24 Juni 2013

#6 Menceritakan Cita-Cita


“Dengerin nih, Ki, gue punya cita-cita. Gue pengin pergi ke Amerika.” 

Walau sudah terjadi setahun lalu, tepatnya April 2012, percakapan saya dengan Lodra, seorang kawan, itu masih saya ingat. Saat itu sudah cukup lama kami tak berjumpa. Kalau nggak salah ingat, itu adalah pertemuan pertama kami setelah Lodra lulus kuliah dan lanjut kerja jadi wartawan. 

Lodra punya cita-cita untuk hengkang ke Amerika. Kebetulan ia punya famili di sana. Nantinya, ia berencana melanjutkan sekolah dan menjajal pengalaman bekerja. Alasan kecil lainnya adalah Lodra pengin belajar bahasa Inggris. Dia yakin, satu-satunya cara agar kita bisa fasih lahir batin untuk berkomunikasi dengan bahasa internasional itu adalah dengan tinggal menetap di negara menggunakan bahasa tersebut. 

Saya menyimak dengan seksama “wasiat” Lodra tersebut. Bukan hanya tentang apa yang dicita-citakan Lodra, melainkan juga bagaimana ia menceritakannya.  Seperti biasa, Lodra bercerita dengan santai, topik pembicaraannya memang tinggi, tapi intonasi suaranya tenang. Ia berusaha untuk tetap merendah. 

Saya lupa, entah karena saya memintanya atau atas kesadarannya sendiri, Lodra pun menjelaskan kenapa ia memilih untuk menceritakan cita-citanya itu.

“Nyeritain cita-cita kita itu bikin kita ingat terus sama cita-cita kita itu. Selain itu, semakin banyak yang tau cita-cita kita, semakin banyak yang doain.” Kira-kira begitulah penjelasan Lodra. 

Selang berapa bulan sejak percakapan dengan Lodra itu, saya berkenalan dengan Fertina. Di obrolan panjang pertama kami, Fertina menanyakan apa cita-cita saya. Dengan cukup kewalahan saya menjawab. Hahaha. Ternyata, saking banyak maunya saya jadi bingung apa yang saya cita-citakan.  Bagaimana pun juga, akhirnya saya jawab pertanyaan Fertina itu. 

Agar obrolan lebih interaktif, saya balik bertanya. Pastinya, sebagaimana orang yang bertanya lainnya, Fertina sepertinya sudah menyiapkan jawaban. Dengan mantap dia menjawab, “Gue punya cita-cita yang pengin gue wujudin setelah gue lulus kuliah, sebelum mulai kerja.”

“Ya apa tuh cita-citanya?” 

“Cukup gue sama Tuhan yang tahu. Hahaha” 

Walau cukup gondok tapi saya menghargai jawabannya. Saya yakin, cita-cita itu adalah cita-cita yang besar untuknya. Dan mungkin terlalu besar untuk bisa diceritakan. Untungnya, obrolan panjang itu jadi bibit yang hingga kini selalu membuahkan obrolan-obrolan baru yang seru. Saya pun banyak mengulik Fertina, termasuk sikapnya terhadap cita-cita itu. Suatu kali, saya bertanya apa alasannya urung menceritakan cita-citanya. 

“Gue nggak pengin gue udah diceritain, tapi cita-cita gue itu malah nggak terwujud. Kalau udah cerita, dan gue gagal meraihnya bebannya makin terasa.” Bisa jadi, Fertina adalah penganut teori talk less do more. 

Baik pendapat Lodra ataupun Fertina sama-sama selalu saya ingat, selalu saya pikirkan dan selalu saya jadikan bahan pertimbangan untuk memilih sikap. Kedua pendapat itu berlawanan, tapi keduanya ada benarnya. Tak ada yang salah malah. Lodra menceritakan cita-citanya sebelum ia meraihnya, sementara Fertina akan menceritakan apa cita-citanya ketika ia sudah mencapainya. Alasan kedua pendapat itu sama, agar memotivasi diri mereka untuk giat mewujudkannya. 

Sudah sejak kecil, kita diajarkan untuk punya cita-cita. Tiap kali berjumpa dengan kerabatnya orangtua misalnya, tak jarang hal yang mereka tanyakan setelah nama adalah cita-cita. “Kalau sudah besar pengin jadi apa?” Orangtua kita pun selalu jadi perantara. Segala jenis nama profesi yang punya prospek baik dan bergengsi jadi pilihannya. Saya ingat, saat kecil, orangtua saya memilihkan jawaban ABRI  sebagai cita-cita saya. Saat itu, ya pasti saya nggak tahu persis apa itu ABRI, bagaimana pekerjaannya, dan apa keuntungannya. Yang jelas, punya cita-cita membuat saya merasa hebat, bikin saya mudah mengenalkan diri. “Saya adalah Rizki yang cita-citanya mau jadi ABRI.” Berbeda dengan (mungkin) Rizki yang lain. 

