06 Desember 2018

Syarat Nikah Selain Cinta: Ganteng!

Kapan terakhir kali kamu melakukan hal untuk pertama kalinya dalam hidup? Gue dong baru sore tadi. Untuk pertama kalinya dalam 30 tahun hidup, gue pergi ke tempat perawatan kulit dan facial. Ini bukan facial Basri. Ini adalah perawatan muka (wajah) agar supaya nggak terlihat kusam.

Udah sering banget Rima dan mamah kompak ngomel karena menurut mereka muka gue kusam.

"Rizki udah sering cuci muka pake sabun, kok."
"Nggak cukup. Kalau mau nikah harus facial," kata mamah suatu waktu. Facial sebelum nikah itu seolah wudhu sebelum solat, ya? hmm

Sore tadi sebelum berangkat, gue memastikan ke Rima sambil berharap pemakluman. Haha.

"Neng, seberapa harus aku facial?"
"1000%"
"Baique. Aku pergi sekarang nih. Minta ditemenin mamah."

05 Desember 2018

Almost But Not Quite There

  
Kalo ada yang merhatiin, di Instagram gue sering ngepost foto dengan caption "Almost but not quite there."  

Lewat foto, gue pengen nyoba mencurahkan excitement sekaligus anxiety yang gue rasain selama berada di masa 'hampir sampai' ini.

Seluruh foto gue ambil sejak Februari 2018

Tadinya mau gue buat zine dan jadi suvenir terbatas di nikahan, tapi ternyata males ngurus cetak-cetakannya. pisss

12 November 2018

Tentang Menjadi Bapak #2

Komik oleh Bang Gaber
 
Suka banget sama komik ini. Doain ya, semoga gue bisa jadi bapak yang baik untuk ibu yang baik untuk anak yang baik. Bapak yang bisa bikin keluarganya jadi hebat-hebat semuanya.









29 Oktober 2018

Kesepakatan Rrumah #31

"Ini pernikahan, bukan pesta ulang tahun. Jangan kayak anak kecil Nggak boleh maunya asik sendiri, mesti mikirin banyak orang." 

30 September 2018

Tentang Menjadi Bapak

Di awal perjalanan, ibu sopir GoCar yang gue tumpangi nggak banyak bicara. Dia cuma sesekali menanyakan hal-hal dasar aja.  Tapi begitu tahu tempat gue kerja, bu Siti, sopir itu, menceritakan anaknya yang masih sekolah di SMK Telkom.

"Dia pinter banget mas. Dia udah bisa bikin game. Suka foto-foto mainannya juga. Dia koleksi Lego dari kecil," kata membuka cerita.

Lalu gue minta akun Instagram anaknya yang bernama Galang itu. Semua foto di linimasanya memang sesuai dengan hobi yang diceritakan tadi. Lego, Lego, dan Lego.

"Saya juga koleksi Lego, Bu. Bareng adik saya. Tapi nggak sebanyak punya anak ibu, sih," gue menimpali.

16 September 2018

Bahagia Adalah

Di depan Rima, mamahnya, dan Ayahnya, ada gue yang berdiri, megang mic sambil menenteng rangkaian bunga :)

Setiap pacar pasti pernah ngegombalin pasangannya, tapi pernahkah kamu ngegombal di depan keluarga besar? Gue baru saja melakukannya. Tepatnya seminggu lalu, 8 September 2018.

Di hadapan keluarga besar gue, di saksikan juga keluarga besar Rima, gue mengutarakan kalimat-kalimat lamaran saya untuk Rima tanpa diwakili.

Tentu gue menulis lebih dulu apa yang gue mau ucapkan. Gue sudah rancang dari jauh-jauh hari. Gue ketik di hape dan gue baca berulang kali kalau lagi di perjalanan motor.

Gue cukup sering menulis surat untuk Rima. Jadinya, kalimat lamaran gue itu pun gue bikin dengan gaya surat gue ke Rima biasanya.

