26 Agustus 2015

Ikut Wisuda atau Nggak, Yah?


Wisuda Universitas Indonesia ternyata cukup merepotkan. Gimana nggak, wisudanya dibagi menjadi dua sesi. Tak apalah kalau dua sesi itu ada di hari yang sama, lah, ini, ada di dua hari yang berbeda. Jadi, kami, para wisudawan dituntut untuk meluangkan waktu dua hari hanya untuk merayakan kelulusan. Bisa saja kami memilih untuk ikut salah satunya, tapi, apa siap rugi?

Sesi pertama adalah gladi resik, dijadwalkan hari ini, Rabu (26/08). Ya, betul hari kerja! Jangan kira ini adalah gladi resik yang sekadar formalitas, yang tak apa jika tak dihadiri. Nyatanya, nama gladi resik ini hanya embel-embel. Sebenarnya, ini adalah wisuda sesi 1. Pasalnya, ada prosesi penting, yaitu pemanggilan tiap wisudawan untuk naik ke panggung dan bersalaman dengan rektor dan yang paling pentingnya, berfoto dengan rektor.

Sesi keduanya adalah sesi upacara yang bisa dihadiri undangan, dijadwalkan pada Sabtu (29/08). Di sesi ini seperti wisuda pada biasanya. Orangtua hadir, upacara, dan pidato dari rektor. Sudah terasa kan gimana membosankannya?

Saya dilema. Apakah mesti saya ikuti kedua sesinya? inginnya sih ikut salah satunya saja. Apalagi di hari ini, Rabu, saya mesti kerja. Bisa aja sih ijin, tapi saya yakin jika ijin maka saya sendiri yang kemudian akan repot karena waktu menunda pekerjaan.

Dateng aja, Ki. Sayang, lho, foto-foto! Nggak pengen banget punya foto sama rektor untuk dipajang?!

Ah, gue nggak obsesi banget kok punya foto lagi wisuda. Waktu kuliah sebelumnya aja foto wisudanya nggak ada satu pun yang dipajang. Gue biarin aja menumpuk di laci.

Temen-temen pada dateng, lho, nanti. Bahkan mereka aja pada bela-belain cuti. Pasti bakal seru. Foto rame-rame!

Nah, iya. Gue nggak mau kelewatan momen sama temen-temennya sih. Tapi, tetep males, ah, kalau orientasinya cuma untuk  foto-foto.

Lagi pula, nih, yah. Kalau gue foto-foto, nanti bakal muncul kecenderungan gue bakal ikutan publis ke media sosial. Gue masih belum nerima  kalau kami, para akademisi semangat banget mempublis foto-foto saat wisuda, tapi malu-malu, bahkan merasa nggak perlu mempublis karya-karya tulis selama kuliah, termasuk tugas akhirnya. Menampilkan citra, menyembunyikan isi. Hmmm

Ah! Sok idealis. Emangnya kalau nggak ikut wisuda pun lu akan mempublis paper hasil kuliah lo? Tapi, kan, bokap nyokap lo pasti suka, ki. Lagian kan lo udah bayar. Masa nggak ikut semua sesinya, sih. Kan rugi?


Berencana! tapi masih belum, aja. Tunggu waktu yang tepat. Haha. Alesan banget yah?!

Iya, sih. Pasti diomelin sih kalau mamah tau gue nggak ikutan foto. Tapi tapi tapi. kan pas hari Sabtu juga bisa foto-foto. Walau cuma foto di depan danau UI. Nggak apa-apa lah. Yah, yah?!

Ya ya ya. Jadi gimana?! 

Balik ke tujuan awal deh. Gue kan ikut wisuda utamanya karena mamah. Biar kami punya momen untuk merayakan anaknya lulus dari kuliah yang ia bayari. Jadi, ikut yang Sabtu aja deh. Hehe

Tetep usahain aja. Kalau siang nanti bisa melipir ke Depok, maka lakukanlah! 


Deal!...... eh, tapi kan gue nanti ada liputan.


*Tepok jidat. Jidat nyamuk. Patahin toga*



-Tulisan ke-6 30 hari bercerita-

25 Agustus 2015

Berbahasa Inggris


Saya punya dua ratus tiga puluh juta ribu delapan milyar ratus alasan mengapa saya nggak membiasakan diri berbahasa Inggris. Salah satu alasan yang paling sering saya ucapkan--senggaknya pada diri saya sendiri--adalah karena saya lebih ekspresif dengan bahasa Indonesia: saya bisa memainkan kata-katanya, saya lebih bisa mengeksplor kosa kata, saya lebih bisa merangkai kalimatnya. Alasan itu diperkuat karena memang saya bekerja menulis. Terus menerus menulis bahasa Indonesia ya sekalian jadi ajang latihan, kan?

