09 Oktober 2016

Melanglang Buana

Saat menuju bandara Kuala Namu, saya bertemu dengan pak Saleh di shuttle bus. Ia bukan Indonesia, melainkan asli asal Oman. Ia menyapa kami lebih dulu, bukan dengan perkanalan melainkan dengan obrolan. Ia bertanya apa yang saya kerjakan sehari-hari, saya ceritakan bahwa saya wartawan. Lalu saya balik bertanya tentangnya. Ia menjawab satu, saya balas lagi dengan pertanyaan. Saya suka dengan cerita-ceritanya. Di akhir pertemuan, kami baru saling bertukar nama. Saya yang mengajak lebih dulu. Maksud utamanya, biar ambisi yang tiba-tiba muncul itu jadi punya nama jelas: "Saya ingin menjadi penjelajah seperti pak Saleh."

Pak Saleh adalah pria paruh baya. Ia datang ke Medan atas nama liburan. Meski sudah berkeluarga dan mereka bisa dapat jatah terbang gratis dari maskapai penerbangan tempat pak Saleh kerja, ia memilih datang berlibur ke Indonesia sendiri.  "Saya selalu menyempatkan liburan," tukasnya dalam Inggris, ketika kami di dalam bus,"setidaknya seminggu dalam setahun. Mengunjungi negara lain."

Ya, dia travelling sendirian, dan ia sudah terbiasa melakukannya. Ia lanjut bercerita  sementara saya mengunci satu pertanyaan yang muncul di kepala. Ia bercerita tentang kunjungannya ke Bukit Lawang melihat orangutan, tentang kekecewaannya dengan masyarakat serta pemerintah yang kurang memaksimalkan potensi pariwisatanya; serta sebalnya ia dengan kultus backpacking yang menurutnya nggak menguntungkan industri pariwisata.

"Saya pernah ke Nepal. Di sana banyak backpacking. Mereka maunya gratis terus. Dan seharian lebih sering nyantai sambil mengisap marijuana," kenangnya saya sambut dengan ketawa.

Pendidikan yang Merata(p)

Awal mulanya pendidikan, saya yakin, adalah agar kita bisa mencapai pengetahuan yang sebelumnya hanya dimiliki sebagian orang saja, terutama mereka yang punya kuasa. Sehingga kita semua sama rata: bisa punya modal yang sama dalam membuka peta, melihat dunia yang sebelumnya gelap, menafsir realita, dan menjalani kehidupan.
Kita belajar matematika, agar bisa sama-sama berhitung berapa barang yang kita dapat dengan jumlah uang tertentu. Kita belajar geografi agar sama-sama tahu bahwa ada negara ini, negara itu. Sehingga kita sama-sama punya kesempatan untuk memilih negara mana yang akan kita kunjungi suatu saat nanti, jika mau.
Pendidikan, yang saya yakini, bertujuan agar mengejar mereka yang lebih tau untuk kemudian kita buat kita dan dia jadi sama-sama tahu. Jika kita sama-sama tahu, kita sama rata. Tak ada yang lebih tinggi, tak ada yang lebih rendah. Tak ada hirarki.

Tapi nyatanya, gara-gara pendidikan pula, feodalisme dalam diri kita malah tumbuh. Ketika kita sudah lulus dari strata pendidikan tinggi tertentu, kita gatal ingin membawa gelar kemanapun nama kita ditulis: di KTP, di absen kelas, di undangan nikah, di stiker anggota keluarga yang ditempel kaca mobil. Semacam ada niat untuk mengukuhkan diri bahwa kita sudah lebih tinggi dari yang lain. Kita meluhurkan dua-tiga huruf yang menyusun gelar, tapi lupa membumikan ilmu.
Di ujung masa SMA, kita memang belajar, tapi yang kita tuju bukanlah pemanfaatan ilmu untuk praktek kehidupan bersama, melainkan untuk mengejar nilai setinggi-tingginya, untuk kepentingan kita sendiri, yaitu agar terbukti berprestasi dan diri kita dianggap layak dipertimbangkan untuk masuk universitas yang bergengsi, yang ketika kita masuk ke sana, kita bisa membanggakan kampusnya. Soal kebermanfaatan ilmunya nanti dipikirkan, kalau akan ikut lomba.
Pendidikan jadi mengandung politik. Siapa yang punya uang, bisa dibukakan jalan untuk dapat kursi di universitas tertinggi. Tempat-tempat bimbel nggak pernah sepi. Guru-guru di sekolah berlomba-lomba pulang cepat, agar tidak telat memberi les berfulus pada muridnya  yang ingin nilai bagus.

02 Oktober 2016

Taman

Di kamus yang ada di sekolah, kamu adalah sinonim dari taman.
Pantas saja tiap bel selesai sekolah berbunyi
Para anak-rindu berlarian menujumu.

Mereka membawa tugas-tugas,
tapi untuk dilupakan.

"Di sana kami belajar, kok, Bu" kata satu anak rindu pada guru bahasa Indonesia yang sempat menghadang, "Kami belajar menerjemahkan kebahagiaan."

Ketika bermain di sana
mereka juga sering lupa makan.
Tapi tiap pulang, anak-rindu bertambah besar.

12 September 2016

Sebelum Amin

Seorang guru bertanya pada muridnya,
"apa yang kau lakukan
untuk meredamkan haru
yang tak keruan,
harap yang parah,
serta gundah yang berbuah?"

"Aku solat malam.
Diiringi lagu-lagu Sigur Ros.
Aku curhat tak kenal ongkos."

"Tidakkah kamu merasa kafir?"

"Aku merasa khusyuk."

"Mereka nasrani."

"Mereka ciptaan Tuhan kita."

"Doamu hanya akan diantar malaikat magang."

"Anak magang paling suka diberi pekerjaan.
barangkali doaku akan lebih banyak difotokopinya.
lalu ditempel di salah tempat: di pintu WC,
di kaca belakang angkot,
atau dijidatnya sendiri.
Banyak yang mengamini."

"Apa isi doamu?"

"Aku berdoa, semoga semua doa dikabul,
kecuali doamu."

21 Agustus 2016

Kapan Terakhir Kali Lo Ngerasa Puas?

"Kemarin. Gue, kan, naik gunung. Terus pas di puncak foto lagi ngadep belakang. Pas turun gunung, gue post ke Instagram. Yang nge-like banyak banget! Sampe kakeknya mantan gue juga nge-like juga."
"Beberapa hari lalu bos gue mengumumkan penulis yang paling banyak bikin artikel untuk Web. Nggak ada yang tau kalau si bos ngitungin jumlah artikel yang kami tulis. Dan ternyata gue yang paling banyak. Lebih banyak empat artikel dari yang temen yang gue kira rajin malah. Terus si bos ngasih hadiah gitu di depan temen-temen gue." 
"Setelah seharian hunting Pokemon di Dufan, akhirnya gue menemukan Pikachu bercula satu. Puas banget. Rasanya pengen nyantumin prestasi gue itu di curicullum vitae, deh." 
"Sepulang dari Thailand minggu lalu. Jadinya, gue udah traveling ke semua negara Asean." 
"Momen ketika gue ngeliat buku karangan gue ada di rak best seller tanpa nyogok toko buku sepeser pun." 
"Kemaren artis yang gue wawancara ngepost artikel gue di IGnya. Sampai mention gue segala. Tau dari mana ya dia akun gue. Emang gue seterkenal itu?"

Apa yang terjadi kalau dalam kurun waktu yang lama, ternyata kamu belum pernah merasakan puas sekalipun? Betapapun kamu sudah mengingat-ingat dengan baik segala momen yang terjadi, tetap saja nggak menemukan sesuatu yang sudah bikin kamu puas. 

Kamu perlu melakukan sesuatu. Puas itu bukan hanya ketika hasrat kita terpenuhi dengan baik, bahkan, puas itu adalah kebutuhan. Percayalah.

Jika dalam kurun dua tahun--apalagi jika umurmu 25--kamu belum melakukan sesuatu yang bikin puas lahir batin, maka ada dua kemungkinan yang terjadi pada hidupmu. Pertama, kamu depresi. Kamu terlalu berusaha untuk memuaskan dirimu sendiri, tapi gagal selalu. Kegagalan yang menumpuk adalah makanan sehat yang bikin depresi tumbuh berkembang. Depresi bisa menjadi tumbuh menjadi pohon lebat yang membayangimu. Menghalangimu. Membuat nelangsamu mengakar sehingga kamu nggak bisa bergerak.

Kedua, kamu terbiasa dengan hidup yang biasa. Nasib akan memvonismu untuk menjalani hidup yang biasa. Kamu tetap bisa bahagia--toh, kita bisa bahagia dari hal-hal yang sederhana--tapi kamu nggak bisa merasa puas. Nggak ada yang salah dengan hidup biasa. Tapi, nggak ada yang biasa dengan hidup yang salah. Sekali lagi, percayalah. 


Jadi, lakukan sesuatu. Terus. Sampai ketika kamu menceritakan apa yang kamu lakukan itu, kamu nggak bisa membedakan kapan kamu riya, kapan kamu bangga. Kamu selalu ingin menceritakan apa yang kamu lakukan itu. 


20 Agustus 2016

Kata Wasit

Kamu bertarung tanpa memenangkan apa-apa. 
Kamu malah menumbangkan ketakutan-ketakutan 
yang bergentanyangan di luar gelanggang, 
lalu mengusir penonton 


sementara lawanmu pulang. 

14 Agustus 2016

Memilih Warna Topi Saat Menulis


"Tugas jurnalis adalah menafsir fakta," kata St Kartono, pengamat media cum guru cum ahli bahasa Indonesia, di pelatihan jurnalistik dasar dari kantor yang saya ikuti minggu lalu.

Sebenarnya, bukan jurnalis saja yang menafsir fakta, melainkan seluruh kreator (kita juga bisa menganggap bahwa semua manusia adalah kreator. Senggaknya kreator pemikiran mereka sendiri).  Segala yang dialami kreator dalam realitasnya diracik dalam pikirannya lalu dituangkan menjadi sebuah karya yang dikonsumsi orang banyak.  Bukan begitu?

Namun, jurnalis dan fakta itu sudah seperti presiden dan negara. Memang itulah alasan mereka ada.  Jurnalis hadir di sebuah tempat, mengumpulkan fakta, lalu membeberkannya lewat tulisan.

Proses pembeberan fakta menjadi tulisan itu adalah proses tafsir.

Nyatanya, menafsirkan fakta itu butuh keahlian khusus. Butuh wawasan yang luas dan kreativitas. Itulah mengapa menulis jadi menantang (untuk nggak menyebut susah dan menyeramkan). Miskin wawasan bikin tulisan nggak bergizi, miskin ide bikin tulisan kita hambar ya mentok-mentok cuma jadi kayak transkrip wawancara atau catatan kronologis suatu peristiwa saja.

Lalu bagaimana cara agar kita bisa mengembangkan ide tulisan?

Mas "Rio" Junior Respati menawarkan jawabannya di kelas Pengembangan Gagasan kemarin. Hal pertama yang bisa kita lakukan adalah dengan memetakan pikiran (mindmapping). Jabarkan poin-poin penting dan khas dari data yang kita dapat. Dari situ ide-ide akan muncul.

"Tapi ide yang pertama muncul itu harus kita buang. Karena pasti ide itu terlalu umum. Nggak menarik," tegas mas Rio.

Misalnya, ketika ingin menulis hasil wawancara sebuah band punk religius, ide yang pertama muncul adalah menuliskan kontradiksinya profil band tersebut. Percayalah, ide pertamamu itu pasti muncul juga di pikiran penulis-penulis di media lain yang mewawancara band tersebut.

Kiat kedua adalah dengan adu gagasan (brainstorming). Itulah mengapa rapat redaksi, atau senggaknya rapat dengan teman satu desk perlu. Untuk adu gagasan. Bukan cari gagasan mana yang dimenangkan, melainkan untuk memperkaya sudut pandang, sehingga bisa menemukan ide terbaik untuk mengemas tulisan.

"Adu gagasan bukan untuk menguji ide, tetapi mengembangkannya," kata mantan redaktur pelaksana majalah HAI itu. Ya, jadi jangan bawa ide yang masih mentah (belum kuat datanya) ke arena adu gagasan, ya kak. We need voice, not noise. 

Selain itu, ada cara lain yang bisa membantu kita mengarahkan ide tulisan, yaitu dengan memilih warna topi dari teori Six Thinking Hat gagasan Edward de Bono, seorang psikolog dari Malta. Sebenernya, teori ini dikhususkan untuk mengarahkan proses pengambilan keputusan dan penentuan sikap dalam suatu kelompok. Namun, menurut mas Rio, teori ini cocok untuk mengarahkan proses berpikir kreatif dalam menulis. Saya sepakat.

Ada enam warna topi yang bisa kita pakai. Masing-masing memengaruhi yang ingin kita tuangkan dari kepala kita ke sudut pandang tertentu.

White hat. Dengan bertopi putih, yang ada di kepala kita adalah fakta bersih. Tulisan yang kita hasilkan berisi kumpulan data dan informasi saja. Lempeng alias straight. Pertanyaan yang kita jawab adalah: informasi apa yang kita punya, informasi apa yang belum utuh, dan informasi apa yang sebaiknya kita punya.

