26 Desember 2013

Kata Tarot Tentang Saya

Sekarang saya pacaran sama seorang tarot reader. Hahaha. Jangan salah mengerti dulu, saya nggak berganti pacar. Pacar saya tetap dan akan selalu yang itu tuh. Cuma saja, sekarang si pacar saya itu bertambah kemampuannya, sejak mengikuti sebuah workshop tarot secara gratis, Fertina pun jadi senang mengasah kemampuannya membaca kartu tarot. Kini, ia juga ikut serta tiap kali komunitas tarot buka lapak di sebuah acara.

Sebelumnya, saya tak pernah menjajal dibacakan tarot. Tapi, sejak Fertina bisa baca tarot maka saya pun jadi makin penasaran pengin nyobain juga. Akhirnya, ketika Fertina main ke rumah. Dia pun mengeluarkan kartu tarot kesayangannya, lalu memberikannya ke saya untuk dikocok.

Tara! tiga kartu yang saya pilih dari hasil kocokan saya itu bener-bener sesuai dengan apa yang terjadi pada semesta kehidupan saya. Nggak nyangka bisa sebegitu akuratnya. Inilah tiga kartu yang saya pilih.


27 November 2013

Nggak Karuan

Sampai-sampai sulit sekali mengeluarkan satupun dari penampungan
Karena sudah terlalu banyak wujud yang berjejalan.
Nggak karu-karuan.

Maafkan saya, wahai semesta pikiran.


25 November 2013

Perihal Kreatifitas

"Kreatifitas itu sederhana, keinginan menjadi kerenlah yang membuatnya menjadi rumit," Pidi Baiq

Saya sebal menghadapi kenyataan bahwa  kreatifitas itu menjadi sia-sia kalau kita tak punya kemampuan manajemen dan apalah itu yang disebut sense of bussiness. Katanya, hasil kreasi kita akan nggak akan bisa bertahan lama kalau nggak dilengkapi dengan dua unsur itu.

Saya juga sebal sama tren start up, yang selalu mengajak semua orang untuk jadi pengusaha. Segala bentuk kreatifitas itu harus menjadi bisnis, harus bisa mendapatkan iklan, menggaet investor dan harus bersaing dengan usaha yang lain.Kita harus bisa membuat orang mengeluarkan uang untuk kita. Dan tak dipedulikan apalah jadinya kalau semua orang jadi pengusaha, tak ada yang ingin jadi pekerja biasa. 

Terus, saya juga sebal mengetahui bahwa kreatif dan nyeni itu punya kecenderungan yang beda. Kreatif berarti ide kita komersil, nyeni berarti ide kita nyeleneh, personal sekali dan cenderung butuh usaha lebih untuk dimengerti. Padahal keduanya merupakan bentuk gagasan, hasrat untuk berekspresi, dan daya untuk mencipta.

Apapula itu creativepreneur? kenapa tiba-tiba pelaku kreatif seolah harus mengubah identitasnya menjadi itu? biar lebih profesional? biar terlihat punya motivasi kuat di bidang bisnis? biar keren kalau ditanya sama mamah-papahnya?. 

Siapa pula itu yang membuat seolah-olah orang-orang kreatif yang tak pandai bicara, tak lihai presentasi di depan umum, selalu gugup jika ditanya orang yang tak diakrabi, tidak bisa berhasil? 

dan yang paling menyebalkan adalah ketika kini, saya merasa perlu mempelajari hal-hal yang saya sebali itu untuk melengkapi kreatifitas.

Yasudahlah. 

07 November 2013



25 Oktober 2013

Kembali Membuat Zine



“Yah, dia narsis. Baca-baca tulisan sendiri,” celetuk Tojon serta-merta ketika melihat saya cengengesan membaca zine The Future of The Past yang baru terbit. Saya menerima celetukan si Tojon itu, bahkan mengamini. Saat itu saya memang narsis, tak bisa dipungkiri. Walau merasa geli sendiri karena nggak bisa nutupin euoforia itu, tapi saya mencoba cuek, saya pengen menikmatinya. Saya senang banget bisa membuat lagi tulisan tentang fotografi terus tulisan itu dilayout dengan gaya desain yang ciamik dan yang paling bikin greget, tulisan itu dicetak!

Kalau diingat-ingat, selepas kerja di majalah awal tahun 2013, tulisan saya di zine itu adalah tulisan pertama yang tercetak di majalan tahun ini. Jadi wajarlah ya saya seneng sampe narsis dan norak gitu. haha. Maklum, sepanjang tahun 2013 saya lebih banyak menulis untuk publikasi online, seperti blog ini, blog Card to Post dan di media online hepi-hepi tempat saya dan Tojon bekerja sekarang. 

The Future of The Past adalah zine yang mengulas secara khusus fotografi analog dan scene pehobinya.  Ide pembuatan zine ini muncul dari Renaldy FK (Enad), Astrid Prasetianti dan Irindya. Ketiganya adalah pegiat fotografi analog. Dan entah kebetulan atau disengaja, ketiganya adalah hasil didikan Universitas Binus. Haha. Sebelum tim ini terbentuk kami adalah kawanan yang saling menjaring pertemanan lewat media sosial. Jarang sekali bertatap muka langsung. 

Saya merasa beruntung bisa diajak menjadi bagian dari tim. Semua bermula pada kisaran Juni lalu, saat itu saya baru masuk di kantor saya sekarang ini. Saya diterima kerja atas rekomendasi Enad yang juga bekerja di situ. Nah, setelah beberapa minggu akrab berkawan, Enad yang emang maniak fotografi analog dan gila proyek itu menawarkan saya untuk gabung ke tim zine ini. 

Seperti orang haus yang ditawari es kelapa, saya pun langsung merebut ajakan Enad dan menenguknya bulat-bulat. Saya emang lagi kangen-kangennya bikin majalah. Udah lama banget hasrat saya untuk memproduksi media sendiri (bukan miliki perusahaan besar dan saya hanya jadi pekerja kecilnya saja) Beberapa waktu sebelum ajakan Enad, saya sempat berusaha untuk menerbitkan lagi zine Memang Terlalu, tapi tak kunjung ada hasilnya. 

Kelompok OK


Saya yakin kalau kekuatan sebuah media alternatif itu tak hanya pada soal konten yang bisa merangkul khalayak komunitas saja tetapi juga pada tim yang passionate terhadap kajian medianya dan memiliki loyalitas tinggi untuk memenuhi kebutuhan tiap pos di siklus produksi dan distribusinya. Nah, mengenai hal itu, sebagai anak terakhir yang diadopsi untuk masuk ke keluarga ini, saya merasa tim TFoTP yang sudah ada itu pun solid. (maaf, saya narsis lagi ternyata). Tiap anggota memang doyan banget sama fotografi analog dan punya kemampuan masing-masing yang emang dibutuhin.

Soal desain dan ilustrasi, Astrid Prasetianti yang kini bekerja di studio desain ternama punya selera yang khas. Desainnya yang (menurut saya) mengutamakan simplisitas selalu sedap dilihat.  Enad, jam terbangnya berkecimpung di persilatan foto analog Indonesia bikin dia kenal banget sama scene-nya. selain itu bakat bisnisnya juga ngebantu pengembangan zine banget. Terus, Irin juga andal mengurusi administrasi dan segala tetek bengek urusan paskaproduksi, ditambah lagi, Irin, yang masih jadi mahasiswa DKV ini juga bisa menjamah khalayak dari kalangan mahasiswa. Komplit deh. Bagaimana dengan saya? Entah bisa menambah kesolidan atau nggak, semoga saja pengalaman saya menulis dan ngurusin editorial selama ini bisa membantu pengerjaan. :p

Mencetak zine, Mencetak Mimpi



Dan saya merasakan betul, bahwa kesamaan hasrat dan tekad itu ternyata adalah modal kuat dalam menjalankan media. Di tambah lagi, tiap anggota memang punya pengalamanan menerbitkan produk-produk indie sebelumnya. Jadi, sejak awal meeting, alur brainstorm kami mengalir lancar. Penentuan nama majalah, perencanaan konten, serta strategi promosi dan penyebaran kami bisa diskusikan pelan-pelan tapi pasti.

