12 Agustus 2015

Menjadi Manusia 'Bank'

Selasa (13/08) kemarin, saya mewawancara Melanie Subono, musisi, pengusaha cum aktivis. Dia bercerita, gerakan-gerakan yang ia gagas adalah anak dari kegelisahannya yang tak pernah surut mengalir dalam pikirannya. Nah, ada salah satu kegelisahannya yang saya suka banget. Yaitu tentang konsep utang budi yang membudaya dalam kita:

"Kita punya konsep utang budi yang buruk banget. Pada saat orang nolongin lo, mereka akan somehow entah kapan akan ngegali itu. Kalau gue, sih, akan gue bentak 'Lo nolong adalah keputusan lo untuk nolong gue. Gue terima kasih tapi gue nggak berutang'.

Ampe sekarang kalau lo ketemu orang yang ketangkep korup, biasanya bukan karena mereka sendiri. "gue dimintain waktu itu. pernah nolongin, ya gue kerjain."

Sekarang tinggi banget angka penjualan anak atau pernikahan di bawah umur. Coba lo tanya ke bapak mereka. "Itu saya yang ijinin. Nggak enaklah dulu saya pernah dibantu sama keluarga itu." konsep utang budi itu bener-bener menjatuhkan.

Itu konyol banget. Kalau lo merasa berterima kasih ya bilang, 'Thank you.' Tapi kalau lo nolong gue dan suatu hari gue ditagih utang, oh nggak deh. Lo nolong atas keputusan lo. gue pasti nolong lu kalau ada apa-apa. tapi kalau lo nganggepnya sebagai utang dan gue mesti ngerjain hal yang bahkan itu kriminal, untuk nolong lo, nggak deh.

'Mamah kan udah ngasih makan aku. Kamu berutang.'

'Mamah kan emang harus ngasih makan aku, kan, Mah?

Akhirnya jadi lah generasi Wani piro. 'Kalau gue bisa bantu, lo bisa ngasih apa?'"


Terlalu naif kah jika saya menganggap bahwa kita tetap bisa hidup dengan melepas logika transaksional, terutama dalam memberi kebaikan?

Kita memang mencipta bank, tapi haruskah kemudian kita  menjadi manusia bank yaitu dengan menjadikan kebaikan adalah kredit yang bisa menguntungkan di kemudian hari?


- Hari Ke-3 30 Hari Bercerita -

Tidak ada komentar

Posting Komentar

© blogrr
Maira Gall