13 Desember 2015

Dari Kelas Menulis Puisi Bersama Sapardi Djoko Damono


Katanya, 

Puisi, sebermulanya adalah bunyi, bukan aksara. Membuat puisi diiringi dengan membunyikannya. Puisi harus dibayangkan bisa dibunyikan atau tidak. 

Tapi puisi juga penggambaran. Penggambaran suasana barangkali maksudnya. 

Menjadi (sangat) peka dengan apapun yang terjadi adalah modal awal untuk memperkaya referensi metafora. 

Puisi untuk dihayati bukan untuk dipahami, 


-Indonesian Reading Festival, Sabtu 5 Desember 2015-



Di akhir sesi, kami diminta membuat puisi lalu peserta yang berani dipersilakan membacakannya di depan, untuk kemudian dinilai oleh Pak Sapardi. 

09 Desember 2015

LAB dan Proses-Proses Yang Diselesaikannya




Pagi itu, sebelum menuju kantor masing-masing, kami berempat janjian bertemu di sebuah toko kertas bilangan Kebayoran Lama. Kami mau nyari kertas paling pas untuk buku foto yang kami buat: edisi spesial The Future of The Past, yaitu LAB: First Process. 

Beruntung, saat itu toko belum rame. Kami berempat masih bisa duduk persis di depan si mbak pelayan toko. (Ini penting, mengingat pelayannya cuma satu, mejanya cuma satu. Kalau nggak dapet duduk di depan mbaknya persis kemungkinan diprioritaskannya kecil). Satu persatu katalog kertas dikeluarkan si mbak. Dari yang kertas lokal, kertas fancy, sampai jenis kertas "rahasia", yang nggak ada di kedua katalog tersebut.

Kami datang sudah dengan kriteria kertas sebenarnya: kertas yang kasar (bukan licin) dan agak bertesktur.  Referensi kami: kertas bluish white, book paper, HVS, coronado, atau linen.Tapi bukan berarti itu bikin kami bisa cepet di sana.

Bukan perkara mudah ternyata untuk memilih kertas yang pas. Pilihan di katalog terlalu banyak. Tapi anehnya, itu nggak membuat kami merasa cukup: masih perlu mencoba-coba memegang, mengelus-elus dan melihat kertas-kertas kasar lainnya, andaikan ada. Ternyata, banyak variabel dalam sebuah kertas yang memengaruhi sensasi ketika meraba dan melihatnya: bentuk teksturnya--ada yang teksturnya berupa garis-garis tertata, ada yang acak; pilihan gramatur, ukuran, dst.

Setelah selesai menentukan pilihan, kalkulator keluar. Jeng jeng jeng jeng. Kami melupakan variabel penting lainnya: harga! Astaga. Setelah dihitung, harga kertas untuk bikin satu eksemplar buku itu mencapai 80% dari harga cetaknya. Dan masalahnya adalah, ongkos cetak di digital printing itu nggak berkurang walaupun kertas yang dipakai adalah kertas kami sendiri, bukan kertas dari mereka. Setelah dihitung, kalau kami ngotot pake kertas pilihan kami, ongkos cetaknya aja udah hampir mencapai angka yang ingin kami jadikan harga jual. Lah kalau gitu, gimana untungnya, kitah?!

Bagi kami--senggaknya saat belum sadar kalau harganya akan melangit--kertas sangat penting! Kertas itu memengaruhi mood ketika menyimak buku, kami percaya itu. Sadar nggak sadar sensasi yang diterima tangan ketika memegang kertas bakal bertautan dengan resepsi mata akan materi visual yang ada di buku. Coba aja inget, bukankah kita sering mengusap-usap foto di buku ketika merasa kalau foto itu berkesan? Dan kita nggak mengusap monitor ketika melihat foto digital.


Kami kalah oleh harga. Rencana meningkatkan kualitas buku foto kami simpan dulu untuk proyek-proyek lainnya. Kertas tetap kami beli, tapi sekadar untuk bikin satu eksemplar. Sekalian untuk proof reading. Eksemplar-eksemplar lain edisi ini memakai kertas terbaik yang paling biasa kami pakai saja: matte paper untuk halaman isi, dan linen untuk halaman sampul.