Sebagai pemuda yang terikat dengan institusi untuk mencari uang bulanan, proses kerja kami utamanya dilakukan di tempat masing-masing. Sesekali rapat di kafe sesuai jam kantor. Tapi, komunikasi harian dilakukan di ruang rapat virtual alias GroupChat di WhatsApp (yeah, terima kasih Whatsapp). Satu-satunya markas tetap kami adalah shared folder di Dropbox, tempat kami menyimpan file-file. Oya, untungnya, kantor saya dan Enad (sangat) santai dan membebaskan karyawannya untuk melakukan aktivitas yang nggak berhubungan dengan kantor sekalipun. Sebagian aktifitas, seperti packaging dan menyimpanan buku, dilakukan saya dan Enad di kantor. 

Selain ngurusin editorial, saya juga banyak nyemplung ke urusan pencetakan buku. Bagian kerja ini saya emban tanpa diutus, bisa jadi, karena sebelumnya saya emang biasa cetak-mencetak kartu pos. Tapi saya senang berurusan dengan produksi ini. Walau sering dibuat kesal oleh pelayanannya, tapi saya suka main ke percetakan. Percetakan itu seperti pos tempat segala gagasan dan karya yang digital nan maya dikonversi menjadi sesuatu yang nyata, berwujud dan jadi!. Percetakan itu rumah bersalin yang melahirkan karya-karya yang sudah bikin dalam rahim-rahim kreatif si induk. 

Seperti yang sudah diceritakan, Astrid itu memiliki selera yang khas dan tinggi. Jadi, ia pun ingin hasil jadinya zine ini sedikit premium. Kami ingin memakai kertas fancy tebal bertekstur untuk halaman sampul dan kertas lembut berserat untuk  bagian isinya dan memakai jilid jahit untuk menyatukan buku. Sayang aja, di edisi pertama ini kami baru bisa mewujudkan beberapanya. 

Soal konten, edisi nomor wahid ini memang belum maksimal. Jumlah halamannya hanya 48. Kalau dipikir-pikir pun, kita hanya akan butuh waktu dua puluh menit untuk melahap habis konten zine ini. Daftar isinya adalah interview fotografer analog terpilih, rubrik photostory, rubrik showcase foto kiriman pembaca, artikel semi-feature, dan rubrik tips n trick. Jadi, total hanya empat rubrik. Well, saya dan pastinya tim lain, berharap semoga aja konten-konten itu bisa dinikmati dan berkesan di hati pembaca. Hehe.




Di edisi pertama ini kami memasang tema Wanderland yang kurang lebih isinya tentang pengembaraan. Ada Michelle Liando yang nyumbang foto-fotonya berkelana ke Skandinavia, ada Yttria yang kami wawancara, dan sejumlah foto bertema perjalanan lainnya di rubrik Tons of Tones. Soal artikel, saya menulis artikel tentang alasan fotografi analog diminati, dan Enad menulis rubrik Tips n Trik. 

Satu lagi yang bikin saya senang. Edisi ini laris manis. Di hari pertama rilis, 6 Oktober lalu, 50 eksemplar yang kami siapkan habis terpesan begitu saja hanya dalam waktu tiga jam. Kami hanya menggunakan instagram dan Facebook untuk mempromosikan. Keputusan kami untuk membatasi jumlah cetak pun harus direvisi, dua minggu setelah rilis kami mencetak 30 eksemplar lagi. Tak lebih dari sehari, semua pun habis terpesan lagi. 

Fenomena itu bikin saya seneng sekaligus bingung. Saya sempat pesimis, saya kira nggak banyak orang yang rela membeli zine yang bahkan mereka belum tau isinya seperti apa, apalagi harga yang kami patok cukup tinggi, Rp 72.000. Padahal, kalau saya jadi outsider, saya akan mikir dua kali untuk beli zine yang harganya setinggi itu. Hehe. Bisa jadi, ini karena selalu ada keinginan massa untuk bisa mengonsumsi media alternatif, apalagi sejak fotografi digital berjaya, dan tiba-tiba scene foto analog Indonesia hidup lagi, baru kali ini muncul zine yang ngebahas fotografi analog secara khusus (CMIIW)

Oya, sebelum menutup tulisan ini, saya juga mau ikut berterima kasih sama Imagery Bags yang mau repot-repot support kami dengan menghibahkan 25 totebag bertuliskan nama zine ini untuk dibagi-bagikan ke 25 pembeli pertama zine. Sedikit-banyak pasti itu ngedongkrak penjualan. Hehe.

Nah, setelah majalah terbit, apresiasi pun satu per satu muncul. Ada yang memuji ada juga yang mengkritik. Semoga di edisi berikutnya, saya dan temen-temen bisa belajar lagi untuk mewacanakan fotografi Indonesia dengan lebih baik. 

Sejak dulu saya senang bermedia, beberapa waktu belakang ini hasrat itu sedikit terpendam, zine ini pun sekaligus menjadi the future of the past hasrat saya itu. Yes, semoga kedepannya saya terus diberi kesempatan untuk bekerja membuat media. 




Terima kasih semua-mua-mua-muanya. 

15 Oktober 2013

viel Glück, F



Besok, Fertina sidang skripsi. Saya ikut deg-degan. Ada haru dan cemas. Tapi dua hal itu cuma pembungkus kado yang isinya rasa seneng yang gede banget.

05 Oktober 2013

Lima Pekerjaan Enam Kemauan


Saya memiliki lima pekerjaan,
tapi saya memulainya dari pekerjaan yang keenam.

Di malam hari saya kalut, tak ada satu pun pekerjaan yang bisa diselesaikan. Sebagai bayarannya, saya pun berjanji akan menuntaskan seluruh pekerjaan yang harusnya selesai hari itu, setelah tidur. 

Besoknya, sebangun tidur, saya malah mengerjakan hal yang sama sekali baru. 

Serunya hidup ini. :D 


23 Agustus 2013

Memikirkan Pikiran


Setelah saya sadari, saya adalah tipe orang pemikir. Bukan pemikir macam filsuf begitu sih. Saya sering banget memikirkan sesuatu secara mendalam dan saya sendiri nggak nyadar kenapa bisa-bisanya saya mikir sejauh itu. Misalnya saja, ketika melihat iklan bergambar Nadia Hutagalung di billboard, yang saya pikirkan bukan lagi sosok Nadia Hutagalung yang cakep banget itu. Tetapi mikirin gimana perlakukan suaminya ke dia, apakah si Nadia nyaman kalau kecantikannya itu dikonsumsi massa. Lalu biasanya wanita cantik itu senang dipuja tapi mengapa ogah kalau digoda? Soalnya, udah pasti kan semua cowok suka wanita cantik. Terus apakah wanita cantik seperti Nadia Hutagalung itu merasa dirinya cantik. Pokoknya panjang deh, dan pikiran itu timbul begitu saja ketika saya sedang naik motor. 

Tapi itu cuma contoh kecilnya saja. Saya juga mikirin kira-kira berapa kali bulak-balikkah angkutan umum dalam sehari, mikirin apa alasan orang memilih baju yang dipakainya, mikirin sifat-sifat orang yang saya temui, mikirin nanti beli rumah yang seperti apa, di mana, barang apa dulu yang akan dibeli dan gimana cara bayarnya, ketika memikirkan apa yang akan saya lakukan saya juga memikirkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi dan bagaimana saya harus menghadapinya. 

Nah, dari sekian banyak pikiran yang ada itu ada satu yang kadang cukup mengganggu saya, yaitu memikirkan pikiran orang lain tentang saya. Jadi, ketika saya akan melakukan sesuatu terutama sesuatu yang besar) saya akan coba mikirin kira-kira apa yang bakal orang-orang pikirin tentang saya kalau melakukan sesuatu itu. Ribet kan?! Misalnya gini, ketika saya membuat tulisan (termasuk tulisan ini pastinya) saya memikirkan bagaimanakah kira-kira reaksi orang-orang.

Contoh besarnya adalah kemarin, ketika ingin memutuskan ingin kuliah lagi. Salah satu pertimbangan saya adalah bagaimanakah reaksi/komentar orang-orang kalau tahu saya kuliah lagi. Saya mikirin gimana pikiran teman saya yang intelek tapi nggak kuliah, teman saya yang berpikir kuliah tidak penting, dan teman saya yang ingin kuliah lagi tapi terbentur urusan dana. Saya nggak mau orang salah kira dengan maksud saya berkuliah. Saya menceritakan ini ke pacar saya dan ia memarahi saya. Haha.