“Buat apa jago bahasa asing, kalau nulis bahasa Indonesia aja nggak gape.” Saya juga kerap berkilah begitu. Apalagi kalau mengingat betapa kita sangat hati-hati dengan grammar ketika berbahasa Inggris, namun selalu abai dengan EYD ketika berbaha Indonesia. Kita hati-hati dengan ketepatan penggunaan was, were; have, had; atau in, on, misalnya; namun bisa dengan sangat enteng menulis ‘dijakarta’ atau ‘di buang’, dan membiarkan kesalahan logika kalimat  “ngambil ATM” begitu saja. Mana boleh (mesin) ATM diambil. Kita bisa dipenjara. Kalau ngambil uang di ATM, itu baru dipersilakan.

Ya, betul, saya terlihat seperti menjadikan kesetiaan bahasa Indonesia (dan penggunaan EYD) sebagai tameng untuk urung berbahasa Inggris

Tuntutan bahasa Inggris adalah konsekuensi dari globalisasi. Apalagi sekarang ini internet sudah jadi pintu kemana saja, bisa membawa kita bertemu siapa saja dari penjuru dunia. Bahasa Inggris adalah modal utama kita untuk nggak merasa asing.

Benar saja, kini muncul kalangan anak-anak yang berbahasa pertama bahasa Inggris. Mereka disekolahkan di tempat yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantarnya. Bahkan sejak TK (atau malah Playgroup?) Di rumah, di acara kumpul keluarga, di taman bermain, atau di mal, mereka cas cis cus berbahasa Inggris.

Tak perlu tepat grammar, yang penting fasih, itu sudah membuat orangtua mereka bangga. Pertama, bangga karena yakin anak-anaknya akan sukses berkiprah di kancah dunia yang serba terbuka ini kelak. Kedua, ya karena anaknya berbahasa Inggris. Elit.

Saya pun kemudian menemukan fakta bahwa ada kalangan remaja yang urung membaca majalah lokal hanya karena majalahnya berbahasa Indonesia. “Lebih terbiasa dengan bahasa Inggris. Kadang suka nggak nangkep sepenuhnya maksud isi tulisan,” kata kawan saya, seorang siswa SMA Internasional.

Pada titik tertentu temuan-temuan itu bikin saya malah nyinyir sama bahasa Inggris dan bikin tambah merasa perlu untuk mendalami bahasa Indonesia saja. Menjadi penjaga bahasa Indonesia. Menjadi pahlawan bahasa Indonesia. Duileh!

Tapi, setelah dipikir-pikir, bukan kemampuan berbahasa Inggrisnya yang perlu saya hindari. Melainkan kesadaran-kesadaran semu yang menggiring saya pada perasaan ekskulif ketika pandai berbahasa Inggris dan kesadaran mantap menganggap bahwa Eropa dan negara-negara barat lainnya adalah panutan sejati. 

Selain itu, saya juga menyadari adanya satu alasan lagi mengapa saya urung berbahasa Inggris. Kalau alasan-alasan di atas terkesan idealis, yang satu ini realistis: saya malas berlatih yang juga beriringan dengan ketakutan (baca: malu) kalau salah grammar. Haha!

Sungguh saya pasti akan merugi membiarkan kemalasan dan ketakutan berlatih ini mengurung saya. Apalagi sekarang ini saya punya cita-cita baru yang mensyaratkan kecakapan berbahasa internasional. Saya perlu belajar, dan tak mungkin saya ikut kursus. Sudah terlalu sering saya menghamburkan uang untuk kursus bahasa Inggris. Kali ini saya memilih jalur otodidak.

Tahukah kamu langkah yang saya untuk membiasakan diri berbahasa Inggris? Sejauh ini sudah dua yang saya coba. Pertama, ikut mengucapakan dialog pada film yang naskahnya bisa say abaca lewat subtitle, dan daftar Postcrossing. Walau hanya lewat kartu pos, saya pasti akan terbiasa berinteraksi dengan orang asing, dengan bahasa Inggris. Semoga harus berhasil

-Hari ke-5 30 Hari Bercerita-

Merekomendasikan kalian untuk  membaca artikel ini: 



15 Agustus 2015

Ada 'Isu' di Dalam 'Tisu'




"Pilih mana: jadi orang yang sakit hati terus atau nggak pernah sakit hati sama sekali?"

"Ahh. Pertanyaan sulit. Hahaha.

"Jawaban gue, gue tulis di tisu, deh."
...
"Ah... Kenapa?"

"Hmm. lebih baik nyoba atau nggak? lebih baik tau atau nggak tau?"

:)


-Hari Ke-4 30 Hari Bercerita-

12 Agustus 2015

Menjadi Manusia 'Bank'

Selasa (13/08) kemarin, saya mewawancara Melanie Subono, musisi, pengusaha cum aktivis. Dia bercerita, gerakan-gerakan yang ia gagas adalah anak dari kegelisahannya yang tak pernah surut mengalir dalam pikirannya. Nah, ada salah satu kegelisahannya yang saya suka banget. Yaitu tentang konsep utang budi yang membudaya dalam kita:

"Kita punya konsep utang budi yang buruk banget. Pada saat orang nolongin lo, mereka akan somehow entah kapan akan ngegali itu. Kalau gue, sih, akan gue bentak 'Lo nolong adalah keputusan lo untuk nolong gue. Gue terima kasih tapi gue nggak berutang'.

