk mengoleksi buku foto, memperkaya referensi foto, dan mengapresiasi karya fotografer pun mau tak mau harus ditunda. 
Ridzki Noviansyah, seorang penikmat sekaligus pengamat fotografi cum co-founder Jakarta Photobook Club bahkan bercerita bahwa scene buku foto di Indonesia itu belum begitu hidup. “Sejak tahun 50-an, photobook Indonesia itu paling cuma ada 150-an buku. Sementara di Jerman setiap tahun bisa ada 150-an photobook yang terbit,” ujarnya. Data Ridzki tersebut mengacu dari pameran pemenang dan nominasi Penghargaan Buku Fotografi Terbaik Jerman 2013 yang digelar oleh Goethe Institute. 

Kalau melihat animo masyarakat akan fotografi yang terus meningkat, penerbitan buku foto itu perlu digalakkan demi menyeimbangkan semangat berfotografi masyarakat. Jika selama ini aspek produksi  dan distribusi (baca: pamer) foto yang paling sering digembar-gemborkan, maka penerbitan buku foto akan memicu semangat mengonsumsi serta mengapresiasi foto. Jika siklus produksi-konsumsi dalam ekosistem fotografi ini seimbang, geliat fotografi Indonesia pasti akan terus tumbuh dan semakin seru.

Untungnya, beberapa fotografer, baik dari kalangan hobi atau profesional, mulai memanfaatkan peluang dari perkembangan teknologi, media sosial dan industri percetakan. Satu persatu fotografer kemudian merancang, mendesain, mencetak lalu menjual buku fotonya secara independen, tanpa menunggu 'ajakan' dari penerbit besar. Tanpa mengandalkan penjualan di toko buku mayor. Kini, jika  rajin berjejaring di forum maya para pecinta fotografi, kita akan sering sekali disuguhi posting seorang fotografer yang sedang memperkenalkan buku fotonya. 

Aji Susanto Anom misalnya, fotografer muda asal kota Solo ini pada 13 September 2013 lalu merilis buku fotonya secara independen. Aji mengumpulkan foto-fotonya yang menggunakan pendekatan street photography merespon kejadian-kejadian sehari-hari di kota tempat tinggalnya. Buku berukuran sedikit lebih besar dari kartu pos itu kemudian ia beri judul Nothing Personal.

“Aku pengin menerbitkan buku karena aku pengin nyumbang karya dalam bentuk yang lebih nyata buat scene fotografi Indonesia,” tegas Aji yang juga menganggap menerbitkan buku foto dengan semangat Do It Yourself itu lebih mengasyikkan karena kita bisa menunjukkan idealisme dan cara berekspresi dengan sangat bebas. 

Selain Aji, ada juga Rian Afriadi, fotografer hobyist yang menggeluti fotografi pendekatan dokumenter subjektif yang  kini sedang merencanakan penerbitan buku fotonya. Bagi Rian, menerbitkan buku foto itu adalah  art statement. “Kalau gue lebih sebagai art statement dan doing it for love. Bukan demi uang. Apalagi hitung-hitungan profit bagi fotografer indie tentunya tidak terlalu wow,” ungkap Rian.

Bermodal Konsep dan Tekad

Berbicara soal langkah penerbitan buku foto, Ridzki menegaskan bahwa ketika kita ingin menerbitkan buku foto, maka yang paling perlu lakukan adalah mematangkan konsep dari foto-foto kita itu. “Jangan terlalu buru-buru apalagi merasa dikejar untuk menerbitkan photobook. Pematangan konsep dan tema foto itu lebih dibutuhkan,” ungkap Ridzki yang juga merekomendasikan kita untuk melihat sebuah photobook independen tentang joki cilik di pacuan kuda di NTB yang pengumpulan fotonya digarap oleh Romi Perbawa selama empat tahun. 

Matang di konsep dan tema, langkah selanjutnya adalah mendesain dan mencetak buku. Untuk tahap ini, kita bisa mengerjakan sendiri seluruh alur pengerjaan buku sendiri seperti yang dilakukan oleh Aji. Lulusan jurusan Desain Grafis ini mengerjakan sendiri desain tata letak, penulisan, pemilihan kertas dan pencetakan hingga penjilidan buku. 

proses pembuatan buku Nothing Personal. (foto dicomot dari FB Aji Susanto Anom)

Namun, jika belum menguasai teknik produksi buku, tak perlu risau. Dengan modal tekad yang kuat, kita pasti tetap bisa membuatnya, dengan menggunakan bantuan kawan misalnya, seperti yang dilakukan oleh Rian. Ia banyak berkonsultasi dengan desainer, teman-temannya yang sudah pernah berurusan dengan pencetakan buku, penulis dan editor.