Yellow hat. Saat memakai topi ini, pikiran kita secerah kuning. Kita mengeksplor hal positif dari subyek atau obyek yang kita kaji. Ketika menulis artikel profil misalnya, dengan bertopi kuning, kita akan menceritakan kehebatan dan sisi baiknya saja. Tanpa kritik apalagi cela.  "Segala sesuatu pasti ada hikmahnya" begitulah slogan topi pikiran ini.

Black hat. Kita akan membuat tulisan kritik. Kita mengamati fenomena dengan picik. Skeptis mencari kesalahan. Namun, seluruh kritik itu berdasarkan data dan logika yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam kampanye, black campaign, toh, dipersilakan. Mengungkap fakta negatif bisa membantu khalayak untuk menentukan sikap kan?  Kritik alias nyinyir itu gampang dan menyenangkan (guilty pleasure, isn't it?). Karena itu perlu diperhatikan, terlalu banyak menggunakan topi ini bikin kreativitas kita juga takut sama kenyinyiran itu.

Blue hat. Pikiran kita menjadi langit yang bisa melihat banyak pikiran-pikiran lain. Ya, dengan blue hat kita merangkum opini-opini dan data-data dari sumber-sumber lain. Lalu merumuskannya menjadi satu tulisan utuh. Saya menduga, blue hat dipakai tepat dipakai ketika kita menulis artikel dari hasil kurasi artikel-artikel lainnya.

Green hat. Data-data yang kita kumpulkan kita racik dalam pikiran. Lalu di tulisan, kita mengusulkan sebuah ide baru. "Dengan green hat, kita beropini dan menawarkan ide baru," kata mas Rio. Kreativitas sangat berperan di teknik ini.

Red hat. Kita menumpahkan perasaan dan emosi pada tulisan. Marah-marah, sebal, sedih, overexcited, atau merasa nihil, bisa disampaikan. Bukankah terkadang kita perlu membuka perasaan kita seada-adanya? Dengan topi merah, kita tak perlu meminta maaf untuk mencurahkan perasaan.

Topi mana yang perlu kita pakai? Menurut saya, sih, semuanya bisa dipakai, dan perlu kita coba pakai satu per satu.

Kesimpulannya, menulis--menafsirkan fakta--itu tak cuma butuh data dan ide saja ternyata, tetapi juga tujuan. Semoga kiat-kiat di atas bisa membantu kita menulis sampai selesai. Nggak buntu bahkan sebelum memulai.
















09 Agustus 2016

Menulis Bebas (3) - Yang Melintas Sembari Bermotor

1.
Kamu tahu nggak kenapa sih bisa sampai ada profesi pemikir? Sering kali aku temui di tulisan esai, tokoh yang dikutip disebut sebagai pemikir. Misalnya, "Yusuf, seorang pemikir dari desa Sukaminggir, bilang bahwa..."

Bukankah kita semua ini adalah pemikir. Maksudku, memangnya ada manusia yang tidak berpikir? Apa yang lantas membuat ada satu orang yang malah dilabeli secara khusus sebagai pemikir? Kalau pun mau begitu, berarti di kemudian akan ada seseorang yang akan disebut sebagai penapas. Wah menarik sekali. “Rizki, seorang penapas dari Padepokan Lenteng Agung, berpendapat bahwa…”

Barangkali, mereka yang secara khusus disebut sebagai pemikir adalah mereka yang pemikirannya mumpuni. Kualitas pengalaman dan pengetahuannya, membuat proses berpikirnya jadi menghasilkan suatu pemikiran yang kredibel.

Nah, untuk mencapai kualitas pemikiran yang seperti itu, berarti orang-orang itu mesti suka berpikir dong? Tapi mengapa aku belum pernah menemukan ada orang yang ketika mengisi formulir biodata menulis bahwa hobinya adalah berpikir.

Mungkin itu beresiko mengundang tanya, dan mereka malas diserang oleh tatapan yang menunjukkan kalau seseorang itu memikirkan mereka dalam-dalam. Semacam terancam. Karena apa? Karena mereka juga memikirkan apa yang dipikirkan orang lain tentang pikiran mereka. Ujung-ujungnya, mereka diserang sama pikiran mereka sendiri.

Begitu juga dengan budayawan. Kalau sekedar dilihat dari katanya saja—terlepas dari arti Wikipedia—budayawan tuh kayak berarti orang yang berbudaya. Tapi, apa iya orang yang berbudaya itu hanya segelintir saja? Bukannya kita semua punya budaya khas masing-masing?

Abaikan.

2.

Minggu kemarin, menteri pendidikan dan kebudayaan mengeluarkan rencana peraturan baru: dia mau bikin aturan yang mengharuskan siswa berada seharian di sekolah. Konon, cuma untuk siswa sekolah dasar dan SMP saja.

Temen-temeku  yang masih SMA kesal mendengar berita itu. Apalagi, pak menteri bilang kalau anak muda zaman sekarang itu bermental lembek. Nggak ada uraian data tentang penilaiannya atas anak muda itu bikin mereka makin tersinggung.

Apa kaitan mental lembek dengan berada seharian di sekolah? Jangan-jangan kegiatan selama seharian di sekolah nanti adalah kegiatan yang membuat mental anak menjadi sekeras sol sepatu lars. Semoga “jangan-jangan” ini hanya angan-angan.

3.

Menurutlu apa yang akan terjadi kalau semua buka 24 jam?

Coba bayangkan kalau sekolah buka 24 jam, dan tanpa ada aturan bahwa siswa harus berada sehari penuh di sekolah. Akankah kita tetap merasa terancam, atau malah kita girang?

Apa yang membuat sebuah toko buka 24 jam? Ya karena kebutuhan akan makanan (atau jajanan) bisa datang kapan saja, termasuk saat dini hari atau jelang subuh.

Nah, akankah kita sampai pada keadaan ketika kebutuhan akan bimbingan pendidikan bisa datang kapan saja? Coba bayangkan ada temanmu yang tiba-tiba minta diantar ke sekolah pada pukul 2 pagi, hanya karena tiba-tiba butuh belajar sejarah terbentuknya dunia ke guru geografi demi bisa menjelaskan arti mimpinya.

Hmm…

4.

 Seorang menteri perhubungan pernah bilang begini: “Lebih baik nggak berangkat daripada nggak bisa pulang.”

Terlepas dari kenyataan bahwa ucapan tersebut keluar demi membatasi jumlah pemudik, mengurangi tingkat kemacetan dan menekan angka kecelakaan, tapi bagiku ucapan itu menyinggung. Coba saja suruh para penggila traveling baca kalimat itu.

Kurang lebih, ucapan itu senada dengan: “Lebih baik nggak pacaran daripada nggak bisa move on di kemudian hari”

Wahai pak menteri perhubungan, kok kamu malah menghambat hubungan terbina. Biarlah risiko yang ada ditanggung masing-masing pelakunya saja.

Coba bapak baca nih ucapan Jean Marais kepada Minke: "cinta itu indah, Minke, juga kebinasaan yang mengikutinya."

Gimana?

5.

Apapun yang keluar dari mulut kita adalah pendapat kita. Tapi mengapa kita sering memulai pendapat dengan kata “menurutku”, atau “menurut pandangan saya”?

Tiap kali ada yang berpendapat dengan “menurutku” di awal kalimat, aku bisa menduga bahwa ia sungkan dengan pendapatnya itu. Semacam meminta pemakluman, bahwa apa yang terucap hanya sesuatu yang sangat subyektif. Nggak ada dasar konsep, logika, atau bukti teruji yang mewakili banyak pihak. Semacam, “nggak tau yah, itu menurut gue aja sih. Hehe,” gitu.

28 Juli 2016

Kucing Dimakan Kota

Pagiku tadi rusak,
Aku menyaksikan langsung kucing tertabrak.
Ingin menyebrang jalan raya,
kucing itu melompat tanpa kuda-kuda.

Baru satu lompatan ia mundur.
Namun nyalinya belum kendur,
Ia menyebrang lagi.
Kali itu berlari, tanpa lihat kanan kiri.
Motor-motor juga berlari kencang,
tanpa lihat atas bawah.

Kucing di kota beda dengan kucing di hutan.

Kucing kota bisa ikut makan daging sapi, kerbau, atau ikan laut.
Kucing hutan mana bisa.
Tapi kucing kota sering digilas bebek.
Kucing hutan mana mungkin.

Kucing hutan dan kucing kota punya permintaan yang sama.
Mereka butuh menteri yang khusus mengurus satwa

Kucing hutan tak ingin diciduk lalu dipaksa bekerja
jadi kucing penghibur keluarga,
Kucing hutan tak ingin juga ketika nyawanya pergi,
jasadnya diawetkan, dipajang di museum negara.

Kucing kota menuntut pemerataan pembagian Kaskin,
Whiskas untuk kucing miskin.
Kucing kota juga ingin memohon pendidikan menyeberang,
agar ketika ada yang nyawanya terusir di jalan, mayatnya yang gepeng nggak jadi tontonan.












08 Juli 2016

Maja Nowadays



There are always awesomeness from my home town. I’m still surprise how Maja, village in Lebak, Banten--i assume as a remote area--will be a public town in near future. 

In these past two years, the infrastructur development is so rapid. The train station wasn't proper, now, it’s become huge and neat.  The market in front of it also , so people could easily go by. 


With the commuter line, we can directly go to Tanah Abang from maja. It only take one hour and half trip. Maja become accesible

My Dad now more often go to Maja by  train. From my house in Ciledug, he drive to Jombang Staion, Tangerang Selatan. He parked the car there, and he took the train. 

He enthusiastically told his siblings that facility. That’s why since two years ago, we could experienced  homecoming trip (mudik) like others family, by train. Usually we go by car. Though it only a short trip, it brings a new experiences especially for the kids. 

Last year, we're set a  parking lot in  front yard of Abah(my grandpa)’s house which located only 100 meter from the station. Its helped people who commute daily to Jakarta by train. “The parking lot name should be Maja Maju,” i suggested to my family. 

But now, the parking lot business went down. Since the train station is also set a spacious parking lot with low price. 

There also a news that Lion Air company gonna build an airport in 1.700 Ha area here. But then, The ministry of transportation don’t give their agreement. 

Last, try to “google” Maja. There are numbers of news about a cheap new house sold here. It’s only IDR 100 million for sure. Unfortunately, that’s last year news. Now, the house are sold in around IDR 500 million. Better luck next time, friends.

04 Juli 2016

Notifikasi Kentut Stroberi Gila

Seperti Brown yang dicium Conny saat James membanting gelas,
Seperti event credite gratis di LINE

Kamu bagaikan suara kentut yang tiba-tiba datang dan meninggalkan ampas,

"Mana kentutku?" tanyanya
"Ampasmu bau" celetuknya

Bau kentutmu hilang ditelan bau hujan, 
Suara "tut"-nya pun ditiban suara azan, 
Bisa kah kita kentut sekali lagi?

Di ruang gelap itu, di mana kentut kita menjadi satu. Aku merindukannya, sangat merindukannya,

Namun sayang sekali, kentut itu hanyalah kentut biasa, tidak seperti kentut sebelum-sebelumnya,
yang selalu meninggalkan aroma stroberi hangat yang menyelemuti semua orang di seluruh ruangan ini

Di mana kentut-kentut ku yang seperti sebelum-sebelumnya?
Di mana kalian oh, para pengentut menyimpannya?

"Penguntit mengambilnya!" teriak Brown. 

Kepada rumput yang sedang berdansa, Conny mengadu. 
Polisi sudah mencari-carinya hingga ke ujung Bekasi, 
tak satu pun ditemukan penguntit yang menggunakan suara kentut sebagai tone notifikasi.

"Ternyata hanya sebuah notifikasi," James meletakkan gelasnya kembali.

lagi, dilihatnya Brown yang dicium Conny. Kali ini banyak polisi, para pengentut tidak pernah menjadi seorang penguntit. James hanya terbakar api cemburu dan tenggelam dalam khayalan fana. Semua tidak nyata.

Namun tiba-tiba semua hal tidak menjadi khayalan dan fana, kejadian ini benar-benar terjadi,
Suara kentut dan aroma hangat yang menyelimuti para polisi, semakin memeluk erat

"KENTUT INI BEREVOLUSI, TOLONG!!!" Kata salah satu pemilik Pokemon yang badannya diselimuti oleh kentut.

Tak satu pun ada yang menolongnya,
Tak satu pun ada yang membantunya, hingga sekaliber Pokemon pun takut dibuatnya.

Oh, kentut gila. Berhentilah 
Oh, kentut ia. 
Akuilah!

Akuilah semua keampasanmu!
Akuilah semua kebusukanmu!
Akuilah semua
penguntitmu!

Bekerja dengan siapa saja dalam merusak aroma stroberi itu?

---

Puisi ini dibuat secara berantai pada Senin dini hari menjelang sahur oleh gue (28), Fahni (16), Fadel (18), dan Nabyl (17) pada sebuah group chat LINE setelah membaca blognya Mario (15) dan disimak oleh Andara (16) di sela-sela permainan DOTA2nya. 

22 Juni 2016

Layang-layang

Di depanku entah ada apa
mataku nyangkut di meja. 

Pikiranku bersayap.
Mulutku bernyanyi, telingaku tak mendengarnya. 

Dan masih saja ada yang iseng bertanya, "Jika yang menangis adalah hati, apakah air yang dikeluarkannya tetap disebut air mata?"

Dua sendok Yogyakarta dua sendok Banda Neira
diaduk pada air Jakarta: porak poranda.

Gelas yang penuh kekosongan itu kuangkat.