Nah, sesiapa saja yang pikiriannya saya pikirkan juga adalah mereka yang sering ngomentarin, ngegosip atau mencela orang. Tentunya orang-orang itu punya karakter pikiran yang berbeda. Tambah runyamlah persoalan.

Gambar di atas itu adalah sebuah karya dari Nisrinah yang dikirimkan kepada saya. Nisrinah adalah kawan baru yang saya kenal lewat kartu pos. Kami tak pernah berinteraksi sebelumnya, hanya saja secara  kebetulan, quote yang disebut Nisrinah di karyanya itu begitu pas bagi saya. Mungkin Nisrinah pernah atau sedang mengalami hal yang sama

"When you start to think about what everybody think about you, you'll start losing yourself"
Sebenarnya pikiran-pikiran itu adalah wajar adanya, asal kita tak begitu saja hanyut dan meladeninya. Kalau itu sudah terjadi, saya jadi bingung mau gimana dan nggak jarang jadinya malah nggak ngapa-ngapain. Haha. Nah, saat kita sedang berkarya, menulis, menggambar atau apa pun tapi kita terlalu memikirkan respon orang-orang, maka yang terjadi adalah seperti yang disebut Nisrinah, kita bakal kehilangan karakter diri kita dan berkarya hanya untuk mengikuti selera atau pikiran orang-orang. Sungguh tidak enaklah situasi seperti itu.

Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan mewawancara Dwika Putra, seorang musisi yang populer di jagad dunia maya. Ia banyak sekali berkarya, pun bidangnya beragam. selain bermusik, dia juga sering stand up comedian, menulis buku, memotret dan bekerja harian. Dwika bercerita bahwa ia juga sempat mengalami krisis kepercayaan diri dan terpengaruh sama keraguan teman-temannya saat akan merilis album pertamanya. Dwika butuh lima bulan setelah materinya siap untuk rekaman karena ia harus menyakinkan dirinya dulu. Lalu, apakah yang akhirnya membuat Dwika kemudian mantap melakukannya?

do something to express. not to impress

Begitu katanya.

--------------------------


Sekedar cerita, ini adalah paket kirimannya Nisrina lainya. :D Keren yah?!

20 Juli 2013

Menyelematkan Diri



Banyak orang bermimpi ingin memiliki mobil, misalnya, tetapi apa yang terjadi kalau tanpa disangka-sangka perlombaan yang mereka ikuti berhasil dimenangkan dan mobil menjadi hadiahnya, padahal mereka belum pandai nyetir, belum punya garasi di rumah dan tak tahu harus bayar pajak hadiahnya bagaimana. Nyatanya, cita-cita tak hanya bisa sekedar dimenangkan, kita perlu juga bisa menjalankan serta mempertahankannya. Itulah mengapa kadang saya merasa tak siap jika tiba-tiba saya diberi kesempatan untuk menyentuh cita-cita. Ya... sebutlah itu pesimis. 

17 Juli 2013

Kesendirian


Kesendirian itu lucu.
Kadang ia juga minta ditemani.

Bertemu Ali Topan di Blok M, Akhirnya


Tiap kali mengunjungi toko buku loak di mana pun dan kapan pun, satu judul yang selalu tanyakan  keberadaannya adalah buku Ali Topan karangan Teguh Esha. Pelacakan sudah saya lakukan sejak lama. Sejak saya rampung membaca dua novelnya saat SMA--delapan tahun lalu-- saya selalu berharap suatu kali ingin memiliki bukunya (walau sekarang ini juga sebenarnya saya punya versi PDFnya Hehehe). Saat itu buku yang saya baca adalah milik kawan, Kindi namanya. Hingga akhirnya, Sabtu kemarin, ketika menemani pacar ke tempat buku-buku bekas di lantai dasar Blok M Square saya bertemu Ali Topan. 

Saya tak percaya ketika si Abang penjaja mengiyakan pertanyaan. "Ali Topan? ada. Tunggu sebentar yah barangnya nggak di sini," ujar si Abang enteng. Pikir saya, ah paling dia salah mengerti dan buku yang akan diambilnya itu bukan Ali Topan. Maklum, tiap kali saya datang ke toko buku loak, para penjajanya selalu hanya bisa mengira-ngira keberadaannya. "Oh, itu mah adanya di toko ini, De", "Sebentarnya kayaknya saya pernah punya" dan jawaban-jawaban lainnya yang intinya mah dia nggak punya. 

Selang beberapa menit si Abang kembali ke kiosnya, dan menyerahkan sebuah buku berukuran kantong berbalut plastik yang warna kertasnya terlihat sudah kian mencokelat. Itu benar-benar buku Ali Topan. Ada sosok cowok berrambut gondrong, mengenakan jaket jins dan celana cutbray sedang berdiri nyender, gulungan koran diselipkan di celananya. Itu adalah Ali Topan. Judul yang tertera adalah Ali Topan Detektip Partikelir. Setahu saya judul itu adalah novelnya yang versi awal. Dua judul yang saya baca saat SMA sudah berjudul Ali Topan Anak Jalanan dan Ali Topan Wartawan Jalanan. Nah, si Ali Topan Detektip Partikelir adalah versi terdahulunya dari Ali Topan Wartawan Jalanan. 

24 Juni 2013

#6 Menceritakan Cita-Cita


“Dengerin nih, Ki, gue punya cita-cita. Gue pengin pergi ke Amerika.” 

Walau sudah terjadi setahun lalu, tepatnya April 2012, percakapan saya dengan Lodra, seorang kawan, itu masih saya ingat. Saat itu sudah cukup lama kami tak berjumpa. Kalau nggak salah ingat, itu adalah pertemuan pertama kami setelah Lodra lulus kuliah dan lanjut kerja jadi wartawan. 

Lodra punya cita-cita untuk hengkang ke Amerika. Kebetulan ia punya famili di sana. Nantinya, ia berencana melanjutkan sekolah dan menjajal pengalaman bekerja. Alasan kecil lainnya adalah Lodra pengin belajar bahasa Inggris. Dia yakin, satu-satunya cara agar kita bisa fasih lahir batin untuk berkomunikasi dengan bahasa internasional itu adalah dengan tinggal menetap di negara menggunakan bahasa tersebut. 

Saya menyimak dengan seksama “wasiat” Lodra tersebut. Bukan hanya tentang apa yang dicita-citakan Lodra, melainkan juga bagaimana ia menceritakannya.  Seperti biasa, Lodra bercerita dengan santai, topik pembicaraannya memang tinggi, tapi intonasi suaranya tenang. Ia berusaha untuk tetap merendah. 

Saya lupa, entah karena saya memintanya atau atas kesadarannya sendiri, Lodra pun menjelaskan kenapa ia memilih untuk menceritakan cita-citanya itu.

“Nyeritain cita-cita kita itu bikin kita ingat terus sama cita-cita kita itu. Selain itu, semakin banyak yang tau cita-cita kita, semakin banyak yang doain.” Kira-kira begitulah penjelasan Lodra. 

Selang berapa bulan sejak percakapan dengan Lodra itu, saya berkenalan dengan Fertina. Di obrolan panjang pertama kami, Fertina menanyakan apa cita-cita saya. Dengan cukup kewalahan saya menjawab. Hahaha. Ternyata, saking banyak maunya saya jadi bingung apa yang saya cita-citakan.  Bagaimana pun juga, akhirnya saya jawab pertanyaan Fertina itu. 

Agar obrolan lebih interaktif, saya balik bertanya. Pastinya, sebagaimana orang yang bertanya lainnya, Fertina sepertinya sudah menyiapkan jawaban. Dengan mantap dia menjawab, “Gue punya cita-cita yang pengin gue wujudin setelah gue lulus kuliah, sebelum mulai kerja.”

“Ya apa tuh cita-citanya?” 

