16 Juni 2015

"Hidup Juga Butuh Misteri!"

Dua-tiga kawan mengajukan pertanyaan bertema sama pada saya, "Ram, kok lo sekarang anaknya Path banget?!", "Wuih, Kiram tiba-tiba jadi rame di timeline Path gini sekarang."

Intinya, temen-temen--terutama yang di kantor--pada heran. Saya yang nyaris nggak pernah ngoceh  di Path selama satu-dua tahun ke belakang, tiba-tiba giat beredar di timeline. Memang betul, tiap muncul kesan tertentu tentang suatu peristiwa, otak saya lalu merangkai kalimat untuk mengindahkan cerita yang akan saya unggah ke Path. Begitu pula tiap kali muncul ide atau gagasan kecil.

"Biasanya lo kalau ngupdate-ngupdate emang di mana, Ram?" tanya seorang teman.

"Di LINE. Haha!"

Ada teman yang kaget, ada juga yang balik menanggapi. "Oh iya sih, tiap gue buka LINE, pasti ada Kiram."

Kalian pegiat media sosial pasti tahu kalau timeline LINE itu sepi adanya. LINE lebih kerap digunakan sekadar untuk chatting yang lebih ekspresif, karena adanya stiker. Sementara untuk micro blogging, Path yang banyak digunakan.

Tapi perlu kalian tahu dulu,  intensitas update status saya di LINE pun sedikit. Pun belum lama ini saya mulai, sekitar satu-dua bulanan lah. Sebelumnya, setahun ke belakang,  saya hanya giat beredar di Instagram. Itu pun bukan mengutamakan bercerita tentang keseharian, melainkan untuk 'pamer' karya.

Intinya lagi, satu-dua bulan ini ada perubahan pada si saya: jadi merasa butuh untuk bercerita tentang kejadian dan gagasan keseharian.

Kenapa saya jadi butuh?

Sekarang ternyata saya lah yang bertanya-tanya. Ada apa dengan si saya?! Kebiasaan baru saya ini, setelah dirasa-rasa, mengagetkan juga. Semacam terjadi tanpa persetujuan penuh dari sekujur diri. Semacam terjadi begitu saja. Semacam sekadar, "kayaknya seru dan perlu nih. Yaudah deh, ah. Nggak ada salahnya juga?!"

Apah?! nggak ada salahnya dari mana?! Nggak bisa gitu. Menciptakan kebiasaan baru tanpa pertimbangan matang, apalagi tanpa tau alasan penyebabnya adalah sebuah kesalahan. 

Pernah saya menanggapi satu-dua pertanyaan heran dari teman saya itu. Saya jawab begini, "Gue pengin eksperimen. Pengin tau gimana rasanya jadi anak Path (baca: anak yang selalu bercerita tentang kesan dan pemikirannya secara singkat di momen awal ketika kesan dan atau pemikiran itu muncul)"

Sebenarnya itu adalah alasan kilat aja sih. Belum matang. Asal bunyi aja.

Lantas, apa dong alasan yang sebenarnya.

Mari kita urai. Siapa tau bisa sekalian mengurai alasan mengapa kita--bukan hanya saya--bermedia sosial.

Saya runut dari kebiasaan rutin update di LINE. Pada dasarnya saya senang bercerita. Namun, kerap kesulitan, banyak deh faktor yang bisa menghambatnya. Nah, ada satu masa di mana saya kekurangan penyimak, bahkan nggak punya. Tapi di saat itu kebutuhan untuk bercerita tetap mencuat, nggak pernah lepas.

Saya coba lah bersuara di LINE.  Pertama, karena LINE itu sepi, kalau pun ada yang aktif mantau, mereka bukan yang saya akrabi. Jadi pengaruh mereka kepada saya minim. Bisa saya hiraukan. Jadi saya senang ngoceh di timeline-nya. Saya bercerita tentang tugas kuliah dan proses pengerjaannya;  menuliskan ulasan film yang baru saya tonton, atau sekadar numpahin ide jokes atau susunan kata yang menurut saya keren.

Selain untuk mengekspresikan diri, kebiasaan saya ini saya lakukan untuk mengaktualisasi diri, nggak teruntuk publik luas sebenernya, cuma kepada dua-tiga significant others yang saya ketahui juga sering wara-wiri di timeline LINE. Kepada mereka (atau dia saja?), saya nggak bisa selalu bertukar pesan langsung di chat room. Ada sejumlah penghalangnya yang lebih baik nggak diceritain. (ciyee malah bikin penasaran). Tapi, bagaimanapun saya tetap ingin saya dan dia, dia, dia merasa terkait. Tahu kabar satu sama lain. Saya update status, utamanya, agar dia, dia, dia tahu apa yang sedang terjadi pada keseharian saya.

