Hari ini harian Kompas genap
berusia 50 tahun. Saya ingin turut merayakannya. Pasalnya, saya sangat suka
koran ini. Apalagi Kompas Minggu. Selalu saya tunggu. Membeli Kompas Minggu
adalah rutinitas yang saya lakukan sepaket dengan bangun tidur dan sarapan.
Persis di seberang rumah ada kios koran. Sangat mudah untuk saya membelinya.
Bahkan kadang tanpa keluar pagar, yaitu dengan memanggil penjualnya dan
memintanya menyeberang. Saking gampangnya beli koran, saya juga sering ngutang, yaitu ketika tiba-tiba pengin
beli koran, tapi dompet ada di kamar, lantai atas.
Kompas sudah 50 tahun, tapi
kesadaran untuk membacanya baru muncul pada saya sekitar tiga tahun lalu.
Selulus kuliah saya mengikuti workhop
penulisan kritik seni rupa di ruangrupa. Para pemateri kerap merekomendasikan
rubrik Seni di Kompas Minggu untuk dibaca. Ulasan pameran dan kritik seninya bernas,
katanya. Sejak itu saya membiasakan diri membeli Kompas Minggu. Baca Kompas
selalu sukses bikin saya nambah wawasan dan nemu inspirasi.
Tentu, akhirnya tak hanya rubrik
seni yang saya gugu. Perhatian saya juga menjelajahi sekujur tulisan yang ada
di berkas Kompas Minggu. Jika Kompas adalah sekolah maka Kompas Minggu adalah
jurusan yang saya pilih. Saya senang duduk menyimak materi-materinya dan
diam-diam mempelajari cara penulisan tiap artikelnya.
Pada 17 September 1978 @hariankompas edisi hari Minggu @kom_ming terbit untuk pertama kali #Kompas50th #kompasdata pic.twitter.com/Ql3qS4Jakf
— Kompas Data (@KompasData) June 27, 2015
Saya mempelajari bagaimana gaya
penulisan ulasan pameran, film, pentas musik, dan teater di Kompas. Mau tak mau
saya pun jadi akrab dengan nama Aryo Wisanggeni, Sri Rejeki, Nur Hidayati,
Mohammad Hilmi Faiq, Herlambang Jaluardi, dan Putu Fajar Arcana, para penulis
di Kompas Minggu. Dari tulisan mereka juga diam-diam saya belajar bagaimana
membuat lead, alur penulisan ulasan
dan informasi-informasi tambahan yang perlu diselipkan di tulisan demi
memperkaya.
Saya juga mengamati esai-esai
budaya atau seni yang ditulis oleh mereka yang memang pakarnya. Walau nggak
ngerti-ngerti amat, tapi saat itu tetap saya pelajari. Lagipula ada serunya
juga, pernah, satu esai yang ditulis oleh Aminudin TH Siregar mendapatkan esai
balasan di minggu berikutnya (maaf saya lupa siapa penulis esai balasannya)
Beberapa koleksi Kompas di rumah. Kebanyakan adalah edisi Minggu. |
Asiknya, rubrik Kompas Minggu
selalu dimulai dengan rubrik Sosialita—sekarang berganti nama menjadi Soca—yang menampilkan artikel sosok
wanita inspiratif: mereka yang cantik dengan
pengalaman dan pemikirannya yang khas dan mendalam. Tak hanya seleb yang biasa
muncul di televisi, Kompas selalu mengenalkan saya pada wanita-wanita yang
jarang tersorot media tapi tak kalah bersinar dari para bintang.
Saya suka sekali ketika rubrik
Soca menampilkan sosok Irma Chantily, seorang penulis fotografi sekaligus dosen
di IKJ. Sejak sering menulis tentang fotografi nama Irma Chantily sering saya
temui. Saya makin mengidolakannya setelah tahu bahwa Irma dan saya satu
almamater. FIKOM Unpad. Dari tulisan di Soca, saya kian tahu bahwa Irma sangat
serius mendalami fotografi. Saya kian mengidolakannya. Dan tahukah kamu,
tulisan Soca kali itu ditulis bukan oleh penulis biasanya, melainkan oleh
Arbain Rambei. Barangkali sebagai fotografer, om Arbain pengin betul wanita
inspiratif dari dunianya ini dikenal.