Bersulang,
kita ambruk. 

Penonton berdiri dan bertepuk dada. 


11 Juni 2016

Penemuan Penting


Karena kelewat sering membuka URL itu, tiap kali berusaha membuka Twitter, maka address bar di peramban laptop ini akan mengantar saya pada akun yang menempel satu twit di "pintunya". Katanya:
"Not all who wander are lost." 
Terjemahan bebasnya, mereka yang pergi belum tentu hilang.

Semester pertama 2016 masih menjadi masa kehilangan bagi saya ternyata. Membuat saya jadi terbiasa menganggap segala sesuatu yang sudah nggak pada tempat seharusnya, pasti lenyap.

Kartu ATM saya nggak ada di dompet. Saya anggap hilang. Lalu, ketika ingin mengurus penggantiannya ke Bank, syarat terpenting kedua setelah KTP, yaitu buku tabungan, nggak ada di laci tempat saya biasa menaruh seluruh buku bank. Oke, sepasang kakak-adik perbankan itu hilang.

Ketika flash disk biru saya nggak ada di saku tas saat saya membutuhkannya, saya udah punya firasat kalau benda kesayangan saya itu akan hilang. Saya mencoba mencari dengan kepasrahan, di saku jaket nggak ada, di percetakan yang terakhir saya kunjungi pun ternyata nggak tertinggal. Ya sudah, saya nyatakan hilang.

Kalian pasti tahu bahwa wireless mouse itu seperti laut tanpa garam jika kehilangan konektornya. celakanya, benda superkecil itu nggak menempel di laptop sebagaimana biasanya. Saya mencoba mencari ke tiap selipan di kamar, nggak ketemu. Baiklah, saya harus beli mouse baru.

Saya juga punya--duh yang satu ini agak bikin baper bin sebel--dua buku yang belum sempat saya baca tuntas tapi saya nggak bisa menemukannya lagi di mana-mana.  Dia nggak menampakkan diri barang sehuruf pun di rak buku ruang tengah, rak buku kamar, di tas-tas yang biasa pakai, maupun di meja kantor. Ahhh, harus banget kehilangan lagi nih?, pikir saya. Fine!. 

Dan kita sama-sama tahu, tak seperti di jagad digital, kita tak bisa menggunakan mesin pencarian untuk menemukan barang-barang yang hilang di dunia nyata ini.


Bertahun-tahun sekolah, kita hanya diajarkan untuk fasih menghapal dan mengingat. Sementara untuk melupakan, adakah gurunya? Karena itu, saya perlu membiasakan diri untuk enteng terhadap kehilangan, dimulai dari kehilangan-kehilangan kecil itu.

Nyatanya, nasib berkata lain. Tuhan memang iseng. Satu per satu benda yang saya anggap sudah minggat pergi angkat kaki dari kehidupan saya yang fana ini malah menampakkan diri.

Flash disk biru saya ditemukan, nyelip di saku jaket lainnya. Konektor mouse saya ternyata ada di meja ruang tengah, tertimbun taplak dan benda-benda lainnya. Entah siapa yang bikin dia ada di situ. Lalu, kedua buku saya juga, buku pertama ternyata nyempil dijepit dua buku di bagian bawah rak, buku kedua ditemukan ada di meja kerja teman saya, tertutup kertas-kertas. Kayaknya saya pernah bawa-bawa buku itu ke sana saat baca, lalu meninggalkannya.  O ya, buku tabungan dan ATM pun akhirnya tetap bisa digantikan yang baru oleh bank dengan mudah

Betapa oh betapa. Kehilangan-kehilangan itu, ketika saya sudah siap menerima, saya malah menemukannya.

:)


03 Juni 2016

Setiap Malam


Kita saling menjadi 

abcdefghijklmnopqrstuvwxy

yang mengantar sampai

Zzz....

Setiap malam, 

setiap hari.

30 Mei 2016

Dari Dalam Halte Transkjakarta




Kenapa mesti membatasi diri,
padahal kamu menebar pesona dan kamu sadar banyak orang tergoda.

Kenapa hanya singgah di sedikit perhentian,
padahal orang datang dari mana-mana mengejarmu untuk berkenalan.

Kenapa masih menyediakan ruang di bawah,
padahal yang kau luhurkan adalah yang di atas.

Dasar bus tingkat!

23 Mei 2016

Ada Bayi di Rumah (2)


Tapi kali ini si bayi sudah beda rumah dengan saya. Ia ikut ibu dan bapaknya pindah ke rumah baru. Rumah saya kini menjadi kampung halaman, yang hanya ia akan dikunjungi satu-dua minggu sekali. 

"Ini udah hari ke-20 tinggal di sini. Nggak terasa yah," kata ibunya, kakak saya. Ia mencatat baik tanggal ternyata. 

Pun, si bayi ini sudah bukan bayi lagi. Usianya sudah satu tahun setengah. Udah lihai berjalan, udah bisa makan banyak cemilan (terutama kerupuk, tahu, buah, biskuit, dan coki-coki),  udah bisa nunjuk-nunjukin arah ketika lagi digendong, udah bisa selalu milih Yakult yang ada di kulkas berkaca kalau diajak ke warung depan rumah, udah bisa salam cium tangan, udah bisa diminta kecup dengan bilang,"sun dulu dong", udah bisa membedakan orang berdasarkan namanya, udah bisa joged-joged kalau disetel lagu anak, dan udah bisa minta nyalain laptop kalau lagi pengen nonton Youtube. Dan yang paling penting, sekarang ini parasnya berubah, apalagi setelah potong rambut, jadi nggak keliatan kayak bayi. Dia udah termasuk golongan balita dewasa kayaknya. Haha.

lagi asik nonton video musik anak di Youtube

Siang tadi adalah kali pertama saya main ke rumah barunya itu.  Nggak jauh dari rumah sih sebenernya. Cuma butuh 40 menit paling lama. Tapi tetap saja, dia dan saya nggak ada di rumah yang sama. Saya, mamah, papah, dan adik udah nggak bisa melihat dan merasakan kehadirannya tiap saat. Paling-paling cuma dari update grup WhatsApp keluarga. Kakak cukup rajin memberitakan kegiatan anaknya. 

"Nih, lihat. Si Akang punya temen baru," kata kakak suatu hari. Setelahnya ia mengirim foto si akang lagi melakukan sesuatu dengan seorang anak cowok lainnya. Anak tetangga sepertinya. 

Itu kabar baik! Dia punya teman. Di perumahan kakak yang cluster itu, memang banyak orang tua muda. Jadi, si akang punya beberapa teman sepantaran. "Makin lucu. Kalau siang bobo, kalau sore main dia," kata kakak lagi. Saat masih tinggal di rumah saya, jam tidurnya adalah pukul 8-10 pagi. Jam mainnya berubah.



"Akang lagi mandorin kerja bakti nih," kali ini kakak ipar saya nyahut di grup. Setelahnya ada foto akang lagi berdiri di depan sekumpulan ibu-ibu yang memegang sapu dan perkakas 


O ya, Akang adalah nama panggilan si bayi ini. Panggilan untuk kakak laki-laki dalam bahasa Sunda. Oke, karena udah dikenalin, maka selanjutnya si bayi saya sebut si Akang aja yah. 

Awalnya, saya ragu kalau si Akang akan betah di rumah barunya. Takut kesepian. Kalau di rumah saya kan, pagi bisa main sama neneknya, siang kalau bosen bisa minta digendong kakeknya. Sore hingga malam bisa diajak becanda lagi oleh om dan tantenya. Tapi ternyata di rumah barunya, ia lebih seru berkembangnya. 

Bagaimana pun, kejadian ini bikin nggak enak kami yang di rumah. Bikin kangen mulu. Mamah dan papah suka memanggil-manggil nama Akang tiap pagi sebagaimana biasa. Tiap malam juga, "manah nih si Akang. Malam ini tidur di kamar Enin yah," kata Mamah tidak kepada siapa-siapa. Biasanya mamah selalu ngajak main Akang sepulang kerja. Adik saya nggak kalah, dia sering banget minta dikirimin foto si Akang di grup WA. 

Rumah jadi berasa sepinya. Kalau seharusnya dihuni oleh 8 orang, kini hanya sisa 4. Selain kakak, kakak ipar dan si akang, yang nggak di rumah lagi adalah adik bungsu saya. Ia kuliah di luar kota. 



Betapa oh betapa, yah. Anak kecil bisa bikin keluarga jadi "besar"...


 :D 

--

Cerita Ada Bayi Di Rumah sebelumnya bisa di baca di link ini <- font="" klik="">





13 Mei 2016

Menulis Bebas


Dari sebuah buku yang judulnya lebih baik saya rahasiakan, saya membaca bahwa free writing itu bisa bermanfaat untuk kita reverie, alias melamun, alias meladeni pikiran kita sendiri. Ya, kadang, meladeni pikiran kita sendiri itu perlu kan? Daripada memikirkan pikiran orang lain melulu, apalagi memikirkan pikiran orang lain tentang pikiran kita. Ruwet jadinya!

Karena itulah saya sekarang, di posting yang tersayang ini, ingin mencoba melakukannya. Menulis tanpa berpura-pura, menulis benar-benar apa yang muncul di kepala.

Nah, lho. Apa saja tuh yang ada di kepala?!

Sekarang ini musik Barefood yang judulnya Deep and Crush lagi memutar, asalnya dari Youtube. Iya, saya doyan dengerin musik dari Youtube. Soalnya, dari satu lagu, kita bisa diantarkan ke lagu baru lainnya sesuai rekomendasi dari Youtube. Dari situ, suka nemu lagu-lagu baru yang seru. Tapi, sekalinya nemu lagu yang seru, saya suka banget mengulang-ulang. Nah, seminggu ini saya lagi suka banget mengulang-ulang lagu Barefood, yang judulnya Truth. Mau denger? Cari sendiri aja di Youtube. Eh, tapi, cari  berdua juga boleh kok.

Ngomong-ngomong soal mengulang-ulang suatu hal, saya jadi ingat bahasan tentang penggolongan kepribadian, katanya saya adalah INFP, salah satu cirinya adalah sangat memedulikan gimana bedanya rasa ketimbang bedanya pengalaman. Mirip sih, saya emang doyan mengulang-ulang sesuatu. Walaupun pengalamannya sama, pasti rasanya beda.  Contohnya, saya suka dateng ke tempat yang sama berkali-kali. Hasilnya, saya jadi punya tempat favorit. Salah satunya adalah bangku penonton lapangan sepak bola di GOR Sumantri, Kuningan. Ngobrol tentang ini-itu sambil ngeliatin orang joging, atau main bola tuh bukan main relaxing-nya. Pun, orang-orang yang ada di sana nggak peduli apakah seluruh yang ada di bangku penonton itu benar-benar menyaksikan pertandingan atau memang punya hajatnya sendiri, termasuk hajat untuk bengong, ngomongin hal-hal yang mungkin kalau lampu sorot bisa denger pun dia bakal kebingungan, atau ya hajat untuk sekedar ngamatin aja siapa-siapa aja yang joging: mereka pakai baju apa, gimana kecepatan lari mereka, dan menebak kira-kira apakah tujuan mereka lari? Sekedar untuk membuat sepatu lari yang dibelinya dengan harga lebih dari Rp 700 ribu itu jadi bener-bener berguna? Atau memang pengin lari atas nama kebugaran.


Saya juga pernah ke lapangan bola ini sendiri, sepulang liputan kalau nggak salah. Kebetulan liputan di Epicentrum, dan sebelum pulang mampir dulu ke sini. bengong. Memfoto apa yang ada di depan mata, lalu mengirimkan foto itu ke seorang kawan yang saat itu sedang pergi solo traveling. Saat itu minggu keduanya pergi, kalau tak salah ingat.   “Curang,” balasnya. Dia lupa, dia lebih curang. Dia pergi tanpa  mau memberi tahu siapapun ke tempat mana saja ia pergi.

Barang kali tiap individu memang punya haknya untuk menghilang dari realitas yang hampir selalu pasti ia temui tiap hari, menjalani realitasnya yang baru sama sekali. Tiap orang punya haknya untuk sendiri. pun, tiap orang perlu mempunyai kemampuan untuk sendiri. ini penting, soalnya, sekarang ini kita selalu menegasikan kesendirian. Dari buku yang lebih baik saya tidak sebutkan judulnya itu pun disebutkan kalau masyarakat kita ini emang selalu menganggap mereka yang suka asik sendiiri itu, “sad, mad, or bad”.  Hal ini sangat aneh. Kok bisa, di era di mana kita mengembor-gemborkan semangat untuk percaya diri, dan menjadi diri sendiri, tapi kita masih heran sama orang-orang yang suka asik sendiri, sama orang-orang yang memilih untuk menjadi pribadi yang khas, yang eksentrik.

Udah gitu, di era “aku pacaran maka aku ada” ini, orang yang memilih untuk hidup tunggal tanpa pasangan itu perlu dikasihani. Udah gitu (lagi), di era ketika kreatifitas dan daya cipta itu dijunjung tinggi sekali, tetapi kita masih saja suka menganjurkan untuk menjauhi keadaan yang sebenernya dibutuhkan untuk menghasilkan ide kreatif: kesunyian (solitude). 

Kalian boleh percaya, boleh juga tidak. Boleh setuju, boleh juga tidak setuju. Boleh pesan roti bakar lalu panjang mendebat, atau siapin uang parkir, ambil jaket, masukin hape ke kantong dan kendarai motor kalian pergi dari sini. Terserah.