Entah karena kesambet apa, saya merasa tertantang untuk nyoba giat ngePath. Tanpa ba bi bu apalagi bo, mulailah saya ngePath. Nuansa kontennya nggak jauh beda sih kayak posting selama di LINE.

Di masa-masa awal kebiasaan ini cukup menyulitkan. Nge-post-nya sih gampang, tapi menjinakkan berbagai pikiran negatif yang muncul seusai nge-post itulah yang belum khatam saya kuasai ilmunya.

Media sosial satu ini nggak bisa jadi sederhana di kepala saya. Pertama, karena saya benar-benar menjadi quantified self. Diri yang selalu terhitung. Apalagi tingkat keterukuran terpaan tiap post  di Path sangat tinggi. Kita bisa tau siapa saja yang sudah mampir ke postingan kita itu. Dan dengan begitu jadi tahu pula siapa yang antusias, siapa yang abai. 

Celakanya, saya menjadi perhitungan. Tiap kali ingin mem-post sesuatu, saya menakar: kira-kira berapa atensi yang bisa saya dapat dan siapa saja yang akan menaruh atensi itu.

Sebutlah saya ini adalah seorang digital imigrant, bukan penduduk asli jagat digital, yang masih tergagap-gagap dengan budaya digital ini. Salah satu gejalanya ya itu tadi, nggak bisa menganggap santai tiap keterukuran atensi. Hingga pada satu titik, saya memutuskan untuk sangat mengurangi nge-Path entah itu update status atau pun mengamati status orang-orang. 

Untungnya, semesta nggak membiarkan saya salah karena kegagapan tersebut. Salah satunya adalah lewat Emte, ilustrator yang beberapa waktu saya wawancara. Dalam sebuah topik dalam obrolan kami, Emte berpendapat tentang gejala adiksi media sosial masyarakat sekarang. Apalagi ada kawannya yang rutin sekali menceritakan tiap update kehidupannya di media sosial. 

Menanggapi fenomena itu Emte berkata, "Hidup juga butuh misteri juga kali. Ada banyak cerita yang lebih enak kalau disampaikan ke temen secara langsung juga, kan." 

Nah! Menceritakan (baca: mengumbar) segala yang terjadi pada hidup itu tentu akan membuat banyak orang  (terlalu) tahu tentang hidup kita ini. Bukan nggak mungkin, kan, dengan begitu, kita   hidup dari penilaian-penilaian orang. 

Soal ini, saya jadi ingat pidato kebudayaannya bu Karlina Supelli (duh, ini adalah kali kesekian saya mengutipnya). Dia berkata, bahwa budaya digital ini membawa kita ke situasi yang paradoks, Citra dan realitas dalam budaya digital itu hadir silih-berganti. 

Kita dibiasakan untuk mencitrakan realitas, dan celakanya, kita lakukan dengan terpatah-patah. Belum utuh kita berada di suatu momen pada suatu realitas, kita sudah kebelet mencitrakannya ke panggung media sosial. 

Padahal, untuk tampil di panggung kan butuh kecakapan khusus. Lagi pula, emangnya rela yah kalau hidup terus di atas panggung, tanpa punya kesempatan turun ke luar panggung dan benar-benar menjadi diri kita apa adanya. Tanpa 'topeng'. Terus-terusan 'manggung' kan membuat kita  terus mengukur atensi penonton. Bukan nggak mungkin dengan begitu kita jadi terbiasa hidup berorientasi pada penilaian orang-orang yang kita anggap menonton panggung kehidupan kita. Parahnya, kita bakal terpenjara oleh penilaian-penilaian itu. 

Hidup memang penuh pentas. Tapi seenggaknya, bikinlah panggung pentas yang benar-benar pantas dipirsa orang banyak. Kalau nggak bisa, ya, lebih baik nggak usah. #nyinyir

Ada satu lagi gejala dari bermedia sosial: kita terlalu banyak tahu tentang orang-orang. Awalnya saya anggap itu adalah perlu. Saya perlu tahu apa yang terjadi pada teman-teman saya, biar berasa deket. Karena itulah saya juga mengusulkan Lodar, sohib saya, untuk turut aktif ngePath.  

"Bikin Path, Dar. Biar lebih banyak ketemu sama temen-temen. Udeeh, Instagramnya apus aja. Pindah ke Path."

Lodra nggak menjawabnya dengan penolakan. Namun, satu kalimat yang ia lontarkan justru menyadarkan saya untuk makin mantap mengurangi kebiasaan ngePath. 

"Ah, kalau ketemu terus, kapan gue kangennya!" jawab Lodar. entah sekenanya atau emang penuh makna.

Kesimpulannya, hidup emang perlu dimesterikan. Lagipula, bukankah kita selalu suka kejutan?! 

Tidak ada komentar

Posting Komentar

© blogrr
Maira Gall