07 Juli 2018

Tanggal Cantik

Hari ini adalah tanggal 7 di bulan 7. Gue baru menyadari bahwa ini adalah tanggal cantik siang tadi.

Jadi, gue dan Rima hari ini punya rencana untuk survei satu tempat resepsi. Sebuah masjid di bilangan Cinere.

Namun, rencananya bertambah di pagi hari. Rima ngajak mampir ke sebuah gedung di Pondok Labu untuk test food sebuah jasa katering yang paling murah yang kami temui.

06 Juli 2018

"Ayat-ayat Cinta, Mah, Lewaat..."

Namanya Ulama A Manan. Ia mengaku sering menjadi guru ngaji dan menolak untuk dibayar. Ngajar ngaji atau dakwah, katanya, harus berdasarkan keikhlasan, sama seperti yang dilakukan Nabi Muhammad. Kalau pun ada yang ngasih imbalan, ia menganggap sebagai hadiah. Adalah salah besar kalau mematok nilai hadiah imbalan tersebut, kata pak Ulama.

Ia punya penghasilan dari berdagang dan jadi sopir ojek. Saya tadi jadi penumpangnya dan karena itu jadi kenalan dengannya, lalu lanjut mendengar kisah hidupnya semenjak ia tahu bahwa saya wartawan.

"Mas suka nulis?" kata bapak yang suka twitteran karena suka politik itu.

"Saya suka baca novel, Pak," saya menjawab.

"Saya punya cerita menarik. Bisa mas jadikan novel kalau mau."

05 Juli 2018

Menceritakan Rencana Nikah Ke Teman Dekat



Gue sempat bercita-cita untuk menyembunyikan rencana pernikahan dan baru memberi tahu orang banyak saat sudah dekat waktunya saja. Pertama, biar surprise. Kedua, biar gue terbebas dari perasaan bahwa gue mesti begini-begitu dalam mempersiapkan pernikahan. gue mau gue dan pasangan bener-bener menjiwai (rencana) pernikahan kami benar-benar dulu sebelum akhirnya orang tahu. Pun, ada resiko kita ketimpa jinx kalau menceritakan rencana.

Tapi menyembunyikan itu susah, ternyata.

Atau lebih tepatnya, menceritakan rencana pernikahan itu ternyata berfaedah.  Bikin lebih enteng dan mantep. Asal ke orang yang tepat ceritanya kali ya.

Gue sudah membuktikannya. Satu persatu temen dekat gue ceritain juga akhirnya. Gue cerita ke Dea, Abriani, Jeanett, Hira, Adi dan yang paling seru adalah saat cerita ke temen sebaya, yaitu Tito serta Lodar.

04 Juli 2018

Kesepakatan #64: Menunda Cerita Ke Media Sosial

"Aku punya ide. Kesepakatan kecil, yang menurutku penting."

 "Hah. apaan lagi?"

 "Setelah nikah, aku nggak mau kita langsung update apapun di media sosial. Cerita-ceritanya kita tunda sampe, hmm, dua minggu setelahnya. Gimana gimana?"

 "Ih, emang kenapa sih?"

 "Aku nggak mau aja kita pamer kebahagiaan sekilas-sekilas. Kalaupun mau cerita, cerita yang utuh. Dengan ngasih jarak dua minggu, kita punya waktu untuk mengolah momen-momen pernikahan kita dulu."

 "Deal" 


 *ps: Nomor kesepatakan dipilih acak. Bukan sebuah urutan.

01 Juli 2018

Pengumuman: Gue Botak!



Jelas, itu bukan pengumuman utamanya kecuali kalau kalian memang pengin tahu gimana gue menggunduli kepala ini di sore sebelum malam takbiran kemarin tanpa rencana yang bener-bener matang. 