Terserah… terserah… terserah… Kipas angin pun akan tetap berputar kalau kalian pergi. Asalkan kabelnya kalian cabut dari colokan. Komputer di depan mata saya ini juga akan tetap menyala asalkan kalian tidak dengan cepat menekan tombol CTRL + ALT + DEL sekaligus, terus menekan tuts “U” sebagai jalan pintas untuk langsung meng-SHUT DOWN komputer ini. Saya yakin, kalian tidak sejahat itu.


Kalian tak boleh sejahat itu. sejahat Rangga yang meninggalkan Cinta yang kemudian tiba-tiba muncul kembali, lalu membuat Cinta menjadi jahat sama Trian, tunangannya. Sungguh rumit, menyelesaikan kejahatan dengan kejahatan! Dan pagi tadi saya mendapatkan info tentang angka penonton film AADC? 2 ini. Tercengang! Gawat, sudah ada 3 juta orang yang belajar cara-cara jahat untuk meninggalkan orang. Dan sudah ada tiga juta orang yang jadi tahu gimana mudahnya meninggalkan kekasih mereka demi mengejar mantan legendarisnya. Hati-hati dengan hati, gaes!

Sekarang pukul 21:25, lagu Jingga yang Tentang Aku baru saja selesai mengalir dari headset ke kuping, berganti lagu Bernyanyi Menunggu yang dimainkan Rumah Sakit

Saya masih di kantor yang namanya terdiri dari tiga huruf. Saya lagi dapet giliran piket jadi proofreader atau disebut satgas kalau di sini. Kenapa satgas, bisa jadi karena tugasnya adalah menjaga (baca: memastikan) kalau artikel yang sedang di layout terus lanjut difinalisiasi oleh para desainer benar sebenar-benarnya. Nggak ada saltik alias salah ketik, nggak ada logika kalimat yang ngaco, nggak ada salah judul, nggak ada salah foto, nggak ada salah nama. Tiap minggu ada dua petugas satgas. Tapi sudah dijaga dua orang pun masih aja suka salah, lho. Pernah, nama Tatjana Saphira tertulisnya Tatjana Spahira. Pernah juga di artikel profil kami salah memuat foto. Seharusnya foto si A, eh malah foto si  B yang ditampilkan.

Ah.. kok jadi ngomongin kerjaa. Tapi tak apalah, sekalian aja dituliskan. Minggu-minggu belakangan ini saya agak kerepotan membagi peran. Harusnya fokus memerankan diri sebagai seorang pekerja kantoran sebaik-baiknya: sudah merampungkan artikel sejak awal minggu, sudah menghubungi narasumber sejak minggu sebelumnya, dan sudah selesai menulis artikel sebelum tenggat. Tapi, gimana dong, saya ingin juga menjadi diri saya sendiri seutuh-utuhnya. Saya pengin ngerjain ini-itu yang tiba-tiba muncul di kepala dan itu sama sekali nggak ada hubungannya sama kantor, bahkan nggak ada urusannya sama sekali sama penghasilan. Keisengan yang rewel sekali minta diseriusi

Oke. Cukup. 


Saya ingin menutup tulisan ini dengan kalimat-kalimat berima. Semoga bisa. Begini, sudah hampir seribu kata tumpah belepotan di atas kertas maya. Masih banyak ini dan itu yang berkeliaran di kepala. Tapi, tak apalah, mereka-mereka itu adalah kawan saya. Sementara kamu, dimana? masih perlu saya sapa, atau mau juga diajak duduk di bangku lapangan bola?

12 Mei 2016

Transkrip Percakapan “Rare Conversation Sapardi x Jokpin” di ASEAN LITERARY Festival



Awalnya paragraf pertama ini panjang. Tapi saya ringkas, terlalu heboh saya bercerita. Malu, ketauan noraknya, saya kan anak kemaren sore pengagum  karya dan pribadi dua orang rendah hati ini.. Hehe. Intinya, percakapan antara Sapardi dan Jokpin ini berkesan banget. Campur aduk rasanya. Mereka bikin ketawa sekaligus terharu.

Awalnya saya hanya mencatat potongan-potongan obrolan yang rasanya quotable, lumayan untuk caption di Instagram. :p Tapi kemudian saya merekam keseluruhan percakapan. Alasannya, biar kesan itu bisa dilipatgandakan dan dinikmati banyak orang.

Sesi percakapan dimulai sekitar pukul 19.30 di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki. Saat itu adalah Jumat (6/05) Okky Madasari mengawali, ia bercerita kalau sesi Rare Conversation ini adalah yang paling laris dipesan. Sudah sejak dua minggu sebelumnya, tiket habis terpesan. Banyak yang nggak kebagian. Itulah alasan yang menguatkan saya untuk menulis transkrip ini. Pengin teman-teman bisa ikut merasakan keseruannya juga.

Total percakapan yang terekam ialah sepanjang 1 jam 20 menit. Transkrip saya ketik bersama Chrismastuti yang bersamanya saya menyaksikan sesi ini. Rencananya, pengetikan kami bagi rata. Tapi Chris kelewat rajin, ia menggarap 60%-nya. Di halaman Words, transkrip ini sepanjang 19 halaman.  Sekitar 7.500 kata. Butuh kira-kira 30 menit untuk membaca tuntas.

Sebenernya di awal, Najwa Shihab, sang moderator, membuka sesi dengan puisi yang bagus, tapi saya belum merekammnya. Begitu juga dengan pertanyaan pertama Najwa dan jawaban pertama Sapardi, saya hanya menuliskan berdasarkan catatan saja.

O ya, kalau ada kalimat yang janggal, atau data yang salah, kabari yah. Biar saya langsung koreksi. Semoga menghibur, dan bermanfaat. :D


Najwa Sihab (N): Apa yang belum banyak publik tahu tentang Pak Sapardi?

Sapardi Djoko Damono (S): Saya ini hampir setiap hari ke mal. Saya ini anak mal sebenernya. Eh, eyang mal. Dokter bilang kalau saya harus banyak jalan kaki. Kalau jalan kaki di luar kan panas, enak di mal. Paling sering ke Pondok Indah Mal, paling dekat dengan rumah.

(penonton tertawa)

N: Kalau mas Jokpin?

Joko Pinurbo (J): Saya ini suka kopi. Di nama saya pun ada “kopi”-nya. Joko Pinurbo. Kopinya pakai gula sedikit saja.

N: Gula diet, atau gula biasa, mas?

J: Gula biasa. Saya tidak mengenal diet. Sudah kurus, diet, nanti mau jadi apa

N: Jadi itu, Jokpin  jadi kopi?

J: Saya suka minum kopi, terutama kopi yang diberikan teman-teman.

N: Kopi gratisan maksudnya?

J: Saya tidak punya kopi favorit, karena tergantung teman memberinya kopi apa.

N: Mas Jokpin. Gambarkan dong. Deskripsikan kepada kami,  sosok yang ada di samping Anda.

J: Pak Sapardi yah. Sosoknya ada di sebelah kiri. Kiri ini sangat sensitif sekali. Padahal saya pernah berbincang-bincang dengan almarhum Romo Yudi Mangun Wijaya, tentang kata “kiri”. Perlu saya jelaskan. Beliau kan merintis pendidikan eksperimental dengan untuk anak-anak SD. Salah satu yang beliau tekankan dengan para guru yang mengajar anak-anak miskin itu harus diajari untuk berpikir. Ngiwa, itu bahasa Jawa. Artinya menyimpang dari jalan yang lazim. Kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia secara bebas artinya belok kiri. Tapi kan kata kiri ini jadi sangat sensitif. Padahal kalau kita di kanan terus sumpek kan, yah.  Sekali-kali perlu menengok ke kiri supaya kita lebih kreatif.

N: Karenanya Pak Sapardi ada di sebelah kiri? 

... Jadi sambil mendeskripsikannya pun sudah bawa contekan

(Najwa melihat Jokpin yang merogoh tasnya. Mengambil buku)

J: Saya mumpung ketemu pak Sapardi. Saya pertama kali mengenal puisi Indonesia itu puisinya Sapardi. Dan buku puisi pertama yang saya beli adalah buku puisi DukaMu Abadi. Saya pengin menunjukkan buku puisi pak Sapardi versi perdana yang tidak banyak dikenal orang. Ini versi masih seperti stensilan. DukaMu Abadi.

S: Itu dapetnya dari mana?

J: Nah ini mau saya ceritakan. Dan buku ini tak akan saya berikan kepada siapapaun termasuk kalau Pak Sapardinya sendiri yang minta.

(penonton tertawa)

J: Sangat berharga. Suatu saat saya membantu almarhum Dick Hartoko, majalah Basis, di mana pak Sapardi pernah lama jadi redakturnya. Lalu suatu saat, di rak, (saya) melihat ada  buku versi stensilan ini.

N: Yang bikin tertarik itu? Karena ini buku stensilan

J: Iya. Karena saya belum punya versi perdananya. Jadi untuk semua yang hadir di sini, jangan melupakan karya perdana seorang penyair. Itu penting

N: Umur berapa saat itu mas Jokpin?

J: Umur 20-an. Jadi buku ini saya lihat di rak, lalu saya curi. Bukan saya curi. Saya ambil. Lalu saya koleksi sampai sekarang. Karena ini buku puisi yang mengantar saya sekarang duduk bersama pak Sapardi.

N: Bersejarah yah?

J: Bersejarah…

N: Oh udah toh mas? Oh itu titik yah. Kalau penyair titiknya kadang suka nggak jelas.

(penonton tertawa)

N: Oke jadi saya ingat  pernah membaca cerpen mas Jokpin. Waktu itu ada cerpen di hari  ulang tahun pak Sapardi yang ke-75. Sebotol Hujan untuk Sapardi.  (klik ini untuk baca cerpennya) Sekarang saya ingin tanyanya ke Pak Sapardi. Ketika membaca cerpen itu apa yang bapak rasakan?

S: Saya belum pernah, atau tidak suka,  merasa terharu membaca sastra. Tetapi ketika membaca ini saya tuh tergeli. Sampai hati menulis seperti itu untuk saya. Itu indah sekali. Bagi saya itu tulus. Tidak neko-neko. Mengucapkan selamat ulang tahun seperti itu luar biasa, bagi saya…

(penonton tertawa karena mengira ucapan Pak Sapardi masih berlanjut)

N: Pak Sapardi dideskripsikan seperti itu. Kalau bapak gimana menggambarkan sosok yang di sebelah kanan bapak ini, baik karya maupun persona, pak?

S: Joko Pinurbo itu kemenakan saya. Kemenakan saya banyak. Saya Djoko Damono. Dia Joko Pinurbo. Ada lagi kemenakan saya di Serbia. Namanya Jokovic. Kami sekeluarga sebenernya. Joko Joko Joko. Makanya nanti kalau punya anak namakan Joko.

(Penonton tertawa)

N. Yaudah kalau gitu malam ini saya juga jadi Joko boleh ya, Pak? NaJoko Shihab. Hehe.

Kalau karyanya, bapak melihatnya gimana?

S: Dia menulis lebih baik dari itu, coba lihat. (Pak Sapardi mengambil buku Duka-Mu Abadi milik Jokpin) Ini bukunya dicetak tahun ‘69, oleh seorang temen namanya Jeihan. Kami tuh sejak SMA keluyuran sama-sama, sama-sama dhuafa pada waktu itu. Sampai sekarang juga sebenernya.

Kami suka belajar sama-sama di tempat yang sepi, yaitu kuburan Belanda. Di Solo tuh ada kuburan Belanda. Kami suka ke sana. Kami berangan-angan. Aku mau jadi penyair. Yang satunya, “aku mau jadi pelukis”.

Kami berjanji, nanti siapa yang duluan kaya akan membantu yang lain. Saya senang. Nggak mungkin penyair kaya, kan. Kalau misalnya pelukisnya kaya, jelas. Dan ternyata benar, ketika dia sudah agak-agak kaya. “ini saya punya buku, kamu terbitin deh.” Diterbitin beneran. Tahun berapa itu.. Oh, ‘69.

Nah, pada waktu itu saya sudah janji. Saya mau hanya berbicara di Taman Ismail Marzuki kalau saya punya buku. Tapi buku saya belum terbit. Ketika saya naik panggung, di depan saya itu singa-singa semua, yang pinter-pinter. Saya deg-degan. Saya kan anak kampung. Anak Solo. Buku saya kok nggak ada.

Tiba-tiba muncul seseorang namanya Salimto Yuliman, almarhum, seorang kritikus seni, dia membawa bundel buku, katanya ini dari Jeihan. Untuk  mas Sapardi dikasihkan.

Ketika itu saya kaget. Oh ternyata saya ditolong sama Jeihan, bener. Saya sekarang ceramah, dan buku saya dicetak sama dia. Ini betul-betul buku yang berharga bagi saya, dan bagi pak, eh mas Joko Pinurbo. Itu ceritanya seperti itu.

N: Itu buku pertama, sampai sekarang total ada berapa buku? Apakah sudah tidak bisa terhitung?

S: Belasan lah. Tapi saya kira yang paling baik itu.

N: Pak Sapardi, yang paling banyak diingat orang, dijadikan lagu, dijadikan kalimat di undangan pernikahan, dijadikan kado atau cara merayu orang, itu ada dua puisi. Aku Ingin dan Hujan di Bulan Juni. Saya ingin tahu, proses ketika menciptakan itu. Sekali jadi, atau diulang-ulang?