“Cukup gue sama Tuhan yang tahu. Hahaha” 

Walau cukup gondok tapi saya menghargai jawabannya. Saya yakin, cita-cita itu adalah cita-cita yang besar untuknya. Dan mungkin terlalu besar untuk bisa diceritakan. Untungnya, obrolan panjang itu jadi bibit yang hingga kini selalu membuahkan obrolan-obrolan baru yang seru. Saya pun banyak mengulik Fertina, termasuk sikapnya terhadap cita-cita itu. Suatu kali, saya bertanya apa alasannya urung menceritakan cita-citanya. 

“Gue nggak pengin gue udah diceritain, tapi cita-cita gue itu malah nggak terwujud. Kalau udah cerita, dan gue gagal meraihnya bebannya makin terasa.” Bisa jadi, Fertina adalah penganut teori talk less do more. 

Baik pendapat Lodra ataupun Fertina sama-sama selalu saya ingat, selalu saya pikirkan dan selalu saya jadikan bahan pertimbangan untuk memilih sikap. Kedua pendapat itu berlawanan, tapi keduanya ada benarnya. Tak ada yang salah malah. Lodra menceritakan cita-citanya sebelum ia meraihnya, sementara Fertina akan menceritakan apa cita-citanya ketika ia sudah mencapainya. Alasan kedua pendapat itu sama, agar memotivasi diri mereka untuk giat mewujudkannya. 

Sudah sejak kecil, kita diajarkan untuk punya cita-cita. Tiap kali berjumpa dengan kerabatnya orangtua misalnya, tak jarang hal yang mereka tanyakan setelah nama adalah cita-cita. “Kalau sudah besar pengin jadi apa?” Orangtua kita pun selalu jadi perantara. Segala jenis nama profesi yang punya prospek baik dan bergengsi jadi pilihannya. Saya ingat, saat kecil, orangtua saya memilihkan jawaban ABRI  sebagai cita-cita saya. Saat itu, ya pasti saya nggak tahu persis apa itu ABRI, bagaimana pekerjaannya, dan apa keuntungannya. Yang jelas, punya cita-cita membuat saya merasa hebat, bikin saya mudah mengenalkan diri. “Saya adalah Rizki yang cita-citanya mau jadi ABRI.” Berbeda dengan (mungkin) Rizki yang lain. 

Cita-cita adalah harta karun yang kita buat sendiri, yang kita taruh bukan di langit, melainkan di dalam kehidupan kita sendiri. Sebagaimana harta karun, cita-cita akan membuat begitu berharga, layak untuk diperjuangan dan sayang untuk disiaka-siakan.  Saya menyimpulkan, bagaimanapun caranya, cita-cita memang perlu diceritakan, setidaknya kepada diri kita sendiri, agar kita selalu ingat dan selalu yakin kalau kita punya sesuatu yang sangat berharga dalam diri kita dan kita akan meraihnya. 

Minggu lalu saya bercakap-cakap lagi dengan Lodra, membicarakan lagi tentang cita-cita. Di sela-sela percakapan, saya berkata kepadanya, “jangan cerita-cerita dulu ke teman-teman ya, Dar. Biar gue aja yang cerita sendiri.” 

Dan kali ini cita-cita saya dan Lodra sama. Beberapa hari ke belakang kami bantu membantu mempelajari peta. Beberapa hari ke depan, kami, secara terpisah, akan melakukan perjalanan. Menyusuri dua ratus macam persoalan untuk mencapai cita-cita kami itu. 

Doakan 

17 Juni 2013

#5 Aneka Panik Yang Kemudian Memburam... Hilang




Saya suka sekali kedua lagu Polyester Embassy di album pertamanya ini. Bahkan walau saya nggak begitu mengerti maksud dari liriknya. Ada kerumitan dalam musiknya yang tenang. Ada teriakan dalam vokalnya yang lirih. 

Lagu ninabobok yang akan membuat kita merasa tidur walau mata terbuka. Lagu menye-menye skilfull yang memaklumi ketidakberdayaan, kekalutan, dan penyesalan. 

Ekstasi yang menuntun terbang menjelajahi rimba melankolia, membuat kegundahan malah menjadi adiksi. Ahhhhhh!




10 Juni 2013

#4 Transkrip Wawancara RU Images dan Yudhi Soerjoatmojo

Saya mengenal Yudhi Soerjoatmojo pertama kali yaitu saat mengerjakan skripsi, awal 2011 lalu, saya menemukan artikelnya tentang sejarah perkembangan fotografi di Indonesia dengan tajuk  The Challenge of Space: Photography in Indonesia 1841-1999. Tak disangka, tak lama setelah lulus, sekitar Oktober 2011, Yudhi yang konon sudah lama nggak muncul di dunia fotografi hadir sebagai pembicara di acara gelaran National Geographic. Saya pun menghadirinya. Kalau tak salah ingat, Yudhi berbicara tentang bagaimana fotografi bisa membawa perubahan.  

Menariknya, ternyata setelah sesi seminar selesai Yudhi diwawancara oleh RU Images, kemudian video wawancaranya diunggah di situsnya. Pewawancaranya adalah Rony Zakaria dan Okky Ardya. Saya suka wawancara itu. Pertanyaan dari pewancara begitu matang dan kontekstual. Omongan Yudhi terdengar santai tapi tegas. Bahan pembicaraannya juga banyak sekali, pertanyaan yang singkat pun dijawabnya dengan cerita panjang.  Bayangkan saja, wawancara 20 menititu  ketika saya ketik menjadi tulisan sepanjang tujuh halaman. Tak heran, Yudhi memang pelaku fotografi yang sudah sejak lama giat mengamati (secara kritis) fotografi di Indonesia. Karena saya suka dan butuh wawancara ini, maka saya pun terdorong untuk membuatkan transkripnya. Agar bisa lebih mudah dan lebih cermat disimak. 

Seluruh pernyataan Yudhi penting adanya. Ia berbicara tentang Galeri Fotografi Jurnalistik Antara yang dibangunnya, perkembangan foto jurnalistik, dan yang paling saya suka, tentang pencapaian yang sudah diraih fotografi Indonesia dan tentang apa yang dibutuhkan oleh ekosistem fotografi di sini. 

Transkrip yang saya buat di sini memang jauh dari sempurna. Ada sedikit bagian yang tidak saya catat dengan baik, bahkan ada yang saya tidak tahu. Tapi saya berusaha sebaik mungkin dalam membuatnya. Oia, demi memudahkan, saya melakukan penyesuaian dialog lisan menjadi dialog tulis. Kalau menemukan kejanggalan dan kesalahan, tolong kabari saya yah. 

Nah, sebelum kita baca tulisan ini, mari kita ucapkan terima kasih kepada tim RUImages yang sudah melakukan semua ini. 

Bersama Oscar Motuloh Anda terlibat menjadi tulang punggung Galeri Foto Jurnalistik Antara pada awal-awal pendiriannya pada tahun 90-an. Apa tantangan mengelola sebuah galeri foto di Indonesia saat itu?

Galeri foto jurnalistik Antara merupakan galeri jurnalistik pertama di Indonesia. Tantangannya banyak sekali. Pertama-tama adalah tidak adanya role model bagaimana galeri itu beroperasi dan berfungsi. Seluruhnya—konsep dll.—harus kita bangun dari nol. Selain itu juga bahwa galeri-galeri yang ada saat itu banyak sekali galeri yang bersifat komersial: menjual lukisan—umumnya sih lukisan yah, bahkan patung saat itu masih sangat sedikit sekali dijual: Patung, instalasi. Jadi kami tidak bisa beroperasi seperti mereka. Kami mandatnya adalah nonprofit jadi harus menciptakan cara untuk menciptakan audiens, menciptakan komunitas, menciptakan program. 

04 Juni 2013

#3 Kepada Sapardi

Kayu menjadi abu
Awan menjadi tiada
Semua karena kata yang tak sempat diucapkan dan isyarat yang tak sempat disampaikan. 
Begitukah cinta yang sederhana?


03 Juni 2013

#2 don't hIDE it


Saya punya anggapan, bahwa terkadang kemunculan ide itu bisa menjadi sebuah ancaman. Gagasan itu sampai saya buatkan tulisannya (link). Intinya, kalau kita punya banyak ide tapi nggak punya cukup daya untuk mewujudkannya maka rasanya itu sungguh nggak enak. Seperti diburu-buru orangtua untuk cepat lulus kuliah. Mengancam! 