Sekedar info saja, gue terakhir kali botak itu kuliah. Agaknya, momen lebaran pas untuk menjajalnya. Beberapa orang menganggap gue botak demi buang dosa, kembali ke fitri, atau habis umrah. Padahal, gue cuma iseng belaka. Pengen ngerasain suasana baru saja gitu sekalian ngejawab tantangan Rima yang sesekali ia bilang dengan nada gurau. 

Tapi, gue juga mengamini anggapan orang-orang tadi itu. Gue menyimpulkan, menggunduli rambut itu adalah tanda bahwa kita masuk fase baru, persis seperti apa yang gue akan lakukan SETELAH LEBARAN. 
Setelah lebaran adalah kata yang sering terngiang-ngiang di kepala gue tahun ini. Soalnya, Rima dan keluarganya waktu itu bilang bahwa pertemuan keluarga kami dilakukan setelah lebaran saja. "Momennya pas, suasana silaturahmi." 

Pertemuan keluarga ini adalah momen penting. Ya kan, ya dong? Ibarat naik gunung, ngajak nikah itu adalah pos pertama, minta restu ke orang tua itu pos kedua, dan pertemuan keluarga adalah satu pos sebelum pos summit. 

Dan pertemuan itu baru saja berlangsung tadi siang. 

Gue dan Rima membawa keluarga inti untuk makan siang bareng. Kami pilih tempatnya di sebuah restoran bilangan Ampera. Kami sudah reservasi tempat untuk 15 orang. Keluarga inti Rima 4 orang, keluarga gue ada 10. Namun akhirnya pasukan bertambah 4 karena mamahnya Rima ngajak Kak Riri dan Bang Gian, sepupu Rima. 

Kedua pasang orang tua kami set untuk duduk berhadapan. Tanpa perlu dipandu, papah dan ayahnya Rima langsung ngobrol sedari awal salaman. Untungnya, mereka punya latar belakang profesi yang nggakjauh beda. Sama-sama orang proyek kayak si Doel. 

Beres bertukar cerita tentang latar belakang keluarga dan pekerjaan, giliran gue mengeluarkan satu per satu kalimat yang sudah gue susun tadi pagi dan sudah disepakati Rima dengan catatan "Bagian kita pertama kali ketemu nggak usah diceritain lah, iuh." 


Yang menarik dari pertemuan tadi adalah gimana polah si Akang keponakan gue. Begitu rombongan keluarga Rima datang, Akang ciut. Ia melipir keluar dari meja dan merengek minta orang-orang pergi.  Akang malu

Hampir 20 menit Akang rungsing karena kenyamanannya terganggu orang-orang yang ia anggap asing. 

Namun, pelan-pelan kegelisahannya mereda. Ia mulai mau diajak gabung lagi walau tetap diam dan meminta hape untuk nonton YouTube. 

Nah, setelah beres makan, Rima beraksi. Ia menghampiri Akang, menggendongnya lalu mengajak Sabika (anaknya Kak Riri yang empat tahun) untuk ke halaman belakang. Ternyata, Akang mau! 

Sejurus kemudian, ia akrab dengan Sabika. Mereka melihat-lihat kolam, memberi makan ikan dengan nasi sisa, dan  main kejar-kejaran seperti nggak ada hari esok. 

Melihat polah Akang dan Sabika, gue membayangkan semesta sedang menyiratkan pesan penting. 

Lega, deh. :) 


28 Juni 2018

Tiga Hari Sebelum Pertemuan Keluarga

Setiap kali ditanya kapan kita mulai serius mempersiapkan nikah, Rima selalu menjawab "Habis lebaran". Dan sekarang, momen itu sudah datang. 

Minggu, 1 Juli besok, keluarga gue dan Rima akan bertemu. Perkenalan pertama sebelum pertemuan keluarga yang lebih besar lagi. Kami menyebutnya ini sebagai pertemuan informal.

"Rizki nggak mau kita ketemu keluarga Rima cuma pas di acara lamaran. Rizki pengen kita bisa lebih akrab. Jadi, ada pertemuan informal dulu," kata gue pada mamah papah suatu waktu. 