S: Cara merayu orang itu loh.

(Penonton tertawa)

N: Soalnya saya pernah dirayu dengan kalimat itu, Pak Sapardi. Dan berhasil. agak menyesal sekarang.

S: Halah. Jangan percaya mulut Sapardi.

(penonton tertawa)

S: Jadi begini, memang dua sajak itu, antara lain, yang istimewa itu sekali jadi. Nggak tau kenapa. Kemudian, pada waktu itu dimuat pada sebuah koran, Suara Pembaruan atau apa gitu, tahun ‘69. Saya temukan di Yogya, kebetulan waktu itu ujan-ujan. Di situ ada tiga sajak, Hujan bulan Juni, sama itu (Aku Ingin).

Andaikan sajak itu tidak dijadikan lagu, tidak dinyanyikan Reda, orang tidak akan mengenal. Siapa yang akan membaca puisi kecil si sebuah sudut Koran. Koran sore. Siapa yang baca? Tapi sekarang karena lagu itu, anda sekalian mengenal saya. Jadi, bukan karena anda mengenal puisi saya dulu. Tapi lagu itu dulu. Dan kebetulan, mereka itu adalah bekas-bekas mahasiswa saya. Bukan bekas, tapi mahasiswa. Mereka mencuri sajak saya, saya nggak dikasih uang apa-apa.

(Penonton tertawa)

N:
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan 
kayu kepada api yang menjadikannya abu.

aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan 
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.”

Seperti apa mencintai dengan sederhana, mas Jokpin? Saya nanya ke mas Jokpin sekarang. Mencinta dengan sederhana itu seperti apa?

J: Itu puisi yang paling tidak sederhana. Jadi mencintai dengan sederhana itu mencintai yang paling tidak sederhana. Paling sulit. Sesuatu yang mustahil itu yang ditulis Pak Sapardi. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, justru itu yang tidak sederhana. Susah orang mencintai apa adanya.

N: Mas Jokpin kalau mencintai orang seperti apa?

J: Ya itu, seperti kayu kepada api yang menjadikannya tiada.

(Penonton tertawa)

N: Kalau begitu saya tanya ke penciptanya. Mencintaimu dengan sederhana, adakah maksud lain ketika menuliskan itu, Pak Sapardi? Ada banyak sekali interpretasi orang terhadap kalimat terkenal itu.

S: Ya tentu. Memang puisi itu hidup kalau interpretasinya macem-macem. Kalau cuma satu ya sekali baca sudah habis. Jadi orang mikir-mikir: sederhana, ada api, ada kayu. Kayu, dibakar api, toh. Ini kan percintaan bagi saya. Kayu dan api itu bercinta. Sebelum sempat menyampaikan cintanya, sudah jadi abu. Jadi nggak sampai.

N: Jadi ini tentang cinta tak sampai?

(Penonton tertawa)

S: Lho, bukan. Cinta beneran itu, cinta beneran.

(penonton tertawa)

N: Jadi ketika itu sekali jadi, berapa lama prosesnya?

S: Satu hari? Ya berapa menit. 15 sampai 20 menit barangkali. Waktu itu ditulis tangan.

(penonton tepuk tangan)

N: Hujan di Bulan Juni juga seperti itu, secepat itu?

S: Sama.

N: 15 menit saja?

N: Saya mau ke mas Jokpin. Yang menarik dari anda, mas Jokpin, peristiwa sehari-hari itu bisa jadi puisi. Benda-benda sehari-hari: celana, telepon genggam, tiang jemuran, kamar mandi, kuburan, sarung. Dari mana sih celana itu datang ke otak mas Jokpin? Puisi, kok, celana, mas?

(Sapardi terlihat tertawa)
(penonton tertawa)

J: Ya saya juga membayangkan bagaimana  Ari Reda bisa menyanyikan Di Bawah Kibaran Sarung, misalnya. Itu sebetulnya, aduh itu ceritanya panjang. Kalau orang ingat, kan, saya baru menerbitkan buku puisi celana itu tahun 1999. Usia saya saat itu 37 tahun. Sudah sangat terlambat karena apa, karena saya sangat lama untuk mencari celana saya yang hilang.

Kepenyairan saya tumbuh ketika saya harus berhaadapan dengan penyair-penyair besar yang sudah mapan saat itu. Ada Sapardi, ada Goenawan Mohamad, ada Sutardji, ada Rendra, Subagio Sastrowardoyo, saya berhadapan dengan karya-karya yang begitu dahsyat, apa yang saya harus lakukan. Maka yang saya lakukan saya harus belok kiri. Kalau saya jalan lurus mengikuti jalan mereka saya tidak bisa sampai ke Taman Ismail Marzuki.

Nah, ternyata setelah saya belok kiri saya menemukan banyak hal. Itu kejadian saya simpel. Saya hanya meneliti, membaca puisi dari Amir Hamzah sampai Sapardi sampai Rendra, kira-kira yang belum mereka kerjakan apa. Oh, ternyata nggak ada celana, tidak ada kamar mandi, tidak ada sarung. Nah, ini modal saya. Jimat saya. Kira-kira begitu. Jadi saya hanya meneliti kira-kira yang belum pernah dikerjakan penyair lainnya apa. Yaudah saya kerjakan, yang dibilang sehari-hari itu tadi.

N: “Sajak Memo Celana

Kadang, tengah malam, sambil mengigau kau ngeloyor
ke halaman belakang, ingin mencoba bagaimana rasanya
tergantung di tali jemuran, sendirian dan kehujanan.

Joko Pinurbo. Sajak Memo Celana. Dan setelah itu ada banyak celana-celana yang lain, mas Jokpin.

J: ya ada periode celana, kamar mandi, kemudian juga ada periode tahi lalat. Pokoknya yang tampaknya nggak berharga gitu lah.

N: Sekarang periode apa?
J: Sekarang, periode bahasa Indonesia. Saya sekarang sedang mengerjakan puisi-puisi yang menunjukkan keunikan bahasa Indonesia. Saya bermain-main dengan kata-kata bahasa Indonesia. Oh, ternyata bahasa Indonesia itu luar biasa. Jadi, saya ingin menunjukkan kalau bahasa Indonesia menyimpan potensi yang menarik untuk digali oleh para penyair.

N: Bisa dibocorkan sedikit?
J: Ya nanti saya bacakan. Salah satu saya bacakan.

N: Kita tunggu nanti
J: Kalau saya tidak lupa yah.

N: Tugas saya mala mini mengingatkan.

(penonton tertawa)

N: pak Sapardi saya pernah membaca, jangan pernah menulis saat keadaan emosi tidak stabil. Saya agak kaget, Karena saya pikir kalau kita lagi patah hati, lagi jatuh cinta, lagi marah luar biasa, bukannya tulisannya justru mengalir deras, ya, pak? Atau itu salah?

S: Wah itu salah sama sekali. Kalau kita marah, ada yang tidak beres di dalam masyarakat, atau korupsi, atau segala macem, kalau kita marah ya jangan nulis puisi. Banting gelas aja. Kalau udah lego, baru nulis puisi. Kalau cinta sama orang juga gitu, nggak usah buru-buru. Kalau udah selesai, kita tenang, kita punya jarak dengan apa yang ingin kita tulis, kita menulis.

N: Jadi justru harus berjarak?
S: Oh iya. Namanya jarak estetika. Harus. Kalau nggak cengeng. Lebih baik demo, kalau marah, daripada nulis puisi.

(penonton tertawa)

N: jadi pak Sapardi paling sering menulis dalam keadaan apa?

S: Ya dalam keadaan kalau sudah tidak ada rasa yang menggebu-gebu. Saya setenang-tenangnya dalam perasaan saya itu, dan kemudian bisa melihat apa yang saya tulis itu dengan cara yang estetis, dengan jarak yang terjangkau dengan saya. Dan saya mencoba untuk menyampaikan itu secara sangat objektif, itulah sebabnya sajak saya itu gampang sekali dipahami. Karena itu saya cuma gambar kok itu. Ada hujan bulan Juni, itu kan cuma gambar. Kemudian Aku Ingin, itu kan ada gambar, apa namanya, api melalap kayu. Perkara itu ditafsirkan gimana, ya itu salahnya yang menafsirkan. Saya barusan menerima undangan kawin yang ada sajak saya itu, yang Aku Ingin, yang pernah dianggap sebagai sajaknya Khalil Ghibran. Ada teman di Yogya cerita begitu, ketika mengingatkan begitu, “Ini sajaknya mas Sapardi, bukan sajaknya Khalil Gibran”. Apa jawabnya, “wong Indonesia kok bisa bikin sajak seperti itu?!”

N: Underestimate banget. Jadi bahkan sajak Aku Ingin disangka tulisan Khalil ghibran.
S: Iya dan ada sebuah buku yang mencantumkan itu sebagai karya Khalil Gibran.

N: Tapi membuat geer nggak, prof?
S: Nggak. Bagi saya itu lucu aja. Lucu banget itu.


N: Jadi menulis harus berjarak. Jangan dalam keadaan emosi berlebihan. Berarti inspirasi tidak perlu dicari?

S: Inspirasi kok dicari, kita tuh punya niat nulis. Kebetulan ada kesempatan. Nah, apa yang menjadi bahan kita adalah pengalaman kita sehari-hari, apa yang terjadi di kehidupan kita. Seperti yang tadi Jokpin bilang, ada celana, ada sarung, ada kamar mandi. Tapi saya lebih tertarik pada yang ada di dalam celananya itu. Bukan celananya,  tapi yang di dalamnya. Ada kan sajaknyayang begitu? Ada. Porno, dia porno memang.

N: Setuju, mas Jokpin? Anda porno, mas?

(penonton tertawa)

J: Hmm. Iya. Saya ingat puisi itu tapi tidak ingin membacakan puisi itu. Karena nanti pembaca lebih memperhatikan yang di dalam celana itu.

N: Mas Jokpin, menulis biasanya kapan?
J: Hmm. Pada dasarnya saya sembarang waktu. Tapi seringnya tengah malam ke atas, sampai kira-kira jam tiga, itu waktu saya untuk menulis.

N: Sampai jam tiga dini hari?
J: Iya.

N: Di kertas dengan pena, mengetik dengan komputer?
J: Kalau dulu ya tulis tangan, sekarang ya dengan komputer. Tulisan tangan saya semakin jelek sekarang. Karena tangan saya jarang digunakan.

N: Berapa lama biasanya kalau tadi 15 menit sajak pak Sapardi yang legendaris itu tercipta, kalau mas Jokpin berapa lama?

J: Biasanya sajak-sajak saya yang saya suka, yang berhasil itu justru sajak yang saya tulis cepat. Sajak yang terlalu saya persiapkan itu jadinya malah nggak keruan gitu, lho. Malah saya anggap kurang kuat. Jadi pengalaman saya sajak-sajak yang suka yang saya anggap berhasil adalah sajak yang saya tulis dalam waktu cepat. Saya ini kan musiman, dalam satu bulan bisa menulis 12 puisi, lalu enam bulan saya tidak bisa menulis apa-apa. Begitu, jadi saya tidak punya rutinitas menulis puisi, jadi misalnya satu bulan menghasilkan rata-rata berapa, tidak. Saya menulis satu bulan enam, setelah itu sudah, bisa satu tahun tidak menulis.

N: Susah tidak memanggil musim menulis puisi itu?

J: Kalau saya musimnya tidak jelas, tidak pernah menentukan. Saya tidak punya bulan favorit kapan menulis.

N: Bulan Juni seperti pak Sapardi?

J: Saya jarang sekali menulis puisi pada bulan juni. Kan sudah ada Hujan Bulan Juni. Tapi kalau diperhatikan, saya baru sadar belakangan, ternyata pada bulan-bulan yang banyak ‘er’-nya itu. September, Oktober, November, Desember itu saya banyak menulis puisi. Saya nggak tahu kenapa.

N: Tadi mas Jokpin mengatakan ‘puisi yang dianggap berhasil’. Boleh tidak saya minta mas Jokpin membacakan puisi yang berhasil di mata Jokpin.
Waduh, banyak sekali. Mana yang saya pilih yah.

N: Sangat rendah hati memang mas Jokpin.

(penonton tertawa)

J: Ya apa yah, sekali-kali penyair membanggakan dirinya lah. Karena kan tidak ada yang dibanggakan.  Rezekinya tidak jelas.

N: Apa ini judulnya, mas Penyair

J: Puisi ini pernah berkali-kali saya bacakan. Tetapi akan saya bacakan lagi, karena puisi tentang bahasa Indonesia tadi. Main-main saya dengan bahasa Indonesia. Boleh saya bacakan?

N: Silakan mas. Kita kasih tepuk tangan dulu dong

J: Judulnya Kamus Kecil

Saya dibesarkan oleh bahasa Indonesia yang pintar
Dan lucu walau kadang rumit dan membingungkan.
Yang mengajari saya cara mengarang ilmu sehingga saya tahu sumber segala-gala kisah adalah kasih.
Bahwa ingin berawal dari angan
Bahwa ibu tak pernah kehilangan iba
Bahwa segala yang baik akan berbiak
Bahwa orang ramah tidak mudah marah
Bahwa untuk menjadi gagah kau harus menjadi gigih.
Bahwa seorang bintang harus tahan banting
Bahwa orang lebih takut kepada hantu ketimbang kepada tuhan

Hantunya itu banyak di kiri atau di kanan nggak jelas.