Suatu saat, dalam sebuah obrolan sederhana dengan guru sekaligus kawan saya, Mas Hikmat Darmawan, gagasan itu saya sampaikan ke beliau secara spontan saat saya melihat folder di komputernya yang berisi ide-ide proyeknya yang sangat banyak itu.

"Gila mas. Banyak banget ide lo. Nggak merasa terancam emangnya? gue suka ngerasa gitu soalnya." 

02 Juni 2013

#1 Tampilan Blog Baru


Dua bulan lalu, tiba-tiba ada kawan yang menghubungi saya. Dia menawari pekerjaan copywriting untuk sebuah produk minuman ion yang sangat tersohor. Jenisnya advertorial untuk di majalah remaja. Tawaran honornya besar bukan main, apalagi kalau dibanding dengan honor menulis advertorial saat kerja di majalah. Tapi, sayang, setelah lewat beberapa proses seleksi, saya tersisih. Katanya, ada penulis yang portofolionya lebih jelas dan mumpuni. 

Saya cukup sedih. Bukan hanya karena tersisih, tetapi juga karena saya sudah punya niat untuk bikin blog yang bisa menampung portofolio tapi saya kerap menundanya. Dari fenomena yang mengandaskan pekerjaan lepas pertama saya sebagai freelancer itu saya pun makin memantapkan diri untuk melakukan modifikasi blog saya ini. Dan beginilah hasilnya…. Mari kita sambut… Blog terlalurisky dengan tampilan baru! Plok plok plok 

22 Mei 2013

Terjal sama ditanjak, Kaki Pegel Bodo Amat: Cerita Bersepeda Ke Curug Cinulang




Coba bayangkan suasana ini: hawa pagi yang begitu sejuk, jalanan yang dikelilingi pemandangan sawah, sungai, berlatar siluet pegunungan serta suasana geliat masyarakat pedesaan memulai harinya. Tak lupa juga suara deburan air terjun yang makin lama makin terdengar saat perjalanan. 

Menggiurkan bukan? Kami pun luluh membayangkannya, ingin mencicipi juga. Karena itulah saya, Fertina dan teman kami Bopeng menuju ke ke  Desa Sindulang, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat untuk mengunjungi dua situs wisatanya: air terjun Cinulang, serta hutan konservasi Kareumbi yang luas nan eksostis. Demi mendapatkan sensasi lebih, kami pun bersepeda, tak peduli bagaimana medan perjalanannya, tak peduli seberapa amatirnya kami. 

16 Mei 2013




07 Mei 2013

Cetak Cukil Menyegarkan Bersama Refreshink




Menjajal medium dan teknik baru dalam berkreasi itu memang menyegarkan ternyata. Siang tadi, saya mencoba membuat cetakan dengan teknik cukil. Komunitas seni grafis asal IKJ bernama Refreshink adalah biang keroknya. Mereka membuka workshop cetak cukil gratis untuk seluruh pengunjung festival seni dan budaya di Universitas Tarumanegara Selasa (7/05) tadi hingga Rabu (8/05). Awalnya, saya ikut cuma karena ingin menghabiskan waktu, tapi, setelah dicicip, ternyata menarik. Karena lagi sindrom Card to Post yang terpilih jadi nominasi di The Bobs Award, saya pun membuat logo Card to Post di karya cukil saya yang pertama itu. 

Untuk membuat cetakan, kita mesti mencukil gambarnya dulu. Media yang digunakan namanya art board, semacam kertas duplex tapi jauh lebih tebal. Pertama, saya membuat rancangannya dulu dengan pensil dan spidol, langsung di atas board tersebut. Setelah selesai, barulah saya berurusan dengan pisau cukilnya. Si anggota Refreshink mengajari saya. Walau bentuk pisaunya seperti pulpen tapi cara kita memegangnya agak beda nih. Pena pisau diposisikan sedikit menidur, disandarkan di punggung tangan di antara jempol dan telunjuk. Nah, sementara punggung tangan mendorong pisau, ujung telunjuk  mengarahkan cukilan pisau. 

13 April 2013

Doa

"Kamu doain aku yah!" 
"Iya, tapi kamu doain aku juga, supaya doaku dikabul."



27 Maret 2013


26 Maret 2013

Tuhan


14 Februari 2013

Hari ke-30: Epilog sekaligus Prolog



"Tak lama lagi aku akan bermain di sebuah konser orkestra."
"Bagaimana perasaanmu?"
"Senang sekali, karena ini adalah mimpiku."
"Oh, berarti tak lama lagi kau juga akan punya mimpi baru."

Kira-kira begitulah percakapan antara Philips, pria berhati dingin dengan Lina, celloist tuna netra dalam film Ganz nah bei dir yang saya tonton di Goethe Haus kemarin.  Kalimat tanggapan Philips tersebut diucapkan dengan datar, tanpa intonasi, dan spontan, bahkan ketika saya mendengarnya, sedikit terasa seperti ejekan.  Philips tak mengapresiasi Lina yang pastinya sedang sibuk berlatih untuk mempersiapkan konser besarnya itu. Serta merta ia malah bilang kalau Lina akan punya mimpi baru setelahnya. 

Walau ucapannya dingin dan singkat, tapi jawaban Philips itu cukup membekas. Baik di hati Lina (terlihat dari ekspresi sedikit kagetnya) dan si gue ini. Philips benar, ketika satu impian besar akan kita selesaikan pencapaiannya, kita harus memikirkan impian apa yang selanjutnya kita raih. 

Posting ini adalah penanda kalau program 30 Hari Bercerita sudah rampung gue ikuti. Walau tersendat dan molor, tetapi gue tetap ingin berusaha menuntaskannya, sampai hari ke-30. Ya, setidaknya, walau nggak bisa strict pada 30 Hari rutin menulis, seenggaknya gue bisa menulis 30 cerita. Dan karena keterlambatan itu pun gue menjadi malu. Malu sama diri sendiri gue sendiri karena nggak konsisten untuk rutin menulis. Serealistis apapun hambatan untuk menulis, ya, gue tetep malu. Kalau kata, Mbak Gina, gue nggak punya sense of urgency. Akibatnya, jadi selalu memaklumi dan menunda-nunda deh. Penyakit!

09 Februari 2013

Hari ke-29 Fertina: 12 Tahun dan Seterusnya di 'Hogwarts'


Sudah sejak kelas 5 SD cewek yang kini berusia 23 tahun ini mulai mengikuti cerita karangan JK Rowling: Membaca dengan seksama setiap novelnya, menonton filmnya, sesekali mengikuti kegiatan di komunitas fans, mengoleksi segala hal yang berhubungan dengan Harry Potter. 

“Harry Potter sebagai buku dan kisah itu adalah saksi perkembangan hidup gue!” ujar Muggle pemilik nama Fertina ini. 

Saya pun takjub. Ternyata seru banget yah hidupnya orang yang punya hasrat dan adiksi besar terhadap cerita fiksi. Semenjak kenal dengan Fertina, saya banyak dilibatkan dengan cerita-cerita serunya tentang Harry Potter. Sejak 12 tahun lalu litulah, Fertina mengumpulkan material-material dari dunia rekaan JK Rowling dan membangun Hogwart-nya sendiri di kesehariannya. Tak hanya kamarnya yang penuh dengan poster bertema Harry Potter, sudah banyak ruang dalam diri dan kehidupannya yang dilekati Harry Potter dan dunianya.

Untuk itulah, di posting kali ini saya mengundang langsung orangnya untuk ngobrol-ngobrol santai dan bersahaja. Biar nggak saya doang yang ketularan. Hahaha. Mari kita, yuk ah! 

Ceritain dong, gimana sih awalnya lo kenal sama Harpot. Apa yang membuatlo tertarik untuk membacanya? Padahal saat mulai membacanya lo masih kelas 5 SD. Anak 5 SD kan nggak suka baca buku tebel-tebel, apalagi saat itu lo masih gendut. :p  

Selamat siang ya, mas Rizki, masnya lancang sekali bawa-bawa masa lalu saya! Justru karena gendut itu, salah satu pengaruh Harpot yang membekas di gue. Jadi dari awal itu gue nggak bisa banyak main di luar rumah, karena rumah gue dulu di pinggir jalan raya dan jauh dari rumah teman-teman. Jadi, deh, larinya ke baca. Masih baca buku-buku fantasi juga sih kebanyakan. 

