09 Oktober 2016

Melanglang Buana

Saat menuju bandara Kuala Namu, saya bertemu dengan pak Saleh di shuttle bus. Ia bukan Indonesia, melainkan asli asal Oman. Ia menyapa kami lebih dulu, bukan dengan perkanalan melainkan dengan obrolan. Ia bertanya apa yang saya kerjakan sehari-hari, saya ceritakan bahwa saya wartawan. Lalu saya balik bertanya tentangnya. Ia menjawab satu, saya balas lagi dengan pertanyaan. Saya suka dengan cerita-ceritanya. Di akhir pertemuan, kami baru saling bertukar nama. Saya yang mengajak lebih dulu. Maksud utamanya, biar ambisi yang tiba-tiba muncul itu jadi punya nama jelas: "Saya ingin menjadi penjelajah seperti pak Saleh."

Pak Saleh adalah pria paruh baya. Ia datang ke Medan atas nama liburan. Meski sudah berkeluarga dan mereka bisa dapat jatah terbang gratis dari maskapai penerbangan tempat pak Saleh kerja, ia memilih datang berlibur ke Indonesia sendiri.  "Saya selalu menyempatkan liburan," tukasnya dalam Inggris, ketika kami di dalam bus,"setidaknya seminggu dalam setahun. Mengunjungi negara lain."

Ya, dia travelling sendirian, dan ia sudah terbiasa melakukannya. Ia lanjut bercerita  sementara saya mengunci satu pertanyaan yang muncul di kepala. Ia bercerita tentang kunjungannya ke Bukit Lawang melihat orangutan, tentang kekecewaannya dengan masyarakat serta pemerintah yang kurang memaksimalkan potensi pariwisatanya; serta sebalnya ia dengan kultus backpacking yang menurutnya nggak menguntungkan industri pariwisata.

"Saya pernah ke Nepal. Di sana banyak backpacking. Mereka maunya gratis terus. Dan seharian lebih sering nyantai sambil mengisap marijuana," kenangnya saya sambut dengan ketawa.

"Mengapa memilih solo travelling, Pak?" akhirnya saya dapat kesempatan menyela.

"Kalau datang dengan banyak teman, akan repot menentukan tujuannya. Kalau sendiri bisa bebas," katanya. Asal kamu tahu, ia mengaku belum menentukan ke kota mana lagi ia akan terbang, walau ia sudah berkemas dan menuju bandara.

Dan ia seperti tahu bahwa saya penasaran dengan bagaimana menjalani liburan dengan cara tak lazim itu.

"Saya jadi tahu bahwa jika kita baik dengan orang lain, maka orang lain akan baik juga pada kita. Kebiasaan saya banyak bicara ini juga membantu mengakrabkan situasi," lanjutnya.

Jika pak Saleh sudah mengunjungi banyak negara, pak Jerri Hermansyah, supir yang mengantar serta memandu kami selama di Medan,  mengalami hidup di banyak daerah di Indonesia.

Pak Jerri adalah perwujudan dari ungkapan "Find your comfort zone and then leave it."  Ia hidup berpindah-pindah. Anak seorang tentara ini sudah hijrah dari rumah sejak lulus SMP.  Coba sebut nama kota, bahkan yang ada di pulau kecil sekalipun, yang ada di Indonesia kepadanya, maka ia akan menceritakan pengalamannya pernah hidup di sana. 

"Kemarin saya abis dari Baubau, Pak," kata saya pengen keliatan punya jiwa berpindah-pindah juga. 

"Ah saya pernah tinggal di sana, ikut perdagangan kayu rotan." 

"Minggu-minggu depan kami akan ke Ketapang," teman saya nimbrung. 

"Ketapang bagus itu, saya pernah juga tinggal di sana. Mentawai juga. Pernah tinggal lama di dalam hutannya juga." 

Hidup berpindah-pindah makin ia gandrungi setelah ia ikut perdagangan kayu. Ia kerap membantu pebisnis kayu. Tentu bukan hanya satu pebisnis kayu saja. Namanya selalu direkomendasikan dari satu pebisnis ke pebisnis lain. Ia diakui ulung dalam menghubungkan para pelaku bisnis kayu lainnya. Kalau sudah begitu, berpindah-pindah hutan, kota, dan pulau adalah sebuah tuntutan yang sadar nggak sadar ia lakukan. 

Ketika ia diajak menjadi sopir salah satu agen travel di Medan pun bukan sekadar karena ia lihai nyopir di jalur sehoror lintas Sumatera sekalipun, melainkan karena ia banyak tahu tempat, menguasai dasar bahasa beberapa daerah termasuk Inggris, dan staminanya yang nggak usah diragukan lagi. 

"Bapak nggak capek hidup pindah-pindah tempat mulu gitu?" saya bertanya

"Saya suka," itu jawaban singkatnya yang saya ingat. Ia lebih suka menceritakan pengalamannya ketimbang memaparkan alasan rupanya. 

Hingga akhirnya Medan ia pilih menjadi ujung dari perjalanannya itu. Kakek beranak tiga dan bercucu dua ini sudah tidak lagi merencanakan pindah ke kota mana pun lagi.  

Pergi keluar dari tempat asal dan menuju ke tempat asing, apakah selalu berarti meninggalkan zona nyaman? Pun, apa yang salah dengan zona nyaman sampai-sampai si sukses dan si pemilik hidup inspiratif hobi betul menasehati kita untuk meninggalkannya? 

Menyimpulkan dari cerita pak Saleh, pak Jerri, dan juga disarikan dari pengalaman kecil saya. Jalan-jalan atau ya boleh lah disebut berkelana adalah ikhtiar memperluas zona nyaman. Daerah yang awalnya cuma ada di peta, ternyata benar-benar ada dan menerima kita; ternyata kita bisa juga akrab dengan masyarakat dengan budaya yang asing dengan kita; ternyata sebagai sesama manusia, kita punya hasrat untuk menerima dan diterima eksistensinya; ternyata kepala kita yang ukurannya segitu-segitu aja bisa menyerap pengalaman yang seluas-luasnya; ternyata banyak tempat menyenangkan; dan ternyata yang paling penting, yang suatu saat saya akan mengatakannya: ternyata seluruh isi dunia ini bisa menjadi rumah kita, andaikan kita mau melanglang buana.  

Tidak ada komentar

Posting Komentar

© blogrr
Maira Gall