Menyunting itu Penting

Seperti yang udah disebut, edisi ini memang ingin kami spesialkan. Urusan pilih memilih kertas itu cuma salah satu usahanya saja. Usaha lainnya, kami mengajak seorang editor untuk turut menyunting karya kami ini. Pasalnya, kami sadar, jika dibiarkan tanpa saringan, kami akan sangat semaunya mengikuti ego dan mood dalam memilih foto yang ingin ditampilkan. Kalau begitu, kan, jadi terlalu narsis. Karena itulah kami mengajak Ridzki Noviansyah untuk membantu mengasah kekuatan tema, mengurasi foto, menentukan susunan foto dan tentu, membuatkan tulisan pengantar.

Bagi saya (mungkin bagi Astrid, Enad, dan Irin juga) ini adalah kali pertama mengalami pembuatan proyek foto dengan melibatkan editor. Biasanya, bener-bener indie. Pokoknya, foto aing kumaha aing, lah! Tapi kali ini saya memercayakan kekayaan referensi Ridzki dalam menentukan penyajian foto.

Kira-kira, langkah yang kami lakukan bersama Ridzki adalah pertama, mengumpulkan foto-foto analog terbaik yang kami punya. Berapa pun jumlahnya. Di tahap ini, niat awal saya adalah menyajikan foto-foto yang mengedepankan ajaibnya momen-momen kebetulan ala street photography, tapi setelah saya kumpulkan foto, dan lihat baik-baik, ternyata street photo saya nggak segitu kuatnya ketika dibuat dengan kamera analog. Justru, yang kuat adalah foto-foto yang cenderung melankolis bin sentimentil. Jadi sadar, kalau teknologi itu disebut sebagai perpanjangan manusia, maka fotografi analog ini sudah sebegitu pasnya jadi perpanjangan suasana hati melankolis saya. Ketika melihat-lihat lagi foto analog saya, saya jadi tersentuh dan terbawa ke situasi melankolis. Hahaha!

Tahap kedua, foto-foto itu kami cetak seukuran kartu. Ridzki yang meminta. Ketiga, kami berlima bertemu di sebuah kafe. Di sebuah meja panjang kami ngariung. Kami berempat duduk di sisi yang sama menghadap ke Ridzki seorang yang ada di sisi seberang. Yap, kami seperti di sidang. Ridzki pun sibuk sendiri, sambil kelihatan bingung sesekali, resah sesekali, tapi untungnya, tetap terlihat antusias selalu.

Ridzki memulai dari foto-foto Irin. Satu-persatu foto Irin yang jumlahnya puluhan itu, Ridzki lihat, berkali-kali, sampai akhirnya ia mulai menyusun. Membuat barisan foto horisontal. Lima belas foto disusun, ia mulai melihat ulang pelan-pelan. Satu, dua, tiga... lima foto ia ubah lagi urutannya, tak jarang juga ia mengambil lagi foto baru dari stok foto puluhan tadi. Entah apa yang ada di pikirannya. Kami berempat cuma menebak-nebak.  "Foto Irin yang traveling banget ini disusun dari yang kuning (tonal warnanya), ke yang agak hijau, lalu membiru di akhir," Ridzki akhirnya bersuara.

Ridzki juga bilang, "alur penyajian foto kami ia susun dari yang bernuansa netral, yaitu foto Irin, lalu mulai menurun ke foto ekspolrasi objek-objek dan cahaya ruangnya Astrid, terus menurun drastis mood-nya ke foto-foto galaunya Kiram, dan menanjak lagi dengan foto-foto cewek-cewek hepinya Enad."

Setelah Irin, foto Astrid yang disunting, lalu saya, dan ditutup Enad. Prosesnya sama persis.

Selesai memilih-milih foto, proses berikutnya adalah menempel foto pilihan tadi di kertas. Ridzki ikut menentukan foto mana yang dipajang spread dua halaman penuh, mana foto yang dipajang kecil  sendiri di dua halaman, dan mana foto yang dibuat berdampingan. Proses pilih-pilih ini dilakukan Ridzki berkali-kali. Susun ulang pun pernah dilakukannya. Bahkan hingga tahap akhir sebelum benar-benar cetak banyak. Saya jadi ingat, dalam proses menulis pun, kami mengenal semboyan "Writing is about rewriting, rewriting, rewriting, and so on". Intinya, menyimak ulang karya itu penting, demi memantapkan karakter kualitas isi,  dan membuatnya semakin asik dilihat.

...

Kalau nggak salah ingat, proses pengerjaan buku ini adalah satu bulan setengah. Dimulai dari ide Enad, "November besok, kan, gue mau bikin Lowlight Bazaar (bazar kamera analog, RED) lagi. Mendingan kita bikin edisi khusus dulu, deh, yang isinya foto-foto kita semua."