(Penonton tertawa)

Bahwa pemurung tidak pernah merasa gembira
Sedangkan pemulung tidak pelnah merasa gembila

Bahwa orang putus asa suka memanggil asu.
Bahwa lidah memang pandai berdalih
Bahwa kelewat paham bisa berakibat hampa
Bahwa amin yang terbuat dari iman menjadikan kau merasa aman.
Bahasa Indonesiaku yang gundah

Membawaku ke sebuah paragraf yang merindukan bau tubuhnya.
Malam merangkai kita menjadi kalimat majemuk yang hangat
Di mana kau induk kalimat, dan aku anak kalimat.
Ketika induk kalimat bilang pulang,
Anak kalimat paham bahwa pulang adalah masuk ke dalam palung
ruang penuh raung, segala kenung tertidur di dalam kening.
Ketika akhirnya matamu mati, kita sudah menjadi kalimat tunggal yang ingin tetap tinggal dan berharap tak ada yang bakal tanggal .

Demikian bahasa Indonesia.

(Penonton tepuk tangan)

N: Pak Sapardi apa komentar bapak atas puisi tadi, pak?

S: Saya sedang mikir-mikir nih. Jokpin ini kok mendahului saya. loh. Bukan , artinya, tanpa mengatakan pun, sesungguhnya sajak tadi menjelaskan bahwa puisi itu bunyi. Bahasa itu bunyi. Itu kan permainan bunyi. Ini itu, ini itu. Dan menurut saya itu memang—yang saya sudah siapkan dari rumah untuk menjelaskan ini—puisi iitu bunyi sebenernya. Kalau dalam khasanah bahasa jawa pusi itu ditulis dalam bentuk tembang puisi itu harus dinyanyikan. Dalam diri puisi itu sendiri itu ada bunyi. Jadi puisi yang belum jalan  bentuk bunyinya, itu tidak akan disukai orang. Itu masalahnya.

Tadi dijelaskan, sebenernya Jokpin berteori bahwa puisi itu adalah permainan bunyi. Titik. Perkara maksudnya apa terserah pada kita semua. Mungkin Jokpin tidak memaksudkan sesuatu. Begini, begitu, tapi karena bunyinya indah, puisi menghasilkan sesuatu yang mungkin di luar pemikiran si penyairnya sendiri. Itu saya kira.

N: Bunyinya yang indah?

S: Ya.

(penonton tepuk tangan )

N: Penilaian itu tepat, mas Jokpin?

J: Ya tentu saja jauh lebih tepat dibanding yang saya bayangkan. Jadi ya memang sebetulkan saya ingin memberi pengertian, atau persepsi bahwa puisi seperti itu. Saya bermain-main dengan kata. Saya sendiri tidak paham kok maksud puisi ini apa. Saya tidak paham.

Saya juga sering menafsirkan puisi saya sendiri. Jadi ketika saya menulis puisi Celana 18 tahun lalu, sekarang saya membacanya lagi, posisi saya sebagai pembaca. Saya menafsir lagi puisi saya. “Wah  kok bisa gila kayak gitu yah” saya kadang-kadang begitu.

N: Dan berbeda 18 tahun lalu ketika dituliskan, dengan sekarang ketika dibaca ulang?

J: Bisa berbeda maknanya.  Bisa berbeda atau bisa menjadi berkembang maknanya. Itu yang besok ingin saya sampaikan dalam acara Ibadah Puisi. Bagaimana cara saya menafsirkan puisi saya sendiri. Sama seperti saya menafsirkan puisinya pak Sapardi. Misalnya begini, buku puisi DukaMu Abadi ini sangat berkesan bagi saya karena ini saya baca sejak remaja puisi-puisi ini kan ditulis tahun 67-68. Ini saya mau member tafisr sedikit. Pak Sapardi nggak usah campur tangan yah.

(penonton tertawa)

N: Silakan mas.

J: Nah, ini buku puisi  yang sangat liris tetapi saya punya penghayatan sendiri. Puisi-puisi ini lahir persis setelah tragedi 65. Kalau kita membaca puisi-puisi ini sama sekai tidak ada petunjuk peristiwa politik yang terjadi. Tetapi saya bisa merasakan bahwa suasan yang dilukiskan dalam DukaMu Abadi itu suasana setelah terjadi tragedi yang sangat besar. Tragedi berdarah. Ada bau kematian. Ada suasana sunyi yang ngelangut stelah terjadi pergolakan yang laur biasa. Baris pertama puisi DukaMu Abadi aja begini: “Masih terdengar sampai di sini, dukaMu abadi”

Nah yang belum pernah diungkap orang bahwa di dalam puisi itu ada disebut-sebut kata Golgota, misalnya. Jadi saya mempunyai tafsir bahwa tampaknya puisi ini ingin menunjukkan bagaimana tragedi penyalipan Yesus itu terjadi secara masal pada tahun 65. Ini sangat terlukis di dalam puisi-puisi ini menurut penghayatan saya.

Saya pernah membuat tafsir terhadap serangkaian puisi pak Sapardi lewat cerita pendek saya, Laki-laki Tanpa Celana, di sana saya menunjukkan melalui teks-teks pak Sapardi memang ada tragedi ada trauma yang baunya bisa saya cium dari puisi-puisi beliau. Jadi memang puisi-puisi ini ditulis pada suasana yang sangat kontemplatif ketika sesesorang sudah mengambil jarak dari tragedi itu. Lalu tragedi sosial yang terjadi sejarah itu akhirnya menjadi trauma psikologis yang sifatnya individual. Jadi kalau say abaca ulang bau kengerian itu masih ada. Makanya puisi ini jadi sangat menarik, karena tidak ditulis dengan nada yang berkobar-kobar. Tetapi malah justru jadi lebih mencekam. Saya sangat ngeri kalau membaca DukaMu Abadi

N: Sangat ngeri, mas?

J: Sangat ngeri.

N: Bacakan sedikit saja.

J: Oke saya bacakan.

N: enak yah bisa nyuruh-nyuruh.

J: Ini masih ejaan lama, mbak Nana. Wah sangat berkesan. Beruntunglah saya memiliki. Kapan-kapan mau saya lelang ini.

(penonton tertawa)

J: Jadi puisi pertama judulnya Prolog. Kita membayangkan sehabis terjadi tragedi 65. Mungkin penyairnya tidak bermaksud begitu tetapi, ini urusan saya sebagai pembaca.

(pak Sapardi menutup kuping)

J: Masih terdengar sampai di sini
DukaMu abadi
Malam pun sesaat terhenti
Sewaktu diri pun terduduk, terdiam
Di luar langit yang membayang samar
Kueja setia
Semua pun yang sempat tiba
Sehabis mengukuh ladang kain dan bukit golgota
Sehabis menyekap beribu kata
Di sini, di rongga-rongga yang mengecil ini
Ku sapa dukamu juga
Yang dahulu yang meniupkan jarak ruang dan waktu
Yang capai menyusun huruf dan tepat dan terbaca
Sepi manusia, jelaga”

Itu puisinya.  Dengan nada berkobar-kobar. Malah justru jadi lebih mencekam. Saya justru jadi sangat ngeri ketika membaca duka mu abadi

N: sangat ngeri mas?

J: Ya.

N: kita tepuk tangan dong. Puisi Sapardi dibacakan oleh Joko Pinurbo. Saya ingin tanya yang membuat, intrepretasi itu mendekati dengan apa yang bapak pikirkan ketika menulis?

S: bukan mendekati, itu melompati. Itulah yang saya katakan tadi. Sajak itu jauh lebih jauh dari apa yang diketahui oleh si penyair tentang sajaknya sendiri. Kalau saya boleh menjelaskan ini, saya akan menjelaskan dengan cara lain.

Tahun 67 dan 68, berarti umur saya 27 atau 28. Menurut teori yang tidak saya percaya, jadi pada umur itulah orang untuk pertama kalinya sadar bahwa dirinya akan mati. Ini pernah dikatakan oleh Sartre, dia mengatakan pada tahun-tahun segitu orang mulai sadar, dia akan mati. Dan mungkin ini yang saya tulis. Ini banyak tentang kematian segala macam itu. Saya dalam keadaan, ada sajak saya yang betul-betul takut sekali, takut mati. Tapi hasilnya seperti ini. bukan kemudian, saya membuat sajak yang menyebabkan anda nangis. Saya mengambil jarak dari ketakutan mati itu. saya menulis sajak seperti ini. Itulah sebabnya, mungkin ditafsirkan lain.

Dukamu itu “Mu”-nya besar. Bagi saya, Tuhan kok berduka terus sampai sekarang melihat umat-Nya. Apa nggak pernah jadi beres kita ini. kemudian ditambah ketakutan akan mati itu tadi. Menurut saya penting sekali, itulah yang mendasari puisi saya. Beberapa buku saya yang banyak dibicarakan mungkin yang ini. dan banyak sekali tafsir, dihubungkan sana dihubungkan sini. Itu saya senang sekali. Puisi memang seperti itu. tafsir Jokpin sangat saya hargai. Sajak yang pertama tadi. Saya menganggap, ketika ini dikumpulkan saya merasa ada semacam benang merah antara sajak dengan yang lain. Ada seorang kritikus, menganggap tiga sajak dijadikan satu. Meskipun saya tulis secara terpisah.

N: Jadi betul-betul tergantung intrepretasi siapa yang membacanya?

S: Iya betul.

N: Pak Sapardi tadi Jokpin sudah membacakan puisi yang menurutnya berhasil. Saya ingin meminta bapak membacakan puisi yang bapak anggap berhasil, karya bapak.

S: Kalau saya membaca puisi Aku Ingin semua orang hapal. Baca Hujan bulan Juni orang juga hapal. Jadi bosen. Nanti dinyanyikan lagi. saya mau membacakan sesuatu yang pernah saya bacakan di sini. Saya tahu saya akan dipaksa untuk membaca sajak. Sebenernya pekerjaan saya ini kan menulis bukan membaca.

N: bukan dipaksa tapi diminta dengan hormat dan diiringi tepuk tangan yang meriah.

S: Ini juga untuk menambah pengetahuan kita semua. Saya bukan penyair cinta. Judulnya Tentang Mahasiswa yang Mati 1996

Aku mencintainya sebab ia mati ketika ikut
rame-rame hari itu. Aku tak mengenalnya,
hanya dari koran, tidak begitu jelas memang,
kenapanya atau bagaimananya (Bukankah semuanya
demikian juga?) tetarpi rasanya cukup alasan
unutk mencitainya. Ia bukan
mahasiswaku. Dalam kelas mungkin saja
ia suka ngantuk, atau selalu tampak sibuk mencatat,
atau diam saja kalau ditanya,
atau sudah teralanjur bodoh sebab ikut saja
setiap ucapan gurunya. Atau malah terlalu suka
membaca sehingga semua guru jadi asing baginya.
Dan tiba-tiba saja, begitu saja, hari itu ia mati;
Begitu berita yang ada di koran pagi ini—
Entah kenapa aku mencintainya
Karena itu. Aneh, koran ternyata bisa juga
Membuat hubungan antara yang hidup
Dan yang mati, yang tak saling mengenal.
Siapa namanya, mungkin disebut di koran,
Tapi aku tak ingat lagi,
Dan mungkin juga tak perlu peduli. Ia telah
Mati hari itu—dan ada saja yang jadi ribut.
Di negeri orang mati, munkin ia sempat
Merasa waswas akan nasib kita
Yang telah meributkan mahasiswa mati.

Terima kasih

N: Tentang Mahasiswa yang Mati Tahun 1996. Jadi pas saat itu pak Harto masih berkuasa. Sempat ada ramai-ramai ketika puisi itu muncul di koran?

S: Puisi ini saya baca di sini, di TIM. Kemudian wartawan KOMPAS,  katanya tidak biasa. Dalam beritanya puisi ini dikutip utuh. Seingat saya begitu. Kemudian saya kirim ke sebuah majalah di Jogja, Basis. Kemudian saya ditanya editornya, “apa mas Sapardi berani menulis puisi seperti ini?” Puisi ini ndak galak toh? Saya kan nggak marah. Nggak ada tanda pentung. Saya cuma cerita saja saya mencintai mahasiswa yang mati karena dibedil.

Sajak seperti ini, membutuhkan seperti yang saya sampaikan tadi, jarak itu. kalau saya menggebu-gebu membaca koran itu bubrah semua. Nggak jadi. Saya pernah membaca sajak yang satu buku isinya tanda seru semua. Membacanya gimana? Masa teriak-teriak terus? Nggak mungkin kan saya teriak.

Tapi memang sajak semacam ini, karena ada jarak estetis itu tadi itu dikerjakan lama. Tadi saya katakan ada beberapa sajak saya yang ditulis beberapa menit. Ada sajak saya yang ditulis tiga tahun nggak jadi-jadi dan sampai sekarang saya belum puas dan harus diperbaiki lagi.

N: sajak apa itu?