05 Februari 2013

Hari ke-28: Uang dan Pencapaian




“You see, if you don’t take money they can’t tell you what to do. That’s the key to the whole thing, don’t touch money! It’s the worst thing you can do. 
Money is the cheapest thing. Liberty is the most expensive.”


Terlalu klise memang kalau kita menyatakan diri menolak kebutuhan akan uang sementara konstruksi sosial atas pencapaian hidup sudah begitu kuat terbentuk. Terlalu banyak pesan yang membombardir hasrat kita. Iklan-iklan di media massa, obrolan dengan teman sebaya mengenai pencapaian hidup, imaji hidup enak yang ditampilkan film, serta petuah-petuah orangtua mendominasi pikiran kita.  Semua tuntutan-tuntutan itulah yang akhirnya membuat kita merasa harus mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, bahkan hingga mengesampingkan hasrat dan pencapaian kita yang sesungguhnya. Kita bersusah-susah mengumpulkan uang untuk bisa menganggap kalau kita bisa dengan mudah menghabiskan uang. 

Tak bisa dipungkiri, sedikit banyak, pikiran saya pun terkontaminasi. 

04 Februari 2013

Hari ke-27: Kebiasaan Menulis Keseharian dan Para Penerbitnya


Bagi saya, menulis adalah medium bercerita yang paling asik. Apalagi saya memang nggak pandai berbicara, menulis adalah opsi yang paling tepat. Saat menulis saya nggak berinteraksi secara langsung dengan si komunikan, saya sendirian. itulah mengapa dengan menulis saya lebih lepas berekspresi. 
Kegiatan tulis-menulis (yang bukan menulis pelajaran sekolah atau kuliah pastinya :p ) saya mulai sejak SMA. Intensitas serta kualitasnya pun berprogres. Diawal-awal saya cuma biasa menulis cecoretan sederhana yang tak terstruktur bentuknya, lalu di tahun kedua ketiga kuliah saya mulai berlatih tak cuma menuliskan perasaan saja melainkan juga gagasan dan pengalaman, apalagi saat itu saya berkenalan dengan Multiply dan Blogspot.

Setelah fase itulah saya pun memantapkan diri untuk menjadikan tulisan sebagai medium saya bercerita, baik bercerita untuk khalayak maupun bercerita untuk diri sendiri. Sejak itulah saya merasa yakin kalau menulis tentang keseharian itu penting! Alasannya, menulis membuat saya bisa lebih memahami diri sendiri, untuk menulis kita harus tahu apa yang kita alami dan rasakan. Setiap kata yang keluar seolah menjadi tangga untuk saya turun ke dasar diri dan mendalaminya. Kedua, tulisan itu tidak temporer sifat wujudnya, karena itulah menulis adalah dokumentasi. Rekam jejak kehidupan. Dengan menulis keseharian, kita jadi punya mesin waktu, kita bisa kembali merasakan pengalaman masa lalu di masa sekarang dengan hanya membaca tulisan kita di masa lalu itu. Dan setelah dilakukan, saya pun jadi tahu, bahwa menulis ternyata adalah kebutuhan.  

Nah, tentunya, bagi saya, kesadaran dan semangat menulis itu nggak muncul begitu saja, melainkan tersulut dari cerita dari orang-orang yang rajin menulis, dan tulisan kesehariannya begitu menarik serta menginspirasi. Siapa sajakah mereka? Sekiranya, ada tiga yang percikannya cukup besar dalam mempengaruhi saya untuk menulis. Mereka adalaaah…. 

1. Pidi Baiq 

Perkenalan saya dengan Pidi Baiq terbilang unik. Saat itu saya membeli Drunken Monster dengan pertimbangan bahwa dia adalah lulusan FSRD, anggota band The Panas Dalam dan di bagian kata pengantarnya seorang Dosen Filsafat lah yang menulis. Saat itu saya memang sedang butuh bacaan yang… uhuk… filosofis. Kebutuhan itu pun bukan  tak terpenuhi begitu saja ketika ternyata Drunken Monster ternyata berisi kumpulan cerita keseharian Pidi Baiq seorang. Dominasi humor dalam cerita dirinnya yang memang konyol dan seperti selalu punya pikiran yang autentik ternyata banyak  menyelipkan makna yang mendalam dan filosofis. Pidi Baiq membuat saya memikirkan lagi tentang esensi hidup. 

03 Februari 2013

Hari Ke-26: Sulvi





Sebutlah ini cerita yang gagal. Karena pada awalnya, saya ingin bercerita tentang kosan saya dulu di Jatinangor yang menjadi sanctuary. Tempat yang saya anggap paling nyaman, tenteram, damai, dan disanalah saya bisa maksimal menikmati hidup sebagai diri saya sendiri. Tak hanya asik untuk bersendiri ria, pada kosan bertajuk Pondok Melati inilah sebentuk kenyamanan itu juga terwujud pada persahabatan kami, belasan anak cowok yang tinggal bersama di bawah satu atap selama lima tahun, bahkan lebih.  Semenyebalkan apapun kepemerintahan si bapak kos dan antek-anteknya, Pondok Melati tetaplah rumah bagi saya. 

Tapi tapi tapi… saat sedang mengumpulkan memori tentang suasana kosan, penelusuran saya terhenti pada folder foto bernama Sulvi. Buyarlah semua rencana bernostalgia dan mengagung-agungkan romantisme si kosan saya itu sebagai sanctuary. Cerita jadi berputar arahnya, si Sulvi justru jadi tokoh sentral yang akan dikedepankan dalam posting ini. 

Memang siapakah seonggok Sulvi itu? 

30 Januari 2013

Hari ke-25: Mengulang-ulang ulang tahun


Sebelum cerita dimulai, saya mau kasih tahu, kalau kelakuan saya ini memang nggak salah sih kalau disebut iseng, mendekati norak dan sedikit loser banget. Hehehe. Tapi nggak apa-apalah, untuk kenang-kenangan, kisah ini perlu didokumentasikan. Toh sebenarnya, kelakuan saya ini sekaligus dilakukan untuk penelitian. *pembenaran* hahaha.... 

Berulangtahun itu menyenangkan, itulah mengapa pada 2011 lalu, saya sampai berulang tahun dua kali. Kok bisa? Ya bisa, kesenangan ulangtahun itu ternyata nggak cuma bisa dirasakan setahun sekali, melainkan bisa setiap hari, bahkan. Caranya, ya ubah saja tanggal lahir di biodata Facebook. Serta merta, orang kita akan dianggap sedang berulangtahun. Hehehe… 

Awalnya saya memang iseng, saya ingin ngetes apakah sebenarnya teman-teman saya itu tahu persis kapan tanggal lahir saya. Hahaha. Saat itu, saya mengubah tanggal lahir ke tanggal yang nggak jauh dari hari itu. Misalnya saat ini tanggal 29 Oktober, maka saya menset ulangtahun saya di tanggal 31 Oktober. Dan tarra!! apa yang terjadi, Wall di facebook saya penuh dengan ucapan selamat dari teman-teman. Terbukti, nggak banyak yang tahu kalau sebenarnya saya lahir di bulan April. 

28 Januari 2013

Hari ke-24: 69 Terkutuk


Kemacetan memang sudah pasti membosankan dan menyebalkan. Tapi, lalulintas macet hari ini berbeda, sudah mendekati brengsek dan bedebah, setidaknya bagi saya. Saya yang di sudah menghabiskan waktu dua jam di pagi hari, dua jam di malam hari ditambah bonus naik Metromini yang menipu, mereka nggak ‘narik’ sampe tujuan akhir, bahkan belum ada setengah perjalanan, sang kondektur sudah mengumumkan kalau trayek sudah ‘habis’. Saya dan penumpang lain harus turun. 
               Jadi begini ceritanya, saya naik bis Metromini 69 jurusan Blok M – Ciledug dari terminal Blok M. saat di terminal memang saya mendengar kalau si kenek kerap menyebut-sebut Seskoal—daerah yang nggak  kebayoran lama. Seskoal adalah titik yang memang dilewati rute bus ini. Tanpa menghiraukannya saya pun naik, dan duduk manis di belakang supir sambil mendengarkan lagu.

