11 Agustus 2015

Konsekuensi Menghilang



Ngerasa sendiri nggak punya temen itu pasti terjadi dalam satu waktu hidupmu. Biasanya, kita menyalahkan semesta yang bikin temen-temen kita itu menjauh dari kita. Ay, kawan saya, pada suatu malam, bercerita tentang pengalaman kehilangan teman-temannya.

"Kenapa orang-orang datang dan pergi gini sih?!" suatu kali, Ay mengeluh kepada kawannya.

"Ini bukan soal mereka datang dan pergi, tapi emang lonya aja yang pergi." Bukannya malah mengasihani, kawannya itu malah bikin Ay menelan pertanyaannya itu.

Nah! Persis seperti yang disebut kawannya Ay, ternyata kehilangan teman itu tak melulu menempatkan kita sebagai objek. Pasalnya, seperti pada kasus Ay, kita kerap juga menjadi subjek yang membuat teman-teman kita hilang dari peredaran keseharian kita: dengan menjauhi atau pindah orbit keseharian misalnya.

Keesokan hari setelah cerita itu, hari ini, sayalah yang dibuat menelan kenyataan bahwa saya telah menyebabkan kehilangan. Saya dinyatakan hilang dari peredaran pertemanan taman Kunang-Kunang. Sukri, kawan saya yang menyatakan hal itu. Tadi pagi. 

"Cuma lu doang, Ki, temen gue yang ilang."

Sukri adalah sepupu dari Dani. Mereka berdua tinggal di rumah orangtua Dani yang letaknya paling dekat dengan Taman Kunang-Kunang (Tamkun), taman kecil di gang keempat komplek tempat kami biasa ngumpul ngobrol-bermain, sejak kecil. (Saya tinggal di gang nol alias jalan utama komplek, sementara Sukri, Dani, dkk, di gang empat)

Tebak, yang namanya Sukri yang pake jam tangan di tangan kiri atau kanan, hayo?!

Apa yang dikatakan Sukri itu nggak bisa dielak. Saya memang nggak pernah mampir apalagi nongkrong di taman kunang-kunang lagi. Sudah berapa lama yah? Hmm, satu dua tahun mungkin. Haha. 

Lucunya, kami kami ini nggak pernah berpapasan sedikit pun di komplek. Padahal, kami keluar masuk komplek lewat jalur yang sama. Sukri juga cerita kalau lebaran kemarin, mereka solat ied di masjid komplek, sama seperti saya. Tapi, kami tetap nggak bertemu. 

Nah, Selasa pagi tadi, saya ada perlu dengan Dani, yaitu mengambil CD album band metalnya Dani untuk saya ulas di Provoke!.  Saya bela-belain mampir ke rumahnya sebelum berangkat ngantor demi mengganti rencana semalamnya yang gagal. Seharusnya Dani yang mengantarnya ke rumah saya semalam. Tapi saya pulang terlalu larut.  

Dengan Dani ini, saya masih sesekali kontak-kontakan, entah itu ketemu di masjid saat solat Jumat (Dani baru lulus kuliah, jadi waktu di rumahnya banyak. Saya pun kan sesekali berangkat kantor siang, jadi masih suka solat jumat di rumah)  atau karena urusan band dan pekerja media. Pun, dua bulan lalu kami tak sengaja papasan di penjual sosis bakar pinggir jalan. Kami jajan bareng. Di sana, Dani bercerita tentang rencana bandnya yang akan rilis album kedua dan ingin saya turut mempublikasikannya di Provoke!  

Sebutlah serah terima CD itu sekaligus jadi penyambung 'tali kasih' saya dengan kawula Tamkun. 

Tak disangka, pagi itu, tak lama setelah Dani keluar rumah menyahuti seruan "DANIIII... DANIII...!!" dari mulut saya di depan rumahnya, Sukri muncul. "Kemane aje lo, Ki!" 

"Sini, Suk, turun." jawab saya kepada Sukri yang saya lihat memakai seragam Suzuki, di beranda lantai atas. Ah, Sukri pasti kerja di situ. Pasti jadi salesman. Karena memang itulah spesialis Sukri. Saya ingat, selepas kuliah, Sukri bekerja di sebuah bank.

Dan tahukah kamu apa konsekuensi menghilang? Pertama, mereka tak tahu apa terjadi pada saya. Di yang pertama ini, subjeknya banyak. Sementara objeknya hanya satu. Sementara yang kedua sebaliknya, ketika saya menghilang dari peredaran,  semesta Tamkun tetap mengorbit, beragam gejala terduga maupun tidak, terjadi juga: saya tak tahu apa pun yang terjadi pada kawan-kawan saya. Di sinilah konsekuensi yang paling sulit diterimanya berada, yaitu ketika ada kejadian nggak enak yang menjadi kabar.

