17 Oktober 2014

Satu Waktu



...Terpaksa menunggu hingga satu waktu kita bertemu...
Kan ku ceritakan semuanya padamu gelisah itu...

Pulih nanti... Pulih nanti...


Belum lama lalu, saya menonton lagi film Janji Joni. Suka banget dengan seluruh isi film ini: ceritanya yang ringan dan ajaib; para cameo dan pemain utama; dan tentunya soundtracks-nya. Seluruh lagu-lagu band indie di film ini hip di masa akhir saya SMA. Saya termasuk pendengarnya. Selain lagu Sajama Cut yang Less Afraid, lagu Satu Waktu di atas adalah lagu yang paling berkesan. Semacem nancep di hati. Seolah diciptakan untuk mengerti saya yang emang sedang  menunggu 'satu waktu' sambil dirubung gelisah. Haha. 

Menurut penelusuran lagu yang di film dinyanyikan oleh band-nya Rachel Maryam, Fedi Nuril, Imam Fatah, dan Henry Foundation itu ternyata aslinya dibawakan oleh Rebecca Theodora, yang pada masa film itu dibuat dikenal sebagai vokalisnya Goodnight Electric dan The Upstairs. 

Selamat menikmati 

06 Oktober 2014

25 dan Kekosongan



Kosong!

Itulah yang didapati oleh Walter Mitty di frame urutan ke-25 dari sheet film kiriman  Sean O'Connell, sang fotografer lepas langganan majalah LIFE, tempat Walter bekerja. Padahal, foto ke-25 itulah yang Sean inginkan untuk dijadikan cover edisi terakhir Life. Mengikuti arus zaman, LIFE memilih untuk melakukan transisi. Pindah dunia, dari bentuk yang berwujud menjadi maya alias online. Karena itulah foto ke-25 itu bukan hanya penting, tetapi akan menjadi fenomenal. Bahkan Sean sendiri menyebut foto ke-25 itu adalah The quintessence of Life.

Semua awak LIFE jelas kecewa dengan transisi besar-besaran dan mendadak itu. Namun, hanya satu yang paling kena imbasnya, yaitu Walter. Sebagai penanggung jawab arsip film-film negatif, Walter mesti menemukan foto di frame ke-25 itu. Mencari intisari “hidup”.

Cerita serupa tapi tak sama juga dialami lebih dulu oleh Biksu Tong dan Kera Sakti. Terbalik dengan Walter Mitty, mereka justru menemukan kekosongan setelah melakukan perjalanan sangat jauh. Bahkan harus berhadapan banyak siluman. Setibanya di tempat bertahtanya Sang Budha di India sana, Biksu Tong akhirnya mendapatkan anugerah yang selama ini ia cari, yaitu kitab suci. Tapi betapa kagetnya Biksu Tong ketika membuka lembar demi lembar kitab tersebut. Kosong melompong. Tanpa satu aksara pun.

Menemukan kekosongan selalu membuat kita kecewa. Seperti Walter, Biksu Tong juga kecewa bukan main. Sang Buddha malah tersenyum melihat ekspresi Biksu Tong, ia pun menjelaskan. “Kitab tanpa aksara itulah kitab yang sejati,” katanya.

Kekosongan adalah kesejatian.

Dalam buku Titik Nol—sumber saya membaca kisah Biksu Tong tersebut—si penulis, Agustinus Wibowo, menyimpulkan kekosongan seperti yang ditemukan oleh Biksu Tong itu adalah alasan untuk kita mencari. Bahwa dalam hidup ini memang ada “sesuatu” yang tak bisa dijelaskan dengan bahasa atau pun berjuta-juta aksara, tidak dapat dinalar dengan berlaksa bahasa. Sesuatu yang agung. Sesuatu yang menyimpan segala misteri.

Bagi Agustinus, perjalanan adalah jawabannya. Karena dengan perjalanan, kita akan mengalami, merasakan, dan menemukan. Terus begitu. Bisa jadi, karena terinspirasi dari filosofi itu, Agustinus Wibowo memilih menjadi musafir selulusnya ia kuliah. Ia berkelana dari Cina menuju Nepal, Tibet, lalu pindah ke India, Pakistan dan Afganistan. Semua ia lakukan lewat jalur darat dan sendirian.           

Tak beda dengan Agustinus, Walter pun nekat berangkat demi mencari pengisi kekosongan frame ke-25 itu. Petualangan akbar yang nekat dan spontan... dan ekstrem pun ia amalkan. Ia menyebrangi benua, naik helikopter yang dikemudikan oleh pilot mabuk, lompat ke laut lepas lalu diserang hiu, menyusuri Islandia dengan longboard dan lari menghindari abu vulkanik Eyjafjallajökull. Namun itu rupanya belum bisa membuat  Walter menemukan Sean.

Walter pulang ke Amerika. Menyerah.

Petinggi LIFE pun memecat Walter, seperti karyawan-karyawan lainnya. Kegagalan Walter dilengkapi lagi dengan kesedihan. Di kepulangannya itu pula, ketika Walter berharap bisa mendapatkan secercah bahagia dari Cheryl, wanita yang ia suka, Walter kembali dikecewakan. Saat mengunjungi rumah Cheryl, Walter disambut oleh mantan suaminya. Pikirnya Cheryl sudah rujuk lagi dengan suaminya. Kian kandaslah Walter. 

