21 Agustus 2016

Kapan Terakhir Kali Lo Ngerasa Puas?

"Kemarin. Gue, kan, naik gunung. Terus pas di puncak foto lagi ngadep belakang. Pas turun gunung, gue post ke Instagram. Yang nge-like banyak banget! Sampe kakeknya mantan gue juga nge-like juga."
"Beberapa hari lalu bos gue mengumumkan penulis yang paling banyak bikin artikel untuk Web. Nggak ada yang tau kalau si bos ngitungin jumlah artikel yang kami tulis. Dan ternyata gue yang paling banyak. Lebih banyak empat artikel dari yang temen yang gue kira rajin malah. Terus si bos ngasih hadiah gitu di depan temen-temen gue." 
"Setelah seharian hunting Pokemon di Dufan, akhirnya gue menemukan Pikachu bercula satu. Puas banget. Rasanya pengen nyantumin prestasi gue itu di curicullum vitae, deh." 
"Sepulang dari Thailand minggu lalu. Jadinya, gue udah traveling ke semua negara Asean." 
"Momen ketika gue ngeliat buku karangan gue ada di rak best seller tanpa nyogok toko buku sepeser pun." 
"Kemaren artis yang gue wawancara ngepost artikel gue di IGnya. Sampai mention gue segala. Tau dari mana ya dia akun gue. Emang gue seterkenal itu?"

Apa yang terjadi kalau dalam kurun waktu yang lama, ternyata kamu belum pernah merasakan puas sekalipun? Betapapun kamu sudah mengingat-ingat dengan baik segala momen yang terjadi, tetap saja nggak menemukan sesuatu yang sudah bikin kamu puas. 

Kamu perlu melakukan sesuatu. Puas itu bukan hanya ketika hasrat kita terpenuhi dengan baik, bahkan, puas itu adalah kebutuhan. Percayalah.

Jika dalam kurun dua tahun--apalagi jika umurmu 25--kamu belum melakukan sesuatu yang bikin puas lahir batin, maka ada dua kemungkinan yang terjadi pada hidupmu. Pertama, kamu depresi. Kamu terlalu berusaha untuk memuaskan dirimu sendiri, tapi gagal selalu. Kegagalan yang menumpuk adalah makanan sehat yang bikin depresi tumbuh berkembang. Depresi bisa menjadi tumbuh menjadi pohon lebat yang membayangimu. Menghalangimu. Membuat nelangsamu mengakar sehingga kamu nggak bisa bergerak.

Kedua, kamu terbiasa dengan hidup yang biasa. Nasib akan memvonismu untuk menjalani hidup yang biasa. Kamu tetap bisa bahagia--toh, kita bisa bahagia dari hal-hal yang sederhana--tapi kamu nggak bisa merasa puas. Nggak ada yang salah dengan hidup biasa. Tapi, nggak ada yang biasa dengan hidup yang salah. Sekali lagi, percayalah. 


Jadi, lakukan sesuatu. Terus. Sampai ketika kamu menceritakan apa yang kamu lakukan itu, kamu nggak bisa membedakan kapan kamu riya, kapan kamu bangga. Kamu selalu ingin menceritakan apa yang kamu lakukan itu. 


20 Agustus 2016

Kata Wasit

Kamu bertarung tanpa memenangkan apa-apa. 
Kamu malah menumbangkan ketakutan-ketakutan 
yang bergentanyangan di luar gelanggang, 
lalu mengusir penonton 


sementara lawanmu pulang. 

14 Agustus 2016

Memilih Warna Topi Saat Menulis


"Tugas jurnalis adalah menafsir fakta," kata St Kartono, pengamat media cum guru cum ahli bahasa Indonesia, di pelatihan jurnalistik dasar dari kantor yang saya ikuti minggu lalu.

Sebenarnya, bukan jurnalis saja yang menafsir fakta, melainkan seluruh kreator (kita juga bisa menganggap bahwa semua manusia adalah kreator. Senggaknya kreator pemikiran mereka sendiri).  Segala yang dialami kreator dalam realitasnya diracik dalam pikirannya lalu dituangkan menjadi sebuah karya yang dikonsumsi orang banyak.  Bukan begitu?

Namun, jurnalis dan fakta itu sudah seperti presiden dan negara. Memang itulah alasan mereka ada.  Jurnalis hadir di sebuah tempat, mengumpulkan fakta, lalu membeberkannya lewat tulisan.

Proses pembeberan fakta menjadi tulisan itu adalah proses tafsir.

Nyatanya, menafsirkan fakta itu butuh keahlian khusus. Butuh wawasan yang luas dan kreativitas. Itulah mengapa menulis jadi menantang (untuk nggak menyebut susah dan menyeramkan). Miskin wawasan bikin tulisan nggak bergizi, miskin ide bikin tulisan kita hambar ya mentok-mentok cuma jadi kayak transkrip wawancara atau catatan kronologis suatu peristiwa saja.

Lalu bagaimana cara agar kita bisa mengembangkan ide tulisan?