Tanpa diminta, Sukri membeberkan seluruh kabar tiap anak Tamkun yang sebaya dengan kami, seolah mengampuni saya yang menghilang ini. Dimulai dengan dirinya yang akan melamar calon istrinya akhir pekan ini dan menikah pada Desember. Disusul kabar Doni yang akan menikah untuk kedua kalinya. Pernikahan pertamanya berakhir; Ibel yang buka usaha kios ketan susu sepulangnya bekerja di kapal layar; Khidir yang sudah menikah; Enggar yang juga sudah menikah dan tinggal di Tangerang; Kakak beradik asli Minang, Iki dan Iko yang kini ikut ayah-ibunya berdagang di Tanah Abang. 

Seluruh kabar bernuansa baik kecuali satu, yaitu kabar bahwa seorang kawan saya lagi, sebutlah Darma, sakit. Sukri memulai cerita ini terpatah-patah dan penuh keraguan. 

"Temen lo tuh, Ki, sakit." 
"Hah, siapa? sakit apa?"
"Darma, hmm. Nanti deh ceritanya." Bisa jadi Sukri menyebut Darma seolah hanya teman saya adalah karena dulu, saat kecil, kami berdua memang akrab banget. 

Dalam muka lempeng dan tetap senyum kecil, saya menyimpan kekagetan besar. Darma sakit apa? Kok nada bicara Sukri begitu, kayaknya sakit serius dan sudah cukup lama diidap. Duh, nggak tega.

Air muka Sukri berubah saat akhirnya ia bercerita. Ada kekhawatiran dan keterkejutan juga. Darma mengalami masalah kejiwaan. Ia pernah kedapatan mendatangi rumah tetangga lalu mengalamatkan marah ke sana. Sering kali ia juga jalan menyusuri gang empat, tempat Tamkun berada. Bapaknya selalu membuntutinya, berjaga kalau terjadi apa-apa. 

Sukri menduga kalau penyakitnya itu disebabkan hal mistis. Saya urung percaya. Dugaan saya, ia mengidap bipolar, emosinya sangat tak stabil dan kerap meledak hebat. Mirip seperti yang diidap saudara saya.

Kemiripan gejalanya dengan saudara saya itulah yang bikin saya kian iba. Pasalnya, saya tahu benar betapa sulitnya menghadapi penyakit tersebut, entah itu bagi dirinya sendiri atau pun keluarga yang merawatnya.

Saya dan Darma punya banyak cerita. Darma adalah teman pertama saya di komplek ini. Di tahun 94, saat pindah ke komplek ini, Darma tiba-tiba datang bersama kakaknya ke rumah. Mengajak berkenalan dan ngajak main bareng. Sejak itu kami sering main bareng: main sepeda, main Super Nintendo, bola, buka perpustakaan temporer di teras rumah saat liburan sekolah, main gambaran, dll. Pun, kami satu SD dan satu tempat ngaji. Singkatnya, Darma adalah teman saya tumbuh menuju puber. Setelah SMP, pertemanan kami agak merenggang memang. Utamanya, karena beda sekolah.

Sesekali  saya mendengar kabar Darma, dari mamah yang teman sekantor mamahnya Darma. "Darma sekarang udah lulus kuliah,", "Darma sekarang kerja di Cilegon.", "Darma sekarang bisnis di rumah. Dia kan emang kuliahnya marketing." itulah update kabar Darma dari mamah dua-tiga tahun ini. Hanya kilasan. Karena itulah saya kaget setelah mendengar kabar dari Sukri bahwa Darma sakit. Bahkan Sukri sempat bilang bahwa kepergiannya ke Cilegon itu bukan untuk kerja ngantor, melainkan untuk kegiatan yang terkait hal mistis tadi sekaligus untuk berobat. Wah! 

Yang bikin saya makin nggak enak adalah kemarin lusa, Minggu, saya sekilas melihat sosok Darma di acara resepsi pernikahan undangan rekan kerja Mamah. Bodohnya, saya mengurungkan niat untuk menyapa, bahkan bersembunyi, hanya karena alasan sedang nggak mood untuk basa-basi.

Tak apalah semesta membuat saya ngerasa bersalah seperti ini, asalkan tetap mengusahakan kebaikan pada Darma, teman-teman saya lainnya, dan segala hal yang saya tinggalkan saat 'menghilang'.

Tiap entitas, menurut saya, punya hak untuk 'mengilang' dari suatu keberadaan ke keberadaan lain. Mengorbit di peredaran lain, mengada di realitas lain. Asalkan, kita nggak mengeyahkan segala yang ditinggalkannya di dalam doa kebaikannya. Sebab, bukan nggak mungkin kan kita akan kembali pulang ke sana. Dan nggak enak kan kalau kita pulang tapi ada suasana yang nggak kita harapkan? Iya, nggak, sih? Iya dong, iya lah. 


-Hari kedua 30 Hari Bercerita-




Tidak ada komentar

Posting Komentar

© blogrr
Maira Gall