S: namanya Dongeng Marsinah. Marsinah itu tahun ‘96 saya tulis baru selesai tahun ‘98. Lama sekali. Saya koreksi terus. Karena itu terlibat emosi saya, sajak saya nggak karuan. Isinya kemarahan mulu. dalam sajak kok orang marah. Dalam sajak nggak boleh orang marah, dalam sajak nggak boleh orang bercinta, dalam sajak nggak boleh macam-macam. Pokoknya dongeng saja. Seperti sajak Joko Pinurbo, mana aja sajak Joko Pinurbo yang marah? Dia mengajak kita, hidup tuh santai aja kayak yang dia utarakan. Nah itu saya kira hakikat puisi. Puisi tidak mengajak kita ke sana kemari, ke kanan atau kiri, ya terserah mau lurus atau tidak. Apalagi di tempat kita belum kiri boleh lurus.

N: Boleh langsung.

S: Nah kan kita bingung mau kiri atau langsung. Dalam salah satu lagu dikatakan saya dikatakan lefthanded bukan leftish. Meski di negara saya di Depok sana, lefthanded pun dilarang.

N: Karena itu menarik untuk bicara yang tengah terjadi di negeri kita saat ini. Bicara soal korupsi, soal Pilkada, soal pemimpin, penguasa Jakarta, atau yang mau jadi penguasa Jakarta. Hal-hal itu menarik tidak dijadikan puisi, mas penyair?

J: Ya saya ini biasa menulis hal-hal yang remeh: celana, kamar mandi,dsb. Jadi kalau tiba-tiba harus bicara soal pemimpin itu rasanya berat. Saya masih menyimpan rasa penasaran soal pemimpin ya.

Saya punya pemimpin negara, namanya Joko, Joko widodo. dari Solo, orangnya kurus. Saya punya pemimpin puisi, namanya juga Djoko, Djoko Damono dari Solo, kurus juga. dari situ saja sudah terasa bagaimana semesta mengatur ini. Masih ditambah lagi, saya memiliki diri saya sendiri, namanya Joko, Joko Pinurbo. Kurus, berasal dari dekat-dekat Solo. Saya lalu teringat puisi pak Sapardi,  yang fana adalah waktu. Saya merasa yang fana adalah Joko. Najwa abadi.

(penonton tertawa)

J: Kalau tentang Ahok saya ingat puisinya Wiji thukul. Wiji Thukul kan puisi yang paling dihapal hampir semua aktivis adalah “hanya ada satu kata, lawan!”. Kalau Ahok, hanya ada satu kata yang benar-benar menohok, Ahok!

N: pak Sapardi, situasi negeri menarik untuk dijadikan karya?

S: selalu menarik. Tapi karena puisi pendek, dan saya nggak bisa cerewet di situ. Saya nulis novel. Di novel saya, Trilogi Sukram, Anda akan tahu saya protes keras terhadap segala macem. Pengarang telah mati itu 1998. Pengarang yang belum mati 1964. Ketiga, itu yang terjadi ketika pemberontakan di Sumatera Barat, datuk maringih melawan belanda. Kemarahan saya itu saya tuliskan di sana. Jangan percaya saya pokoknya dibaca saja. Nanti pulang kan ada Gramedia bisa mampir. Baca bener-bener. Jadi cara saya marah itu begini, pada buku ketiga itu, saya jadikan Datuk Maringgih itu pahlawannya. Bagi saya dia pahlawan. Yang sontoloyonya itu, Syamsul Bahri itu gombal banget, dia kan antek Belanda. Kenapa dia jadi pahlawan? Sedangkan Datuk Maringgih itu dia keliling dari surau ke surau untuk ngumpulin orang islam karena tidak ingin bayar pajak. Kenapa dianggap bajingan? Itu kan susah, nggak bisa dong. Saya jadikan pahlawan di situ. Itu cara saya melawan. Bukan dengan marah, itu dongeng. Jadi dalam cerita itu, Datuk Maringgih adalah pacarnya Siti Nurbaya. Sama sekali berbeda. Itu cara saya menafsirkan politik di negeri saya ini.

N: Kalau yang dialami sekarang, adakah penafsiran khusus ala Sapardi?

S: Saya sedang nulis dua novel. Tunggu sampai akhir tahun. anda akan kaget. Saya nggak belok kiri, tidak belok lurus, tidak belok kanan. Kan bebas toh? Berhenti ya boleh. Saya nggak mau berhenti. Saya mau belok-belok. Sekarang ini khasanah sastra kita muncul macem-macam.

Yang perlu diperhatikan, kita bicara sastra dengan yang dibicarakan Joko tadi. Sastra itu, puisi itu, ya kata-kata itu. Bukan apa yang dikandung kata-kata itu. Sekarang yang dibicarakan itu apa yang dikandung kata-kata itu. caranya nggak berukuran ya nggak apa-apa, tapi yang dikandung seperti itu. itu yang bermasalah. Itu bukan sastra bagi saya. Itu masalah besar. Karena sastra itu cara pengucapan, seni kata, yang memang berbeda dengan yang lain. Maknanya beda-beda ya nggak apa-apa, cara itu yang penting.

N: mas Jokpin, penyair muda kita hebat-hebat tidak?

J: woh hebat-hebat. Pada saat saya seusia mereka, saya belum sehebat mereka. Dan ada cukup banyak. Ada Aan Mansur, Mario Lawi, Beni Satryo. Itu menurut saya mereka lebih cepat mencapai tingkat kematangan berpuisi dibandingkan saya dulu. Saya tidak tahu. Emang anak sekarang cerdas-cerdas dan didukung berbagai fasilitas oleh media, terutama teknologi digital. Dulu kan mau nerbitkan buku itu susahnya minta ampun. Masuk koran juga cuma koran tertentu. Sekarang iklimnya sangat mendukung untuk mereka mengembangan puisi Indonesia lebih besar lagi. Saya yakin masih banyak potensi yang masih bisa digali. Saya kira itu. saya harus mengakui, banyak penyair muda yang karyanya menjanjikan.

Persoalannya satu. Para penyair generasi saya jumlahnya ratusan. Tapi yang bertahan bisa dihitung dengan jari tangan. Jadi menurut saya ada faktor lain yang menentukan seseorang bisa bertahan di dunia kepengarangan yakni mentalitas dan etos kerja. Masalahnya situasi sekarang penuh godaan, karena semua serba mudah, lalu bisa jadi budaya instan di dalam menulis itu bisa merasuk ke penyair muda sekarang.

N: Waktu bilang penyair sekarang bagus-bagus, yang membedakan puisi bagus dengan yang tidak bagus, apa?

J: Kalau saya sederhana. Saya percaya seperti yang disampaikan pak Sapardi tadi. Sastra itu menyangkut cara seseorang mengungkapkan tanggapan atau penghayatnya terhadap peristiwa atau persoalan hidup. Dari segi itulah saya melihat sejumlah usaha kreatif untuk memperkaya puisi Indonesia. Misalnya gini, Mario Lawi, dia banyak mengangkat narasi-narasi yang selama ini terpendam. Kisah-kisah kitab suci kemudian diolah. Juga ada penyair lain yang mengolah tema-tema yang belum banyak disentuh.

N: Lebih berani-berani ngambil risiko?

J: Saya pikir begitu. Saya rasa sejak reformasi, Puisi saya lahir setelah reformasi  saya tidak membayangkan jaman orde baru, orang bikin puisi yang isinya candaan puisi seperti yang saya tulis. Saya nggak yakin kalau orba tidak runtuh saya bisa nulis puisi celana. Itu kan banyak hal-hal dalam politik yang tidak boleh dituliskan. Banyak puisi saya berisikan candaan politik hanya saya tuliskan dengan gaya saya. Gaya orang Jogja: halus, slengean, plesetan gitu. Saya tidak bisa menulis dengan gaya Rendra atau Wiji Thukul. Saya juga nggak bisa nulis dengan gaya pak Sapardi yang begitu sublim karena kultur hidup saya berbeda.

N: pak Sapardi melihat karya penyair muda kita, membesarkan hati anda?

S: Sangat membesarkan. Jadi begini, sewaktu saya remaja itu saya hanya bisa membaca di koran. Dan tidak semua koran ada sastranya. Majalah susah sekali, belum tentu kami mendapatkan itu. Dan sekarang yang muda-muda dengan mudah mendapat puisi tidak hanya dari buku. Karena sekarang sastra bukan hanya buku. Kalau kita masih mikir sastra adalah buku adalah keliru. Karena ada benda ajaib, komputer atau apapun yang menyambungkan kita dengan internet. Itu kita belajar. Anak-anak sekarang yang muda-muda itu kalau mau baca sajak siapapun tinggal ngetik namanya langsung keluar. Jaman saya dulu nggak mungkin. Saya dulu belajar dari Rendra. Kenapa Rendra? Karena Rendra, menurut saya, waktu itu satu-satunya sajak yang bisa saya baca dengan bahasa yang sederhana. Pada tahun 50-an puisi Indonesia itu puisi gelap. Susah sekali dipahami. Tapi ketika Rendra nulis ternyata orang bisa nulis dengan bahasa seperti itu. dengan cara demikian, pertanyaan anda meleset tapi saya yang memelesetkan. Anak muda punya bahan yang luar biasa untukbelajar. Orang bisa nulis kalau membaca. Sekarang bahan bacannya melimpah. Kalau saya baca karya seorang penyair saya bisa tahu anak ini banyak baca atau nggak.
Membaca berarti terpengaruh. Di dalam sastra terpengaruh itu harus. Bukan haram. Kita itu harus mencuri dari tempat lain. Dari penyair yang dulu. Dari syair orang lain.

N: Prof, sekarang masih seperti itu?

S: Jelas. Mencuri ya jangan meminjam. Kalau pinjam harus dikembalikan. Kalau mencuri jangan sampai ketauan.

N: Ada yang dicuri dari mas jokpin?

S: Wah, dia yang nyuri dari saya kok.

N: Internet, kemajuan teknologi memungkinkan orang untuk belajar dari berbagai sumber. Apa karena itu prof Sapardi Twitteran? Itu twitter sendiri?
S: iya sendiri. Cuma nggak selalu ta’ jawab. Nggak apa-apa. Kalau dijawab berarti itu dari saya. Saya pernah itu, apa namanya,

N: akunnya?

S: SapardiDD. Itu langsung. Sebelumnya saya ikut Facebook. Banyak sekali. Tapi habis itu saya tinggal. Orang banyak kirim karya ke saya terus saya koreksi. Saya ini nggak digaji kok disuruh koreksi. Dan kalau misal saya kritik, marah. Yasudah. Tapi kalau Twitter kan sedikit.

N: Lebih in lagi snapchat sekarang prof

S: Nah itu lebih bagus lagi. tapi saya belum ke sana.

N: Saya baru tau prof Sapardi sangat melek gadget yaa

S: Saya nggak cuma melek gadget, saya tuh seorang yang tau teknologi kelas tinggi. Buku-buku saya, saya terbitkan sendiri saya jual sendiri cover-nya buat sendiri, saya kirim ke percetakan sendiri, ke penerbitan sendiri, kalau nggak percaya tanya Gramedia. Sampai sekarang. saya nggak punya asisten apapun. Maka dari itu penerbitan saya nggak mati-mati lah wong nggak gaji orang, karena saya gaji diri sendiri. Apapun yang saya tulis itu saya ajarkan di kelas, saya paksa mahasiswa saya beli. Nah kembali itu.

(penonton tertawa)

N: Itu dia tips jadi penyair abadi. Hahaha.  Kalau mas Jokpin, kenapa sudah jarang Twitteran mas?

J: cita-cita saya dengan twitter sudah tercapai ya sudah.

N: apa cita-citanya?

J: Gini, awal 2000-an, saya menulis puisi tentang telpon genggam. Waktu itu baru demam hape. Waktu setelah reformasi. Waktu itu saya sudah punya feeling, saya meramalkan bahwa kita akan memasuki era digital. Ternyata benar yang diramalkan puisi saya waktu itu.

N: Sajak Telepon Genggam?

J: pak Sapardi tau itu, pernah diskusi itu di ui. Puisinya nggak karuan itu, puisi eksperimental sekarang.

N: yang awalnya azan subuh berkumandang itu bukan?

J: iya ada itu.

N: saya bacakan yaa?

J: Silakan kalau mau dibacakan. Saya tidak tega membacakannya.

(penonton tertawa)

N: Supaya ada bayangan. (Ini) Salah satu sajak favorit saya.

Sajak Telepon Genggam, Joko Pinurbo

Azan subuh berkumandang
Penuh hujan
Dia buka telepon genggam
Tumben ayah kirim pesan
Ibu sakit, kangen berat
Nenek sudah tiga hari hilang
Makam kakek belum sempat dibersihkan
Sarung ayah dicuri orang
Utang stabil
Pohon nangka di samping rumah tumbang
Bisa pulang?
Bisa minta ijin telepon genggam
Pesan berakhir

Musik telepon genggam menyanyikan The Beatles, Mother”

Favorit, mas Penyair. Itu bisa membayangkan era digital?

J: iya. Kalau boleh menggunakan istilah, itu sastra profetis.  nggak percaya. Era sekarang menjawab kegelisahan saya waktu itu. lalu saya buat twitter. Cita-cita saya bikin puisi dari twitter. Saya mencoba nulis puisi pendek di twitter. Dirangkai jadi buku. Dan sekarang belum punya kegelisahan lagi.

N: tercapai karena bukunya sudah terbit?

J: tercapai bukunya sudah terbit.

N: apa membuat Jokpin biasanya gelisah?