Ampe sekarang kalau lo ketemu orang yang ketangkep korup, biasanya bukan karena mereka sendiri. "gue dimintain waktu itu. pernah nolongin, ya gue kerjain."

Sekarang tinggi banget angka penjualan anak atau pernikahan di bawah umur. Coba lo tanya ke bapak mereka. "Itu saya yang ijinin. Nggak enaklah dulu saya pernah dibantu sama keluarga itu." konsep utang budi itu bener-bener menjatuhkan.

Itu konyol banget. Kalau lo merasa berterima kasih ya bilang, 'Thank you.' Tapi kalau lo nolong gue dan suatu hari gue ditagih utang, oh nggak deh. Lo nolong atas keputusan lo. gue pasti nolong lu kalau ada apa-apa. tapi kalau lo nganggepnya sebagai utang dan gue mesti ngerjain hal yang bahkan itu kriminal, untuk nolong lo, nggak deh.

'Mamah kan udah ngasih makan aku. Kamu berutang.'

'Mamah kan emang harus ngasih makan aku, kan, Mah?

Akhirnya jadi lah generasi Wani piro. 'Kalau gue bisa bantu, lo bisa ngasih apa?'"


Terlalu naif kah jika saya menganggap bahwa kita tetap bisa hidup dengan melepas logika transaksional, terutama dalam memberi kebaikan?

Kita memang mencipta bank, tapi haruskah kemudian kita  menjadi manusia bank yaitu dengan menjadikan kebaikan adalah kredit yang bisa menguntungkan di kemudian hari?


- Hari Ke-3 30 Hari Bercerita -

11 Agustus 2015

Konsekuensi Menghilang



Ngerasa sendiri nggak punya temen itu pasti terjadi dalam satu waktu hidupmu. Biasanya, kita menyalahkan semesta yang bikin temen-temen kita itu menjauh dari kita. Ay, kawan saya, pada suatu malam, bercerita tentang pengalaman kehilangan teman-temannya.

"Kenapa orang-orang datang dan pergi gini sih?!" suatu kali, Ay mengeluh kepada kawannya.

"Ini bukan soal mereka datang dan pergi, tapi emang lonya aja yang pergi." Bukannya malah mengasihani, kawannya itu malah bikin Ay menelan pertanyaannya itu.

Nah! Persis seperti yang disebut kawannya Ay, ternyata kehilangan teman itu tak melulu menempatkan kita sebagai objek. Pasalnya, seperti pada kasus Ay, kita kerap juga menjadi subjek yang membuat teman-teman kita hilang dari peredaran keseharian kita: dengan menjauhi atau pindah orbit keseharian misalnya.

Keesokan hari setelah cerita itu, hari ini, sayalah yang dibuat menelan kenyataan bahwa saya telah menyebabkan kehilangan. Saya dinyatakan hilang dari peredaran pertemanan taman Kunang-Kunang. Sukri, kawan saya yang menyatakan hal itu. Tadi pagi. 

"Cuma lu doang, Ki, temen gue yang ilang."

10 Agustus 2015

Memilih Jembatan "Menulis"


Ada yang suka nonton film serial Chibi Maruko Chan? Saya adalah penyuka barunya. Baru satu episode saya menonton, langsung dibuat naksir berat sama cerita Maruko dan dunianya. Apalagi, episode pertamanya itu bercerita tentang penulisan. Seolah semesta mengingatkan saya dengan cara yang paling imutnya, agar saya rajin menulis lagi. Haha!

Ceritanya begini: Maruko dan teman-teman sekelasnya dapat tugas membuat tulisan bertema keluarga. Pak Guru menjelaskan bahwa tulisan tugas itu nantinya akan diseleksi untuk diikutsertakan ke lomba tingkat propinsi selain dapat kesempatan tulisan dimuat di majalah sekolah. 

Maruko senang sekali dengan pengumuman tersebut. Di antara teman-teman sekelasnya, Maruko terlihat jadi satu-satunya siswa yang sumringah banget. 

Tapi kemudian ia merasa minder. Ia sadar, keluarganya yang sederhana itu nggak punya cerita yang bisa jadi  menggugah kalau dituliskan. Beda dengan teman-temannya yang bersama keluarganya bisa sering liburan atau dihadiahi mainan kesukaan di hari ulang tahunnya. 

Maruko tak patah arang. Di rumah, Maruko mengamat-amati tingkah laku tiap anggota keluarganya dan memancing orang tua serta kakeknya untuk mengajaknya jalan-jalan, agar mendapat bahan tulisan. Tentu, tetap tak banyak hal fantastis yang ia tangkap.

© blogrr
Maira Gall