27 Januari 2013

Hari ke-23: Indie yang Tak Selalu Independen


Ada yang menarik dari term indie yang hidup di budaya kita kini, terutama di kalangan anak muda. Setahu saya—dan ternyata dibenarkan oleh penjelasan dari Wikipedia—indie adalah bentuk pendek dari independence atau independent alias kemandirian. Kemampuan untuk melakukan sesuatu dengan daya sendiri, tanpa atau minim bantuan dari pihak lain. Tapi, nyatanya, sekarang istilah indie itu sudah bergeser pemaknaannya. Indie selalu merujuk kepada gerakan atau kelompok yang seolah mengandung selera seni tersendiri, bergaya eksentrik, dan pastinya tidak mainstream. Padahal, sebenarnya ada istilah yang merangkum semua ketidakbiasaan dan atau resistensi itu, yaitu alternatif.    

Kira-kira, apakah penyebabnya? 

26 Januari 2013

Hari ke-22: Antara Hujan dan Madu Rasa


Minggu lalu, Jakarta dan beberapa kota sekitarnya lagi rajin-rajinnya mandi. Tuhan ingin kota kita bisa bersih. Daki-daki berwujud plastik, botol, dan kekotoran lainnya yang tersembunyi digilas hingga menyeruak tampak.  Selayaknya mandi, kita nyaris tak mungkin melakukan aktifitas lain secara beriringan. Kita tak mungkin mengetik sambil mandi. Kita tak mungkin rapat sambil mandi. Sementara waktu terus berjalan, mobilitas keruangan kita terhenti saat mandi.

Mandi membuat kita basah, dan terlalu lama basah ternyata bisa membuat kita lembek dan lemah. Penyakit pun ikut mewabah. Bukannya ingin tak bersemangat, tapi memang menggerak-gerakkan konstruksi yang lembek bisa saja menghancurkan, malah.

Hujan pada alam juga bisa menimbulkan hujan-hujan yang lain, di antaranya adalah hujan psikologis dan hujan ingus. Hujan psikologis berawal dari permasalahan-permasalahan hidup-seperti tekanan di kantor, atau judul skripsi yang lagi-lagi ditolak-dan memori serta perasaan melankolis yang menguap dari permukaan laut kehidupan menuju langit kejiwaan. Cuaca mood jadi mendung dan tak jarang jadi kelam berpetir. Untuk kita yang punya pawang, bisa saja hanya cuaca mendung itu saja yang terjadi, rintik air yang turun dari awan mata tidak serta-merta turun. Tapi, ketika kita tak punya acara-acara yang superpenting, pawang memang tak dibutuhkan, hujan airmata memang kadang harus dibiarkan turun. 

Hari ke-21: Parade Film Pendek Dunia Maya (Putaran 1)


Walau jumlahnya banyak, tapi mungkin kita sering yang nggak menyadarinya. Di jejaring sosial berbasis video – Youtube, Vimeo, dll - kita bisa menemukan banyak film-film pendek yang menarik. Nggak hanya yang dari luar negeri saja tetapi juga yang lokal punya ada di sana. Ceritanya beragam dan nggak jarang temanya unik. 

Selama setahun ke belakang, saya cukup rajin menelususi film-film tersebut. Nah, lewat posting ini saya mau sajikan beberapa film pilihan untuk kita tonton bersama. Lumayan, untuk mengisi waktu luang yang singkat di sela-sela aktivitas. 

Matikan lampu, pasang headset, dan maksimalkan kecepatan internet!


1. TICK TOCK: Lima menit penuh sensasi 



Apa jadinya kalau kita hanya memiliki waktu lima menit untuk bertahan hidup? Menghubungi orang yang paling kita sayangi pasti jadi yang pertama kita lakukan. Begitu juga lah Emit, cowok yang nggak sengaja menelan pil morfin milik temannya. Emit pun berlari keluar menuju rumah pacarnya sambil menelpon orangtua di rumah untuk minta maaf.

Cerita dari film yang dibuat dengan kamera Canon 5D Mark ini memang sangat sederhana, tapi lewat tangan Ien Chi film ini menjadi sangat keren. Alur yang disajukan mundur, akhir cerita justru ditaruh di awal. Lalu dalam durasi 4 menit 50 detik kita tak henti-henti dibuat untuk menebak-nebak apa yang sebenarnya terjadi pada Emit. Apalagi backsound yang berisi repetisi intens serta bunyi detak jantung yang dipakai di film ini pasti bikin kita semakin tegang. 

Dijamin, menyimaknya sekali pasti nggak cukup. Butuh dua-tiga kali untuk kita bisa benar-benar mengetahui permasalahan yang terjadi dalam film. Seru!

25 Januari 2013

Hari ke-20: Cara Baru Berkereta Api


     Hmmm... kayaknya sih, tulisan ini nggak bakal berguna untuk kalian yang mengonsumsi mobilitas Kereta Api pada intensitas tinggi. Hehehe... tapi nggak apa-apa lah, saya cuma mau share  kesan-kesan saya tentang kereta api sekarang. Soalnya saya nggak cukup sering berkereta api ke luar kota - paling, setahun hanya 1-2 kali PP - jadi tiap kali berkereta api ada saja layanannya yang berubah dan baru saya sadari. Tentunya, sejauh ini, perubahan itu membawa efek yang positif, sih, bagi saya.  Oke, saya akan ulas satu persatu informasinya. 

1. Pemesanan tiket yang lebih praktis
Jangan kira membeli tiket kereta api itu harus lewat loket di stasiun atau di biro-biro perjalanan. Sekarang tiket kereta api bisa kita dapatkan lewat beberapa medium. Untuk yang mobilitasnya tinggi atau males gerak keluar, kita bisa pesan tiket lewat telepon.  Caranya, hubungi nomor (021) 121. dan ikuti langkah-langkahnya. Nggak susah, kok, prosedrunya. Kita hanya perlu menetapkan jadwal keberangkatan dan kelas kereta api yang kita inginkan. Operator akan mencarikannya. Setelahnya, operator akan memberikan kode pembayaran dan kode penukaran tiket. Kedua kode itulah yang perlu kita simpan/catat baik-baik. 

24 Januari 2013

Hari ke-19: Pernikahan Indie dan Artsy ala Putri dan Fikrie




Kenal Putri Fitria? Ah, pasti kalian kenal. Kalau belum, sini saya kenalin. Dia adalah sohib yang pertama saya kenal pada medio 2011. Cewek penulis dan peneliti yang punya bakat besar menjadi seorang mandor. Hehehe…. Tapi ini dalam arti yang positif, lho. Putri andal banget motor penggerak, nggak Cuma bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi beberapa gerakan dan organisasi terutama yang erat kaitannya dengan seni, sesuai dengan ketertarikannya. Card to Post tercatat sebagai salah satunya. Kalau ada yang setuju kalau pergerakan Card to Post itu signifikan dan menawan, berarti kalian juga harus setuju kalau Putri Fitria lah yang punya andil besar di situ.  Pokoknya, Putri itu keren.

Lalu apa jadinya kalau cewek tangguh, bersahaja, intelek sekaligus kontemporer ini menikah? Keren dan menakjubkan pastinya. Bukti pertamanya adalah Putri yang sebelumnya sering bercerita kalau dirinya ogah terikat dalam institusi pernikahan ini merencanakan pernikahannya nggak lebih dari setengah tahun. Muammar Fikrie adalah pasangannya.  Nggak berbeda dengan gerakan –gerakan yang dimotorinya, pesta pernikahan Putri dan Fikrie sangatlah keren, otentik dan pastinya, kekinian. Hahaha…

Saya sampai bingung mau mulai bercerita dari mana. Pokoknya, pesta digelar pada 20 Januari 2013 di Rumah Seni Eloprogo yang terletak  di Magelang. Nggak jauh dari Candi Borobudur. Eloprogo memiliki lahan yang superluas dengan tata arsitektur yang artistik. Nah, pesta digelar di bagian belakang Eloprogo.  Sebuah ruang terbuka beralas hamparan rumput, beberapa pohon yang menjulang tinggi, bebatuan, ornamen-ornamen seni dan sungai besar yang berada jauh di bawah lahan lokasi pesta. Konon, sungai tersebut adalah sungai pertemuan Sungai Elo dan Sungai Progo. Filosofi pertemuan yang abadi itu juga dijadikan doa dalam pesta ini. 