Hingga kini saya menanti-nanti munculnya wanita idola saya lainnya, Karlina
Supelli, muncul di rubrik ini. Saya pengin tahu lebih banyak tentang ibu filsuf
cantik satu itu. :p (Semoga memang belum pernah dimuat, sehingga saya nggak
ketinggalan)
Ya, saya baca juga kolom Parodi
bikinan Samuel Mulia. Apalagi setelah tahu ada teman kuliah yang membuat
skripsi tentang kolomnya itu, mengulas soal representasi budaya populer dalam
tulisannya. Saya suka cara Samuel Mulia mengkritik gaya hidup masyarakat
perkotaan. Sering juga ia menggunakan dirinya sendiri, sebagai bagian dari
masyarakat perkotaan kelas atas, untuk memulai kritiknya. Kalau dipikir, gaya
penulisan blog saya sedikit banyak terpengaruh juga oleh Samuel Mulia yang
kerap menceritakan pengalaman diri atau lingkungan pertemanannya, lalu di
bagian akhir menyimpulkan dengan kutipan atau kejadian inspiratif. Gara-gara
kolom Parodi ini, sesekali saya bercita-cita untuk bisa punya kolom tetap di
media cetak nasional yang saya asuh.
Dan betapa geernya saya ketika
suatu ketika ada wartawan Kompas yang menghubungi, mengajak bertemu dan berbagi
cerita tentang Card to Post. Nama wartawannya Amanda, kami bertemu di Mc
Donalds kebun jeruk. Tak lama setelahnya, Card to Post mejeng di rubrik Hobi
dan Komunitas Kompas Minggu. Ada foto saya dan Fertina terpampang besar di
situ. Saya malu. Tapi juga senang. Dan menariknya, beberapa SMS datang
setelahnya, sekadar menyapa hingga menyemangati kami untuk terus menggiatkan
komunitas Card to Post ini. Saya kaget, kok pada bisa tau nomor saya. Ternyata,
di artikel ada foto kartu pos berantai yang memang ada nomor hape saya nyempil
di situ. Segitu besar efeknya ternyata diliput Kompas Minggu.
Saya suka Kompas Minggu, utamanya
karena mengulas seni, hiburan dan gaya hidup, bidang-bidang yang tak hanya saya
sukai tetapi saya akrabi, salah satunya untuk pekerjaan menulis di majalah.
Berawal dari Kompas Minggu kemudian saya juga jadi membiasakan diri membaca Kompas hari lainnya, setiap hari. Ada tiga pemicunya, pertama, kantor saya berlangganan. Kedua, ada temen yang suka baca juga, Decky namanya. Ketiga, karena kuliah. Biar update berita. Membaca berita di koran lebih ringkas sekaligus mendalam ketimbang membaca berita online yang riuh dan terpatah-patah. Selain itu, saya juga belajar beragumentasi dari Kompas halaman empat, kolom Opini. Ada satu dosen yang tulisannya kerap dimuat, saya penasaran pengin membacanya.
Kompas tak hanya sumber inspirasi,
tetapi juga guru demokrasi. Sindhunata, wartawan senior yang pernah bekerja di
Kompas, menyatakan dalam tulisannya di Kompas edisi 50 tahun. Salah satu alasan
Kompas bisa bertahan lama dan banyak peminat adalah karena Kompas menerapkan prinsip
moderasi dalam kegiatan jurnalistiknya. Fortier
in re, suaviter in modo. Teguh dan keras dalam perihalnya, lembut dan lunak
dalam caranya.
Di rubrik Udar Rasa di edisi
sama, Jean Couteau, menuliskan juga bahwa prinsip humanis-spiritual atas
segalanya membuat kompas nggak pernah goyah dan selalu mampu berdiri tegak.
Lengkapnya begini:
Wartawannya terpaksa pasrah mengalah. Baik di dalam tajuk maupun di dalam beritanya, mereka lebih menyiratkan dariapada menyatakan, mengimbau daripada menegaskan. Namun, bak setangkai bambu yang menunduk di hadapan badai, Kompas tidak pernah pecah dan selalu mampu kembali berdiri tegak.
Mengapa? Karena senantiasa setia pada segelintir prinsip yang dipegang teguh: humanis-spiritual atas segalanya: rasional, hati-hati terhadap retorika radikal apa pun tetapi teguh di dalam menuntut keadilan; bersemangat dalam kebinekaan dan terbuka terhadap perbedaan. Pendeknya, yakin bahwa kunci kebersamaan yang sukses terletak pada proses tawar-menawar antarkelompok sosial-ekonmi, religious, dan etnis yang disokong oleh landasan hukum yang kokoh. Pendeknya, Kompas selama 50 tahun adalah guru demokrasi.
Ah! Sebuah pelajaran untuk menjadi
manusia yang membumi.
Tidak ada komentar
Posting Komentar