Yang gue maksud lamaran itu adalah pertemuan keluarga besar. Gue dan Rima sepakat nggak pake ritual lamaran atau tunangan.


Nah, di pertemuan keluarga besok itu, topik yang perlu diangkat juga tentang konsep pernikahan dan alur jadwal persiapan serta acara yang perlu dipersiapkan. Agar mantep, gue dan Rima mulai gencar brainstorm dan bertanya sana-sini soal pesta pernikahan. 

Gue dan Rima punya harapan untuk bisa bikin pernikahan yang sederhana. Soalnya, kami mencoba mikir jauh. Gue dan Rima akan tinggal di rumah baru yang kosong. Ada rumah tangga yang perlu kami persiapkan untuk hidup bersama. 

Kami mulai perencanaan  pesta pernikahan dengan menjabarkan konsep pernikahan. Di Excel, kami menuliskan daftar undangan, perkiraan anggaran, rencana pemasukan, pilihan tempat impian, daftar rekomendasi jasa katering dan dekorasi. 

Setelahnya, kami coba kunjungi tiga tempat pesta. Tempat pertama adalah sebuah gedung milik TNI AD. Harganya murah, tempatnya besar dan megah, hanya saja kelihatan muram. Tempat kedua adalah aula masjid yang kami cek hanya sambil lalu saja. Nah, di tempat ketiga inilah gue ngerasa cocok banget. Rasanya sama kayak waktu pertama kali ketemu Rima. "Ini dia nih!" 

Tempatnya berupa hmm susah dideskripsikan. Di situ ada guest house, ada taman berpohon tinggi, ada pendopo dan pelataran. Areanya luas banget! 

Harga sewa tempat semi outdoor itu pun masih dalam jangkauan anggaran. Cuma saja, ada jebakannya. Kami mesti menggunakan jasa katering rekanannya. Kesemuanya mewah. Harganya bisa dua kali lipat dari katering lain. 

Lalu gue mikir-mikir, harga katering itu bahkan lebih mahal dari ongkos membeli perabot rumah dan renovasi. 

Gue resah. 

Sampai tadi siang, sembari nunggu pecel lele dan ayam jadi, gue dan Adi ngobrol soal pernikahan. 

"Di, setelah nikah, lo sebegitu mengenangnya nggak pesta pernikahan?" tanya gue 

"Nggak sih, Ram. Gue sama Hana juga sempet nyesel, kenapa yah, kami mau segitu banyaknya ngeluarin uang. Padahal lebih butuh biaya untuk ngisi rumah," kata Adi. Hana sekarang hamil sekitar 3 bulan. Beberapa waktu lalu, Adi kerap membicarakan ongkos lahiran yang harganya sama dengan ongkos sewa gedung untuk pernikahan. 

Sekali lagi, gue mau bilang. gue dan Rima berencana untuk bikin pesta pernikahan yang sederhana. Tapi agaknya itu susah banget terjadi. Kami tahu orang tua kami juga punya kehendak untuk merayakan  momen penting nan sakral anaknya. 

Tapi, yah, untuk menikah yang sederhana, yang hanya mengeluarkan uang sedikit saja, mesti jadi harapan. Secara teknis, itu lebih mudah tercapai, kan? 

Gue pikir, membuat pesta pernikahan yang wah itu berpotensi bikin kita abai sama esensi nikah sebenernya. Kita sering menganggap bahwa mempersiapkan pernikahan itu sama dengan mempersiapkan pesta. Sementara bahasan tentang penyesuaian diri untuk tinggal bareng,  peran-peran dalam rumah tangga, kesiapan punya anak, rencana karier, dll, dibahas sekenanya di perjalanan atau nanti saja sambil bulan madu. 





20 Juni 2018

Kesepakatan #23: Nggak Apa-apa Deh Kalau Sekarang Gagal Nikah Sederhana

"Nikah besar-besaran gini mesti berhenti di generasi kita aja ya, kak. Nanti anak-anak kita kalau mau nikah sederhana aja, nggak apa-apa."