Mas "Rio" Junior Respati menawarkan jawabannya di kelas Pengembangan Gagasan kemarin. Hal pertama yang bisa kita lakukan adalah dengan memetakan pikiran (mindmapping). Jabarkan poin-poin penting dan khas dari data yang kita dapat. Dari situ ide-ide akan muncul.

"Tapi ide yang pertama muncul itu harus kita buang. Karena pasti ide itu terlalu umum. Nggak menarik," tegas mas Rio.

Misalnya, ketika ingin menulis hasil wawancara sebuah band punk religius, ide yang pertama muncul adalah menuliskan kontradiksinya profil band tersebut. Percayalah, ide pertamamu itu pasti muncul juga di pikiran penulis-penulis di media lain yang mewawancara band tersebut.

Kiat kedua adalah dengan adu gagasan (brainstorming). Itulah mengapa rapat redaksi, atau senggaknya rapat dengan teman satu desk perlu. Untuk adu gagasan. Bukan cari gagasan mana yang dimenangkan, melainkan untuk memperkaya sudut pandang, sehingga bisa menemukan ide terbaik untuk mengemas tulisan.

"Adu gagasan bukan untuk menguji ide, tetapi mengembangkannya," kata mantan redaktur pelaksana majalah HAI itu. Ya, jadi jangan bawa ide yang masih mentah (belum kuat datanya) ke arena adu gagasan, ya kak. We need voice, not noise. 

Selain itu, ada cara lain yang bisa membantu kita mengarahkan ide tulisan, yaitu dengan memilih warna topi dari teori Six Thinking Hat gagasan Edward de Bono, seorang psikolog dari Malta. Sebenernya, teori ini dikhususkan untuk mengarahkan proses pengambilan keputusan dan penentuan sikap dalam suatu kelompok. Namun, menurut mas Rio, teori ini cocok untuk mengarahkan proses berpikir kreatif dalam menulis. Saya sepakat.

Ada enam warna topi yang bisa kita pakai. Masing-masing memengaruhi yang ingin kita tuangkan dari kepala kita ke sudut pandang tertentu.

White hat. Dengan bertopi putih, yang ada di kepala kita adalah fakta bersih. Tulisan yang kita hasilkan berisi kumpulan data dan informasi saja. Lempeng alias straight. Pertanyaan yang kita jawab adalah: informasi apa yang kita punya, informasi apa yang belum utuh, dan informasi apa yang sebaiknya kita punya.

Yellow hat. Saat memakai topi ini, pikiran kita secerah kuning. Kita mengeksplor hal positif dari subyek atau obyek yang kita kaji. Ketika menulis artikel profil misalnya, dengan bertopi kuning, kita akan menceritakan kehebatan dan sisi baiknya saja. Tanpa kritik apalagi cela.  "Segala sesuatu pasti ada hikmahnya" begitulah slogan topi pikiran ini.

Black hat. Kita akan membuat tulisan kritik. Kita mengamati fenomena dengan picik. Skeptis mencari kesalahan. Namun, seluruh kritik itu berdasarkan data dan logika yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam kampanye, black campaign, toh, dipersilakan. Mengungkap fakta negatif bisa membantu khalayak untuk menentukan sikap kan?  Kritik alias nyinyir itu gampang dan menyenangkan (guilty pleasure, isn't it?). Karena itu perlu diperhatikan, terlalu banyak menggunakan topi ini bikin kreativitas kita juga takut sama kenyinyiran itu.

Blue hat. Pikiran kita menjadi langit yang bisa melihat banyak pikiran-pikiran lain. Ya, dengan blue hat kita merangkum opini-opini dan data-data dari sumber-sumber lain. Lalu merumuskannya menjadi satu tulisan utuh. Saya menduga, blue hat dipakai tepat dipakai ketika kita menulis artikel dari hasil kurasi artikel-artikel lainnya.

Green hat. Data-data yang kita kumpulkan kita racik dalam pikiran. Lalu di tulisan, kita mengusulkan sebuah ide baru. "Dengan green hat, kita beropini dan menawarkan ide baru," kata mas Rio. Kreativitas sangat berperan di teknik ini.

Red hat. Kita menumpahkan perasaan dan emosi pada tulisan. Marah-marah, sebal, sedih, overexcited, atau merasa nihil, bisa disampaikan. Bukankah terkadang kita perlu membuka perasaan kita seada-adanya? Dengan topi merah, kita tak perlu meminta maaf untuk mencurahkan perasaan.

Topi mana yang perlu kita pakai? Menurut saya, sih, semuanya bisa dipakai, dan perlu kita coba pakai satu per satu.

Kesimpulannya, menulis--menafsirkan fakta--itu tak cuma butuh data dan ide saja ternyata, tetapi juga tujuan. Semoga kiat-kiat di atas bisa membantu kita menulis sampai selesai. Nggak buntu bahkan sebelum memulai.
















09 Agustus 2016

Menulis Bebas (3) - Yang Melintas Sembari Bermotor

1.
Kamu tahu nggak kenapa sih bisa sampai ada profesi pemikir? Sering kali aku temui di tulisan esai, tokoh yang dikutip disebut sebagai pemikir. Misalnya, "Yusuf, seorang pemikir dari desa Sukaminggir, bilang bahwa..."