J: kan orang paling gelisah dengan dirinya sendiri. Kalau saya gelisah dengan diri saya sendiri. Saya merasa, diri saya tidak jelas. Rejekinya juga tidak jelas. Walaupun tidak jelas, setiap rejeki harus dirayakan dengan kopi. Makanya saya suka kopi. Sebetulnya kegelisahan saya itu begini ada satu soal yang membuat saya bertnya, kenapa semakin lama kita semakin sensitif? Semakin mudah berprasangka dengan label-label ini. tadi saya mengatakan. Masa negara sebesar ini dengan satu kata “kiri” ini bisa kalang kabut. Saya heran. Itu yang menggelisahkan saya.

Kalau kita pelajari sejarah siapa yang mengisi makna kata kiri ini. kata kiri ini sudah diberi konotasi tertentu sehingga orang takut mengatakannya. Padahal kiri dan kanan adalah yang niscaya hidup sehari-hari. Tetapi konotasi ini membuat hubungan negara dengan warganya menjadi kikuk jadi nggak nyambung. Karena ada label-label yang diberi intrepretasi tertentu. Nah sebetulnya itu yang sekarang menarik perhatian saya. Cuma saya nggak tau gimana menuliskannya. Tapi ini kegelisahan saya, karena menyangkut hubungan negara dan warganya itu. 

Jadi kita itu ternyata bukan menguasai kata-kata tapi malah dipermainkan oleh kata-kata. Kata kiri aja kita nggak bisa menguasai tapi dipermainkan. Hanya satu kata kiri. Simple sekali. Kiri itu pun biasa. Masalahnya kan konotasinya itu neraka. Kanan surga. Kalau belok kiri itu jalan neraka. Kanan itu jalan surga. Kadang itu iblis itu muncul dari kanan yang disebut surga itu. nah ini permainan apa ya. Puisi saya itu tadi hanya contoh kata-kata bahasa indonesia itu bisa menimbulkan kegelisahan tertentu bahkan bisa buat orang kalang kabut. Saya tertarik dengan fenomena bagaimana orang terkuasai oleh konotasi yang ada di kata-kata.

N: apakah akan segera dituangkan tidak hanya dalam bentuk sajak tapi ?

J: sebetulnya sudah. Saya kan pernah buat puisi judulnya Asu, yang dituliskan matanya kidal merah kiri itu sudah. Cuma kan orang nggak memperhatikan puisi itu.

N: judulnya Asu?

J: iya. Puitis sekali itu.

N: Dari judulnya sendiri sudah tergambarkan.

J: Jadi saya sudah menulis itu.

N: Saya ingin tanya, buku favorit. Adakah buku favorit sampai sekarang terus dibaca?

J: kalau saya salah satu memang DukaMu Abadi. Saya punya dua versi. Salah satunya versi Pustaka Jaya. (Bukunya) sampai lecek. Saya beli sampai tiga kali. Sebelumnya hilang diambil orang. Persisi yang saya tuliskan di cerpen saya Sebotol Hujan itu kejadian betul. Itu buku puisi pertama dan saya belinya di jogja. Padahal saya sekolah di magelang. Pas hari minggu saya ke jogja buat beli bukunya. Harganya masih tertera itu. dulu 25 rupiah. Ini versi pustaka jaya. Harganya 200rupiah atau 500. Ini salah satu buku favorit bukan masalah bagus atau tidak. Menurut saya paling menginspirasi. Yang paling membuka jalan kepengarangan saya ya dukamu abadi. Ini ingin saya sampaikan mumpun masih bertemu.

N: ini baru pertama atau sudah sering muji pak Sapardi?

J: saya sering. Tapi pak Sapardi tidak tahu. Ini buku pertama saya, sengaja saya bawa. Buku perdana dari penyair yang membuka..

N: yang membuka jalan anda jadi penyair, Kalau pak Sapardi?


S: saya tadi mau bilang, Joko Pinurbo aja membeli tidak buku saya. Tapi sampai sekarang saya tidak kaya. Satu orang baca tiga buku kalau ada ratusan orang baca tiga buku, tapi ternyata cuma dia itu yang baca buku saya. 

(penonton tertawa)

N: semua orang di ruangan ini sepertinya punya buku Sapardi



S: tadi apa pertanyaannya? Tadi saya katakan, pertama kali saya baca puisi dengan baik itu puisi Rendra. Seperti yang sudah saya katakan, ada masa yang kami sebut itu sebagai puisi gelap. Karena puisi setelah Chairil Anwar itu. apa sebabnya? Karena yang nulis itu orang sunda, orang batak, orang Jawa nggak bisa berbahasa indonesia. Bahasa Indonesianya belepotan. 

Ketika Rendra nulis, "ohh itu puisi". Waktu SMA saya beli buku Rendra judulnya Balada Orang-orang yang Tercinta, di samping itu saya membaca sebuah sajak drama bersajak karangan T.S Elliot kalau diterjemahkan jadi pembunuhan di Katedral. Sampai sekarang begitu saya baca lagi,"Sapardi itu nyuri dari T.S Elliot." Saya lihat itu sungguh luar biasa. Dia nulis beberapa buku  yang luar biasa bagi saya itu yang membuat saya menganggap puisi itu tidak bisa saya tangkap sepenuhnya tapi bikin saya terus baca. Ini apa? Kira-kira saya bisa ndak nulis seperti itu sampai sekarang. saya yakin bahwa ada seorang teman kalau ingin jadi penyair jadilah seorang modernis. T.S Elliot itu mbahnya modernis Eropa waktu itu. dia menemukan cara-cara pengungkapan yang luar biasa. Skripsi saya yang pertama mengenai itu.

N: dan itu prof Sapardi terjemahkan juga?

S: iya.

N: buku favorit

S: ya.

N: baik.

S: nanti saya beri terjemahan saya kalau mau.

N: hampir mendekati ujung. Pak Sapardi sudah 50 tahun berkarya. Jokpin kurang lebih 30 tahun. saya ingin tau sepanjang puluhan tahun itu, apa momen paling spesial yang kalau diingat bikin senyum2 sendiri?

J: ya ketika buku puisi pertama celana terbit. Saya nggak sengaja. Waktu itu saya sudah lama menyair tapi belum punya buku. Saya ragu apakah akan terus menyair atau tidak. Pada suatu saat, ada penerbit kecil di magelang minta saya ngumpulin puisi saya. Saya asal saja. Masih ketikan manual, tidak saya atur, terserahlah mau diterbitkan seperti apa. Jadi dan banyak salah cetaknya. Buku salah cetaknya itu urutan puisi nggak karuan, ternyata bawa berkah. Jadi suatu saat pak Sapardi bilang buku saya menang. Buku salah cetak bisa membawa saya menang. Ini yang membuat saya terkesan. Jadi buku puisi saya celana yang beredar yang salah cetak. Jadi ada yang menerjemahkan itu bingung. Karena ada "sebotol bir" tercetaknya "sebotol bibir". Sampai bingung. Karena banyak salah cetak. Itu momen berkesan. Salah cetak bawa keberuntungan. 

Setelah itu saya merasa okelah saya jadi penyair. Dari situ saya kembangkan menjadi sarung, kamar mandi. Kalau tidak menemukan celana saya nggak menemukan sarung, kamar mandi, atau asu. Penemuan celana ini yang paling luar biasa. Saya sendiri heran. Momennya sederhana saya harus menghadiri suatu acara saya beli celana. Semua longgar buat saya. Saya nggak dapet celana dapet puisinya.

N: prof Sapardi, adakah momen yang paling diingat?

S: sudah saya ceritakan, ketika saya bicara di depan orang-orang itu, tiba-tiba muncul utusan teman saya dari bandung dengan buku saya. Itu sangat berkesan bagi saya. Itu pertama kali buku saya diterbitkan dengan cara sederhana. Disusul buku-buku saya lainnya dengan cara sederhana lainnya, mata pisau, akuarium. Itu hanya 27-28 halaman. Itu ada salah cetak. Itu kemudian mengawali hidup sebagai penyair. Dan yang lainnya, setelah itu menggelinding semuanya gampang saja.

N: pertanyaan terakhir, ketika puisi begitu menggetarkan hati mengajarkan orang cinta mencintai, apakah dalam kehidupan sehari-hari skill membuat puisi yang menghanyutkan itu juga berguna?

J: skill terasah dalam proses. Salah satu cara mengasah skill ya menulis terus.

N: jadi banyak puisi cinta, surat cinta, tweet cinta dari Jokpin?

J:  kayaknya saya kurang bakat di cinta itu. jadi hampir tidak ada puisi cinta saya dikenang orang. Tampaknya saya tidak berbakat untuk menulis puisi cinta. Sangat susah. Saya juga tidak berbakat menulis puisi sosial yang menggebrak. Bakat saya rupanya merawat hal-hal yang sederhana, yang remeh. Supaya mendapat makna baru.

N: pak Sapardi, skill itu berguna?

S: amat sangat berguna. Kalau kita percaya puisi itu adalah kesenian, seni kata. Tugas kita adalah untuk mengembangkan skill dalam artian yang sangat dalam. Artinya kemampuan sebaik2ya untuk menciptakan bahasa yang baru. Itu yang saya sampaikan tahun 69 ketika buku ini diterbitkan. Saya ingat sekali di halaman pertama atau kedua kompas, Sapardi ini aneh penyair dipaksa untuk mencintai bahasa. Kalau penyair tidak mencintai bahasa mencintai apa lagi? jadi bagi saya skill itu harus terus menerus ditingkatkan. 

Bahasa itu cepat sekali berkembang. Penyair harus menghadapi semua itu. gimana dia mengolah itu semua tidak jadi cengeng, marah tapi jadi kebahagiaan. Itu memerlukan ketahanan yang luar biasa. Mengembangkan bahasa itu tugas penyair. Tidak ada negara runtuh karena penyair. Nggak ada korupsi habis karena penyair. Kalau ada jasa penyair karena dia menciptakan bahasa yang baru. Tidak ada lagi. 

Yang dituntut dari penyair adalah bagaimana dia menciptakan bahasa baru yang segara dan setiap harinya disampaikan itu berantakan jadi klise. Dalam puisi kata itu harus ditata ulang, ditambah lagi semakin lama semakin modern. Puisi chairil anwar dibanding kemenakan saya ini sama sekali berbeda. Nggak mugkin chairil anwar nulis ada burung dalam celana. Dengan demikian penyair itu ditulis dengan bahasa yang hidup. Bukan bahasa buku. Itu kembali ke jaman dulu. Beredarnya sangat cepat tidak hanya di masyarakat, tapi di internetitu menantang anda memasak itu semua. Itu yang dihadapi oleh penyair2 muda sekarang.nah sekarang kesempatan ini besar sekali. Tantangannya juga besar.

J: apa yang dikatakan pak Sapardi apa yang saya lakukan.

N:
Ada penyair yang masyur karena hujan,
ada penyair kondang karena jemuran.
Hujan dan tiang jemuran sama-sama penting.
Keduanya bertaut dengan urusan yang lumayan intim.
Jika hujan membasahkan maka jemuran mengeringkan.
Tak ada yang lebih arif dari tiang jemuran
dibiarkannya celana sendiri dan kesepian.

“Apa yang kamu lakukan ke saya itu jahat,” kata celana kepada jemuran
“Aku hanya ingin mengeringkanmu dengan sederhana,” balas jemuran kepada celana.

Celana dan jemuran kemudian tertawa sampai perut bergetar
sambil melihat mas penyair cuap-cuap dengan bapak penyiar.

“Mereka tadi bicara tentang apa,” tanya celana.
“Sepertinya tentang kesusastraan,” jawab jemuran.

Celana berkata betapa mulianya mereka berdua.
Tapi jemuran mencibir
apa pentingnya hari gini membaca syair.

Keduanya diam beberapa saat.
Seperti manusia yang mendadak ingat urusan tenggat.
Kemudian hembusan angin dari utara Jakarta,
mengabarkan kejadian-kejadian yang luar biasa.

Jemuran tiba-tiba bertanya, “lebih mendesak mana urusan reklamasi atau bicara soal puisi?”

Celana terdiam dalam senyap yang liat berbagai tanya tiba-tiba mendekat.
Sambil berjalan ke kamar mandi, jemuran nyeletuk soal hakikat puisi yang bisa bicara tentang hujan di bulan Juni hingga hidup buruh di tanggal 1 Mei

Sebab puisi dapat menampung segala sesuatu.
Dari yang syahdu dan sarat sendu,
tentang persoalan yang dianggap perlu
sambil meninju diktator berkepala batu.

Celana dan jemuran kembali riang dan gembira
lalu pergi bersama ke pasar santa
untuk memborong buku-buku sastra. 





---

revisi: 
* Tadinya tertulis Salimto Yuliman, tapi ternyata yang benar adalah Sanento Yuliman. (info dari Ahadi Bintang M Said) 
* bahasa Jawa yang diucap Jokpin  yang Artinya menyimpang dari jalan yang lazim adalah ngiwa. Tadinya saya tidak menuliskannya. (info dari Kurniadi Widodo)
*sebelumnya saya menulis Dihartoko, tapi ternyata yang benar adalah Dick Hartoko (info dari Robertus Roni Setiawan) 
*sebelumnya saya tak lengkap menuliskan judul puisi Rendra, ternyata judulnya adalah Balada Orang-orang yang Tercinta (info dari Robertus Roni Setiawan) 
*sebelumnya saya menulis Satre, tapi yang benar adalah Sartre (info dari Deasy Elsara)  
* sebelumnya saya  menulis Jehan, tapi nama yang benar adalah Jeihan (info dari Tampan Destyawan) 
© blogrr
Maira Gall