28 Juni 2015

Menggugu KOMPAS (Minggu)


Hari ini harian Kompas genap berusia 50 tahun. Saya ingin turut merayakannya. Pasalnya, saya sangat suka koran ini. Apalagi Kompas Minggu. Selalu saya tunggu. Membeli Kompas Minggu adalah rutinitas yang saya lakukan sepaket dengan bangun tidur dan sarapan. Persis di seberang rumah ada kios koran. Sangat mudah untuk saya membelinya. Bahkan kadang tanpa keluar pagar, yaitu dengan memanggil penjualnya dan memintanya menyeberang. Saking gampangnya beli koran, saya juga sering ngutang, yaitu ketika tiba-tiba pengin beli koran, tapi dompet ada di kamar, lantai atas.

Kompas sudah 50 tahun, tapi kesadaran untuk membacanya baru muncul pada saya sekitar tiga tahun lalu. Selulus kuliah saya mengikuti workhop penulisan kritik seni rupa di ruangrupa. Para pemateri kerap merekomendasikan rubrik Seni di Kompas Minggu untuk dibaca. Ulasan pameran dan kritik seninya bernas, katanya. Sejak itu saya membiasakan diri membeli Kompas Minggu. Baca Kompas selalu sukses bikin saya nambah wawasan dan nemu inspirasi.

Tentu, akhirnya tak hanya rubrik seni yang saya gugu. Perhatian saya juga menjelajahi sekujur tulisan yang ada di berkas Kompas Minggu. Jika Kompas adalah sekolah maka Kompas Minggu adalah jurusan yang saya pilih. Saya senang duduk menyimak materi-materinya dan diam-diam mempelajari cara penulisan tiap artikelnya.

23 Juni 2015

Cerita Tentang Mimpi


Saya sering bermimpi tentu. Tapi bermimpi yang benar-benar berkesan--entah itu karena buruk, menegangkan, indah atau basah--sehingga membuat saya mencatat mimpi tersebut sebangunnya dari tidur, jumlahnya hanya hitungan jari. Yang paling saya ingat, saya pernah bermimpi saya akan mati dalam hitungan jam. Setelah mimpi itu saya bahkan sampai menset diri untuk siap mati.

Nah, belum lama lalu, saya mengalami mimpi yang tak kalah menegangkannya lagi. Terasa sekali itu nyata. Saya lupa kalau saat itu saya bermimpi.

Begini ceritanya:

16 Juni 2015

"Hidup Juga Butuh Misteri!"

Dua-tiga kawan mengajukan pertanyaan bertema sama pada saya, "Ram, kok lo sekarang anaknya Path banget?!", "Wuih, Kiram tiba-tiba jadi rame di timeline Path gini sekarang."

Intinya, temen-temen--terutama yang di kantor--pada heran. Saya yang nyaris nggak pernah ngoceh  di Path selama satu-dua tahun ke belakang, tiba-tiba giat beredar di timeline. Memang betul, tiap muncul kesan tertentu tentang suatu peristiwa, otak saya lalu merangkai kalimat untuk mengindahkan cerita yang akan saya unggah ke Path. Begitu pula tiap kali muncul ide atau gagasan kecil.

"Biasanya lo kalau ngupdate-ngupdate emang di mana, Ram?" tanya seorang teman.

"Di LINE. Haha!"

Ada teman yang kaget, ada juga yang balik menanggapi. "Oh iya sih, tiap gue buka LINE, pasti ada Kiram."

Kalian pegiat media sosial pasti tahu kalau timeline LINE itu sepi adanya. LINE lebih kerap digunakan sekadar untuk chatting yang lebih ekspresif, karena adanya stiker. Sementara untuk micro blogging, Path yang banyak digunakan.

© blogrr
Maira Gall