O ya, metode kolaborasi juga bisa jadi opsi. Terutama jika kita punya kawan yang pendekatan fotografinya sama. Astrid Prasestianti dan Renaldy Fernando misalnya, yang pada 2012 lalu merilis buku berisi kumpulan foto-foto terbaiknya dari kamera analog. Buku yang diberi judul 88 itu dikerjakan secara kolaboratif. Setelah foto-foto dipilih bersama, Astrid yang sehari-harinya bekerja sebagai desainer mengerjakan urusan desain buku, sementara Renaldy banyak berperan di urusan promosi dan penjualan.

Satu hal lagi yang mesti diperhatikan dalam penerbitan buku foto adalah penyuntingan yang mencakup pemilihan foto, penentuan alur dan urutan penempatan foto. Dalam tahap ini, menurut Ridzki, fotografer memerlukan second opinion agar penyuntingan foto tak melulu mengikuti ego fotografer.

Pendapat Rian juga senada dengan Ridzki, katanya, “Si fotografer cenderung punya bias terhadap foto-fotonya. Ada kalanya kita ingin mempertahankan foto favorit padahal di mata viewer, foto itu malah dianggap merusak alur photobook.

Nah, soal pencetakan, seperti yang sudah kita tahu, kini jasa digital printing sudah menjamur. Semua pasti menyanggupi layanan cetak buku foto. Harga produksinya pun tak akan begitu mahal, apalagi jika kita langsung cetak banyak. Cukup siapkan file siap cetak, pilihan kertas dan jilidnya, selanjutnya kita serahkan ke para petugas percetakan.

Promosi dan Penjualan Bisa Tanpa Modal

Lewat media sosial kita bisa sangat mudah memperkenalkan buku foto kita dan menjualnya. Syaratnya pun simpel, cukup rajin berjejaring dengan forum-forum (group) pehobi fotografer dan pecinta buku foto. Setelahnya, cukup dengan membuat posting promosi yang menarik, kita sudah bisa mendapatkan peminat. 

Enaknya lagi, kita bahkan tak butuh banyak modal banyak untuk menerbitkan buku foto. Seperti yang dilakukan oleh Aji, dan duo Astrid-Renaldy yang menerapkan sistem pre-order. Jadi, kita hanya perlu modal untuk mencetak dummy, lalu kita promosikan via media sosial dan mengajak teman-teman yang berminat membeli untuk membayar uang mukanya terlebih dahulu. Uang muka itulah yang menjadi modal kita mencetak buku. Aji dan duo Astrid-Renaldy pun bisa mencapai target penjualan seperti yang diharapkannya. 

"Aku pertama cuma berencana bikin 100 buku, tapi ternyata permintaannya sampai 150 buku. Lumayan lah," cerita Aji. 

Tentu, keberhasilan penjualan buku foto ini juga berbanding lurus dengan seberapa besar jaringan pecinta fotografi yang sudah dibangun si fotografer. "Pasar photobook itu sebenernya kecil. Tapi tergantung dengan networking si fotografernya juga," ujar Ridzki. 

Perlunya Meningkatkan Pencapaian

Tren photobook ini jelas menjadi kabar baik bagi scene fotografi Indonesia. Namun, walau begitu, seperti yang disebutkan Ridzki, kita masih perlu juga meningkatkan pencapaiannya. Pertama, buku foto independen baiknya tak hanya disasar ke lingkup jaringan pertemanan di media sosial saja, melainkan ke segmen yang lebih luas lagi. "Para penerbit buku foto independen di luar negeri, seperti Malaysia dan Singapura itu perhitungan pasarnya sudah nyebar ke negeri-negeri lainnya," ungkap Ridzki. 

Selain itu, sekali lagi Ridzki mengingatkan jika kita ingin menjual buku foto, kita perlu mematangkan konsep atau setidaknya punya alasan kenapa khalayak mau membeli buku kita tersebut. "Karena itu, artist talks setelah buku foto dirilis perlu digelar sebagai sarana bedah buku dan ajang sharing cerita di balik pembuatan buku foto tersebut," tambah Ridzki lagi. 

Nah, biar makin semangat, selalu ingatlah juga ungkapan "foto yang baik adalah foto yang dicetak." Walau pun sekarang kita bisa mudah melihat foto di layar gadget, tetapi sensasi melihat foto kita tercetak dengan baik di kertas pilihan, apalagi dalam bentuk buku itu tak akan ada yang bisa menggantikannya. Selalu membahagiakan. Karena itulah, Mari kita cetak buku foto kita sendiri, seperti saran Aji jika kita ingin  menerbitkan buku foto maka, "Just do it! aja."

Selamat mencoba. :D



=======

Tulisan ini dimuat di rubrik Sidewalks di Things Magazine edisi Juli. Terima kasih atas kesempatannya. Semoga bermanfaat. :D  


Tidak ada komentar

Posting Komentar

© blogrr
Maira Gall