17 Maret 2018

Pulang Ke Rumah Yang Sama

Di Minggu pertama kami pacaran, Rima bertanya tentang apakah yang paling membuat gue ingin pacaran sama dia. Gue mencoba mikir panjang, tapi ujung-ujungnya cuma punya jawaban satu kata saja.

"Karena insting, Kak," kata gue. Saat itu gue belum manggil Rima dengan sebutan "neng" sebagaimana sekarang.

Saat kemarin, 11 Februari (Minggu) sore, di rumah Rima, gue akhirnya ngajak Rima nikah pun karena gue  ngerasain banget insting yang kuat.

Sebelumnya gue pernah mikir kapan waktu yang tepat untuk ngajak Rima nikah, jawabannya adalah ketika gue ngerasa dapat 'panggilan' untuk melakukannya. Nah, saat itu, insting gue berkata bahwa panggilannya sudah datang dan gue harus menyambutnya.

Yang sudah pasti dalam hidup itu hanyalah masa lalu. Kita sudah mengetahuinya dan nggak akan bisa berubah. Gue rasa, pengalaman-pengalaman kita di masa lalu secara natural melahirkan dan mengembangkan insting untuk kita menghadapi masa sekarang dan masa depan. Itulah mengapa gue memercayainya.


Yang gue katakan pada Rima di ruang tamu rumahnya itu adalah kalimat yang sudah gue rencanakan sebenarnya. Gue sempat menulis surat nggak sampai satu halaman yang isinya tentang ajakan untuk nikah.

"Rima, aku mau kita bisa pulang ke rumah yang sama tiap hari. Apakah kamu mau juga? Aku mau nikah sama kamu," kata gue ujug-ujug.

Dari parasnya, gue lihat Rima nggak siap dengan momen itu. Ya, mo gimana, masa gue mesti bilang dulu sehari sebelumnya, "Rima besok aku mau ngajak kamu nikah, siap-siap yah." Kan, nggak mungkin.

Alhamdulillah, Rima punya keinginan yang sama.

Tangan kami berpegangan erat saat itu, di samping kami, ada foto besar keluarga Rima nempel di tembok. Ayah, Mamah, Tasya adiknya, serta Rima di masa 3 tahun lalu menatap kami dengan senyum. Mochi dan Milo, dua kucing Rima mungkin mendengarnya dan kemudian ngegosipin bersama kucing-kucing komplek lainnya.

Setelah sah menjadi calon istri-suami, obrolan kami saat itu merembet cepat ke hal-hal besar soal pernikahan. Bukti bahwa pikiran-pikiran (dan juga hasrat?) tentangnya sudah numpuk dari lama.  Begitu bisa diobrolin, jadi duaar, pecah deras.

Sebelumnya, tuh, tiap kali ngomongin konsep keluarga, pernikahan, atau suami-istri, gue dan seringnya, sih, Rima, memakai perumpaan. "Kalau kamu nikah nanti...", "Gimana coba nanti kalau udah nikah, kamu masih begini sama pasangan kamu nanti?"

Gue sebel banget tiap Rima ngomong gitu. Seolah-olah ia nggak yakin bahwa yang akan gue nikahi adalah dia. Tapi gue maklumi, karena saat itu gue belum memantapkan diri.

Namun sekarang, kami menjadi dua subyeknya.


Tentang mengapa gue cinta sama Rima dan sebaliknya, akan gue ceritakan kemudian.

Begitu juga tentang obrolan-obrolan kami seputar pernikahan, rumah tangga, dan keluarga. Nanti gue ceritakan.

Dan akan banyak cerita-cerita lagi, karena itu gue bikin blog ini. Gue namai RRUMAH karena kami akan pulang bersama ke sini membawa cerita-cerita.

:)













© blogrr
Maira Gall