Namun, ternyata semesta tak ingin Walter berhenti. Intisari Life mesti terus dicari. Di rumahnya, Walter mendapati satu lagi petunjuk penting. Ternyata Sean pernah berkunjung ke rumahnya dan berbincang panjang dengan Ibunya Walter. Dari situlah diketahui bahwa Sean kini sedang berada di Himalaya untuk memotret macan tutul salju. Kontan Walter pun bergegas. Tas ransel serta notebook pemberian almarhum ayahnya disiapkan beserta perlengkapan lainnya. Untuk kedua kalinya perjalanan akbar yang nekat dan spontan... dan ekstrem diamalkannya. Karena kekosongan di angka 25 itu. Demi mencari intisari hidup itu.

Kembali Walter menyebrangi benua. Bus yang penuh sesak dan hiruk pikuk ia tumpangi, bersama dua pendaki lainnya, Walter menapaki Himalaya yang (sangat) dingin itu. Hingga akhirnya, seperti yang disangka, Walter pun menemui Sean di ujung pendakiannya. Ia benar sedang membidikkan kameranya, menunggu munculnya si macan tutul salju. Walter terpana dan terkejut ketika menemui Sean, apalagi ketika mendengar jawaban Sean soal keberadaan foto di frame ke-25 itu.

Ternyata foto di frame ke-25 itu disisipkan oleh Sean di sebuah benda yang belakangan itu selalu di bawa-bawa oleh Walter, termasuk ketika dalam petualangannya mencari Sean ke Islandia. Astaga!

Kekosongan di angka 25 itu akhirnya menemukan isinya. Setelah berbagai petaka dan nestapa, akhirnya yang disebut sebagai The quintessence of Life itu berhasil dicari. Saya tak ingin memberikan spoiler untuk yang belum menonton film ini, namun, singkatnya, apa yang dicari oleh Walter adalah dirinya sendiri. Kekosongan yang menjadi krisis di masa transisi besar-besaran Life membawanya ke petualangan yang ternyata adalah petualangan untuk menemukan dirinya sendiri.

Kekosongan pada kitab hidup ini sesungguhnya adalah panduan yang agung. Kekosongan membuat kita mencari. Pencarian membuat kita berjalan. Perjalanan menawarkan kita untuk bertualang. Petualangan menuntut kita untuk berjuang. Perjuangan akan menghadiahkan kemenangan.

“Bukan kitabnya yang penting, tetapi hakikat kehidupan yang ditemukan dari perjuangan perjalanan.” Itulah kesimpulan Agustinus

Sementara dalam film The Secret Life Of Walter Mitty, Perjalanan, pencarian, petualangan dan perjuangan mengisi kekosongan frame ke-25 yang begitu penting untuk sebuah transisi besar-besaran disimpulkan sebagai suatu usaha untuk mencapai tujuan hidup. Kesimpulan tersebut persis seperti moto majalah LIFE, “to see the world, things dangerous to come to, to see behind walls, draw closer, to find each other, and to feel. That is the purpose of life.”

Jadi, sudah seberapa banyak dunia yang kita lihat? Sudah cukupkah rasa yang kita cicip? Sudah sedekat apakah kita dengan hidup? Sudahkah kita mendapati makna dan menemukan diri kita yang sejati?

Mari kita berdoa, semoga kita selalu diberi semangat untuk mengisi dan memaknai kitab kosong kehidupan ini, dan tentunya punya stok kesabaran untuk menghadapi berbagai krisis masa transisi. Semoga Tuhan dan semestanya menujukkan kita ke jalan yang lurus seru.


-Rizki Ramadan

Yang setahun kebelakang sudah menjalani usia ke-25, menghadapi krisis masa transisi, dan di umurnya ke-26  ini berharap bisa terus mencari dan menemukan The quintessence of Life-nya. Selamat 28 April.

....

Tulisan ini dibuat untuk merayakan ulang tahun saya yang ke-25 kemarin. Tulisan ini juga saya cantumkan di KARTU POSTer yang saya kirimkan ke beberapa teman dekat saya. Terima kasih sudah mau baca celotehan (yang mungkin terasa klise) ini. :D




02 Oktober 2014

#Artikel - Bisnis Plesetan (nan Slengean) a la Kamengski



Dengan plesetan visual, Kamengski membuat pemuda urban gemar dengan Firdaus Oil, Meggy Z dan Nike Ardila

Kita tentu sepakat, bahwa di kalangan pemuda kelas menengah macam kita-kita ini, produk bermerk Firdaus Oil pasti ditampik. Kita menyadari keberadaannya sebagai minyak penumbuh bulu, tapi sangat jarang sekali menggunakannya. Begitu juga Meggy Z. Agaknya, jarang ada pemuda kekinian yang peduli dengan pedangdut Anggur Merah tersebut. Sebenarnya, Firdaus Oil dan Meggy Z tak beda dengan Pomade dan Elvis Presley. Semuanya bagian dari budaya popular. Hanya saja, mereka ngepop di dua kelas masyarakat yang berbeda. 
© blogrr
Maira Gall