Bukankah kita semua ini adalah pemikir. Maksudku, memangnya ada manusia yang tidak berpikir? Apa yang lantas membuat ada satu orang yang malah dilabeli secara khusus sebagai pemikir? Kalau pun mau begitu, berarti di kemudian akan ada seseorang yang akan disebut sebagai penapas. Wah menarik sekali. “Rizki, seorang penapas dari Padepokan Lenteng Agung, berpendapat bahwa…”

Barangkali, mereka yang secara khusus disebut sebagai pemikir adalah mereka yang pemikirannya mumpuni. Kualitas pengalaman dan pengetahuannya, membuat proses berpikirnya jadi menghasilkan suatu pemikiran yang kredibel.

Nah, untuk mencapai kualitas pemikiran yang seperti itu, berarti orang-orang itu mesti suka berpikir dong? Tapi mengapa aku belum pernah menemukan ada orang yang ketika mengisi formulir biodata menulis bahwa hobinya adalah berpikir.

Mungkin itu beresiko mengundang tanya, dan mereka malas diserang oleh tatapan yang menunjukkan kalau seseorang itu memikirkan mereka dalam-dalam. Semacam terancam. Karena apa? Karena mereka juga memikirkan apa yang dipikirkan orang lain tentang pikiran mereka. Ujung-ujungnya, mereka diserang sama pikiran mereka sendiri.

Begitu juga dengan budayawan. Kalau sekedar dilihat dari katanya saja—terlepas dari arti Wikipedia—budayawan tuh kayak berarti orang yang berbudaya. Tapi, apa iya orang yang berbudaya itu hanya segelintir saja? Bukannya kita semua punya budaya khas masing-masing?

Abaikan.

2.

Minggu kemarin, menteri pendidikan dan kebudayaan mengeluarkan rencana peraturan baru: dia mau bikin aturan yang mengharuskan siswa berada seharian di sekolah. Konon, cuma untuk siswa sekolah dasar dan SMP saja.

Temen-temeku  yang masih SMA kesal mendengar berita itu. Apalagi, pak menteri bilang kalau anak muda zaman sekarang itu bermental lembek. Nggak ada uraian data tentang penilaiannya atas anak muda itu bikin mereka makin tersinggung.

Apa kaitan mental lembek dengan berada seharian di sekolah? Jangan-jangan kegiatan selama seharian di sekolah nanti adalah kegiatan yang membuat mental anak menjadi sekeras sol sepatu lars. Semoga “jangan-jangan” ini hanya angan-angan.

3.

Menurutlu apa yang akan terjadi kalau semua buka 24 jam?

Coba bayangkan kalau sekolah buka 24 jam, dan tanpa ada aturan bahwa siswa harus berada sehari penuh di sekolah. Akankah kita tetap merasa terancam, atau malah kita girang?

Apa yang membuat sebuah toko buka 24 jam? Ya karena kebutuhan akan makanan (atau jajanan) bisa datang kapan saja, termasuk saat dini hari atau jelang subuh.

Nah, akankah kita sampai pada keadaan ketika kebutuhan akan bimbingan pendidikan bisa datang kapan saja? Coba bayangkan ada temanmu yang tiba-tiba minta diantar ke sekolah pada pukul 2 pagi, hanya karena tiba-tiba butuh belajar sejarah terbentuknya dunia ke guru geografi demi bisa menjelaskan arti mimpinya.

Hmm…

4.

 Seorang menteri perhubungan pernah bilang begini: “Lebih baik nggak berangkat daripada nggak bisa pulang.”

Terlepas dari kenyataan bahwa ucapan tersebut keluar demi membatasi jumlah pemudik, mengurangi tingkat kemacetan dan menekan angka kecelakaan, tapi bagiku ucapan itu menyinggung. Coba saja suruh para penggila traveling baca kalimat itu.

Kurang lebih, ucapan itu senada dengan: “Lebih baik nggak pacaran daripada nggak bisa move on di kemudian hari”

Wahai pak menteri perhubungan, kok kamu malah menghambat hubungan terbina. Biarlah risiko yang ada ditanggung masing-masing pelakunya saja.

Coba bapak baca nih ucapan Jean Marais kepada Minke: "cinta itu indah, Minke, juga kebinasaan yang mengikutinya."

Gimana?

5.

Apapun yang keluar dari mulut kita adalah pendapat kita. Tapi mengapa kita sering memulai pendapat dengan kata “menurutku”, atau “menurut pandangan saya”?

Tiap kali ada yang berpendapat dengan “menurutku” di awal kalimat, aku bisa menduga bahwa ia sungkan dengan pendapatnya itu. Semacam meminta pemakluman, bahwa apa yang terucap hanya sesuatu yang sangat subyektif. Nggak ada dasar konsep, logika, atau bukti teruji yang mewakili banyak pihak. Semacam, “nggak tau yah, itu menurut gue aja sih. Hehe,” gitu.
© blogrr
Maira Gall