Yap, edisi keenam yang harusnya digarap, kami tunda dulu.

"Betul, tuh, biar nyokap gue nggak nanya lagi, 'ini majalah kamu yang bikin, tapi kok, foto kamu nggak ada di sini'," sahut Astrid disambut tawa

Setelahnya ada sesi menggodok tema foto. Lab: First Process adalah sebuah pengukuhan kami berempat, yang selalu ada di lab-nya Tfotp zine, di fotografi analog. Kami ingin mengatakan, foto-foto di buku ini adalah rangkuman perjalanan kefotografian analog kami. Betapapun kami diterpa banyak referensi, termasuk dari ratusan akun Instagram penyuguh foto-foto #35mm yang likeable, foto-foto di buku ini adalah menandakan karakter kami.

Seperti apakah itu?

Ah, yang satu ini agak sulit untuk diceritakan lewat teks. Bagaimana kalau kamu miliki dulu bukunya, lalu simak satu persatu fotonya, dan ceritakan kepada kami kesan yang kamu rasakan? Dijamin seru, kok. Bahkan, kalau mengutip kata pengantar Ridzki di buku kami ini, rasanya kayak nonton Doraemon di Minggu pagi.

(Klik www.thefutureofthepast.com )

Untuk teman-teman yang sudah memiliki dan sudah menyimaknya, jangan ragu, lho, kalau mau berbagi komentar. Harga film udah tinggi, jangan bikin sharing demi meningkatkan kualitas karya juga jadi mahal. Hehey









06 Desember 2015

Jiper Adalah....

Di Indonesian Reading Festival (IRF) kemarin, saya kenalan sama seseorang yang ternyata masih SMA. Namanya Angie, kelas XII SMA bilangan Jakarta Barat. Dan terjadilah percakapan ini:

R: Lu beneran masih SMA?

A: Iya.

R: Emang suka sama buku atau puisi? (saat itu kami baru selesai ikut kelas menulis puisi Sapardi Djoko Damono)

A: Iya, suka buku dan puisi. gue pun udah dateng ke IRF ini sejak tiga tahun lalu.

R: Kenapa dan sejak kapan suka buku?

A: Sejak kecil, orangtua gue suka ngebeliin buku yang temanya diatas umur gue. Misalnya, di umur 9-10 tahun, gue dibeliin NH Dini, dan buku-bukunya Pramoedya. Dari kecil juga udah baca Laura Ingalls Wilder. Itu, kan, membuka imajinasi banget. Makanya gue suka banget baca buku. 

R: Kesenanagan apa yang lo dapet dari baca buku? 

A:  Gue tipe orang rumahan yah. Bukan tipe yang suka keluar, travelling. Jadi. Kalau misalnya gue baca buku gue nggak perlu keluar rumah untuk tau sesuatu. Apalgsi sekarang kan ada internet. Bisa dapet pengetahuan dari buku. Dapet kesenangan dari buku.

R: Cara lo baca buku gimana, di tengah kesibukan lo sekolah?

A: Gue baca buku, tuh, kalau nggak malam hari atau weekend, pas siang. Biasanya kalau malam, 2-3 bab. Kalau weekend bisa satu hari satu buku.


R: sekarang buku yang lo baca apa aja? 

A; Banyak. gue lagi baca Umberto Eco, Karl May, Jules Verne,  Laura Ingalls Wilder. 

R: Hah. lu udah baca Umberto Eco?! keren. 

A:  Nih liat aja, ini buku yang gue dapet dari book swap tadi. 

R: Terus, buku yang tadi mau lu minta tanda tangannya Sapardi, itu buku apa? 

A: Oh, itu buku kumpulan tulisan dari rubrik Bahasa di Tempo. Sapardi ikut nulis. Ini bukunya Perpus sekolah sih sebenernya.

.... 

A: Kalau kakak bacanya apa?

R: Duh, gue jadi jiper sih kalau gini. Nggak usah tau deh gue baca apa aja. Hahaha. 

A: Pramoedya suka juga? 

R: iya suka. terus terus. Paling banyak, satu hari ngabisin seberapa banyak bacaan? 

A: Hmmm.. gue baca Inferno-nya Dan Brown, sehari abis tuh. 

R: waaaaaaaaaw.
...

R: lu berencana jadi penulis? 

A: Nggak sih, gue lebih pengen jadi sejarawan. Pengen kuliah Sejarah nanti. Tapi nggak dibolehin, nih, kak. 

....
.....
......





© blogrr
Maira Gall