22 Januari 2013

Hari Ke-18: Jogyakarta, Jokes a Kata

Nggak panjang jalan pagi itu yang saya tapaki di Jogja, tapi, begitu banyak kata dan tanda yang menghibur saya temui. Jogja memang penuh Jokes, ya.. 
 



21 Januari 2013

Hari ke-17: Membaca Kepribadian lewat Tulisan Tangan



Karena sistem syaraf di otak yang menggerakkan tangan untuk menulis dipengaruhi keadaan psikologis kita, tulisan tangan pun bisa mengungkap banyak tentang kepribadian kita.  

Tulisan adalah salah satu medium kita untuk berkomunikasi. Nah, dari situlah, ketika sudah jadi, tulisan dianggap merepresentasikan diri seseorang. Nggak heran deh, kalau saat kita ingin mengetahui (baca: stalk) seseorang, tulisan seolah jadi jendela untuk mengintip isi hatinya. Tak jarang kita menguntit tweet, membaca blognya, atau menelusuri tulisan-tulisan lainnya yang tersebar di web. Nah, menariknya, dibanding yang berbentuk digital, tulisan tangan seseroang itu ternyata bisa menjadi cara ampuhnya. Asal, kita sudah menguasai ilmu membaca tulisan tangan yang disebut dengan grafologi. 

Ilmu ini pertama kali digagas oleh seorang kebangsaan Perancis bernama Abbe J.H. Michon di tahun 1875. Ia memulai pengelompokan ciri grafis tulisan dan dihubungkan dengan sifat-sifat manusia. 

Hari ke-16: Lewati 100 Kata, Imajinasi pun Dibuka



Dalam pembuatan sebuah cerita, ternyata nggak melulu harus dimulai dengan modal ide tema, melainkan juga teknik pembuatannya. Itulah yang ditawarkan oleh buku Kumpulan Cerita 100 Kata ini. 

Seperti judulnya, buku kecil terbitan Antipasti ini, mengajak para penulis untuk bereksperimen, menuliskan satu cerita yang hanya terdiri dari 100 kata. Nggak kurang nggak lebih. Jelas, ini sangatlah menarik, apapun tema cerita, ia tetap harus menimbulkan kesan walau dalam ruang yang ringkas. Hasilnya, hampir seluruh cerita langsung menampilkan premisnya saja, tanpa basa-basi, langsung menuju konflik. 

17 Januari 2013

Hari ke-15: Risky in Randomland


Selasa 15 Januari 2013 Hujan menularkan secara deras salah satu sifat utamanya ke Jakarta dan pastinya, hidup saya: penuh ketakterdugaan. Sulit disangka-sangka. Sudah sejak dini harinya, diri jadi begitu tak menentu. Awalnya saya senang hujan turun, karena udara sejuknya bisa ngelonin saya tidur nyenyak. Tapi, paginya, hujan justru melabrak saya. Mengharuskan saya bangun jauh lebih awal dan berangkat jam enam pagi, menggunakan mobil agar bisa bareng dengan kakak, adik dan ibu saya. 

Seperti yang bisa ditebak, hujan di Jakarta itu tak pernah sespesial yang dituliskan para penyair. Ada beberapa petaka yang dibawa. Kali ini adalah banjir hebat di beberapa titik. Sialnya, konsentrasi banjir kali ini berada di sekeliling Ciledug, daerah rumah saya. Seluruh jalur untuk menuju sentra Jakarta dikepung banjir. 

14 Januari 2013

Hari ke-14: Secuil Liburan di Kalimantan. Episode Pontianak



Nggak banyak informasi yang saya tahu tentang kota Pontianak ini. Paling hanya sebatas Singkawang, masakan cina yang aduhai, serta Tugu Khatulistiwa yang dibangga-banggakan itu. Hingga pada Rabu, 11 November 2012 saya menginjakkan kaki di sana, setelah sebelumnya berangkat dari Banjarmasin dan terlebih dahulu transit di Jakarta. Ya, betul sekali, berpindah ke satu provinsi yang masih berada di Kalimantan mengharuskan kita nyebrang dulu ke pulau Lain. “Menarik!”

Kalau di Banjarmasin saya kecewa dengan situasi perkotaannya, di Pontianaklah saya mendapatkan bayarannya. Saya suka dengan dinamika kota ini. jauh lebih ramai dan hidup disbanding Banjarmasin. Apalagi saat itu saat tinggal di Hotel yang terletak di kawasan sentral, dekat dengan pasar, di tepi jalanan besar. Interaksi antara manusia dan kotanya sangat terasa. Pokoknya, Kota Pontianak, saat itu,  selalu menggoda untuk ditapaki sambil memotret satu dua kali. 

Wahai, Pontianak tertanggal 11 November 2012 sore hari, maafkan saya yang mencuri potongan-potongan ruang dan waktumu. 

13 Januari 2013

Hari ke-13: Ketika Kedatangan Ide Menjadi Ancaman


Hahaha … ironis, yah, biasanya ide itu selalu dinanti-nantikan kedatangannya. Apalagi, seringkali, kebutuhan akan ide itu suka mendadak. Kita ingin mendapatkan ide secara cepat. Tapi, ternyata, ada kalanya, kemunculan ide juga diiringi teman-temannya yang tak teduga: kecemasan dan kegelisahan mendadak nan berkepanjangan. Belum lagi kalau ide  nggak datang satu doang, tapi bergerombol dengan jenisnya yang beragam. Pasukan ide itu siap menyerang otak dan jiwa. 

“Gue, tuh, sampe suka takut tau nggak, tiap kali punya ide baru.” Seorang teman, co-founder dari sebuah instusi kreatif, mengatakan itu pada saya di sebuah obrolan.  

Kunjungan ide menjadi sebuah petaka. Kok bisa? 

hari ke-12: Kekuatan Pak Pos

Halo Pak Pos,
kali ini kekuatanmu akan diuji.

 Pada selembar kartu pos, 
kutitipkan rindu yang begitu besar. 

Semoga tidak keberatan.


:)

12 Januari 2013

Hari ke11: Sebuah Kafe dan Tujuh Romansa Birunya



Saya belum tahu bagaimana awalnya, tapi di antara minuman keseharian lainnya, kopi seperti punya posisi tersendiri dalam budaya kita. Nilainya seolah ditinggikan. Coba pikir saja, kayaknya nggak banyak ragam minuman yang secara spesifisik dikedepankan nilainya seperti kopi. Bahkan saking bersahabatnya kita dengan kopi beserta nilai dan filosofinya, akhirnya banyak dibangun kedai-kedai kopi yang besar. Istilah yang digunakan adalah kafé. Walau menu makanan dan minuman juga disajikan pada daftar menu, namun nilai dan filosofi kopi lah yang dijadikan tema besarnya. Setelah itu pun, kafé tumbuh berkembang menciptakan nilai-nilai serta tradisi baru. 
Lalu, kenapa tiba-tiba saya membahas kopi dan kafe?  

11 Januari 2013

Hari ke-10: Secuil Liburan di Kalimantan. Episode Banrjarmasin




Kalender saya bulan November 2012 kemaren cukup penuh dengan catatan-catatan yang menyenangkan. Sejumlah momen penting dan seru terjadi di sana. Selain bisa ikut merayakan ulangtahun pacar dan  ulangtahun Card to Post, saat itu saya juga mendapatkan hadiah besar, yaitu kesempatan untuk menapaki pulau Kalimantan. Walau tujuan utamanya adalah urusan liputan, tapi bukan berarti saya nggak bisa meluangkan waktu untuk berkeliling, berkenalan dengan Pulau Borneo itu, kan. 

Karena saya adalah pembaca baru novel serial Supernova, maka ketika akan tiba di Kalimantan yang saya ingat adalah tokoh Zarah di novel Partikel dan petualangan spontannya bertahun-tahun di hutan Kalimantan. Jadi, saya seolah dirasuki Zarah. Selalu ingin mencari petualangan – walau pun kecil – menjelajah Kalimantan. 

© blogrr
Maira Gall