Cita-cita adalah harta karun yang kita buat sendiri, yang kita taruh bukan di langit, melainkan di dalam kehidupan kita sendiri. Sebagaimana harta karun, cita-cita akan membuat begitu berharga, layak untuk diperjuangan dan sayang untuk disiaka-siakan.  Saya menyimpulkan, bagaimanapun caranya, cita-cita memang perlu diceritakan, setidaknya kepada diri kita sendiri, agar kita selalu ingat dan selalu yakin kalau kita punya sesuatu yang sangat berharga dalam diri kita dan kita akan meraihnya. 

Minggu lalu saya bercakap-cakap lagi dengan Lodra, membicarakan lagi tentang cita-cita. Di sela-sela percakapan, saya berkata kepadanya, “jangan cerita-cerita dulu ke teman-teman ya, Dar. Biar gue aja yang cerita sendiri.” 

Dan kali ini cita-cita saya dan Lodra sama. Beberapa hari ke belakang kami bantu membantu mempelajari peta. Beberapa hari ke depan, kami, secara terpisah, akan melakukan perjalanan. Menyusuri dua ratus macam persoalan untuk mencapai cita-cita kami itu. 

Doakan 

17 Juni 2013

#5 Aneka Panik Yang Kemudian Memburam... Hilang




Saya suka sekali kedua lagu Polyester Embassy di album pertamanya ini. Bahkan walau saya nggak begitu mengerti maksud dari liriknya. Ada kerumitan dalam musiknya yang tenang. Ada teriakan dalam vokalnya yang lirih. 

Lagu ninabobok yang akan membuat kita merasa tidur walau mata terbuka. Lagu menye-menye skilfull yang memaklumi ketidakberdayaan, kekalutan, dan penyesalan. 

Ekstasi yang menuntun terbang menjelajahi rimba melankolia, membuat kegundahan malah menjadi adiksi. Ahhhhhh!




10 Juni 2013

#4 Transkrip Wawancara RU Images dan Yudhi Soerjoatmojo

Saya mengenal Yudhi Soerjoatmojo pertama kali yaitu saat mengerjakan skripsi, awal 2011 lalu, saya menemukan artikelnya tentang sejarah perkembangan fotografi di Indonesia dengan tajuk  The Challenge of Space: Photography in Indonesia 1841-1999. Tak disangka, tak lama setelah lulus, sekitar Oktober 2011, Yudhi yang konon sudah lama nggak muncul di dunia fotografi hadir sebagai pembicara di acara gelaran National Geographic. Saya pun menghadirinya. Kalau tak salah ingat, Yudhi berbicara tentang bagaimana fotografi bisa membawa perubahan.  

Menariknya, ternyata setelah sesi seminar selesai Yudhi diwawancara oleh RU Images, kemudian video wawancaranya diunggah di situsnya. Pewawancaranya adalah Rony Zakaria dan Okky Ardya. Saya suka wawancara itu. Pertanyaan dari pewancara begitu matang dan kontekstual. Omongan Yudhi terdengar santai tapi tegas. Bahan pembicaraannya juga banyak sekali, pertanyaan yang singkat pun dijawabnya dengan cerita panjang.  Bayangkan saja, wawancara 20 menititu  ketika saya ketik menjadi tulisan sepanjang tujuh halaman. Tak heran, Yudhi memang pelaku fotografi yang sudah sejak lama giat mengamati (secara kritis) fotografi di Indonesia. Karena saya suka dan butuh wawancara ini, maka saya pun terdorong untuk membuatkan transkripnya. Agar bisa lebih mudah dan lebih cermat disimak. 

Seluruh pernyataan Yudhi penting adanya. Ia berbicara tentang Galeri Fotografi Jurnalistik Antara yang dibangunnya, perkembangan foto jurnalistik, dan yang paling saya suka, tentang pencapaian yang sudah diraih fotografi Indonesia dan tentang apa yang dibutuhkan oleh ekosistem fotografi di sini. 

Transkrip yang saya buat di sini memang jauh dari sempurna. Ada sedikit bagian yang tidak saya catat dengan baik, bahkan ada yang saya tidak tahu. Tapi saya berusaha sebaik mungkin dalam membuatnya. Oia, demi memudahkan, saya melakukan penyesuaian dialog lisan menjadi dialog tulis. Kalau menemukan kejanggalan dan kesalahan, tolong kabari saya yah. 

Nah, sebelum kita baca tulisan ini, mari kita ucapkan terima kasih kepada tim RUImages yang sudah melakukan semua ini. 

Bersama Oscar Motuloh Anda terlibat menjadi tulang punggung Galeri Foto Jurnalistik Antara pada awal-awal pendiriannya pada tahun 90-an. Apa tantangan mengelola sebuah galeri foto di Indonesia saat itu?

Galeri foto jurnalistik Antara merupakan galeri jurnalistik pertama di Indonesia. Tantangannya banyak sekali. Pertama-tama adalah tidak adanya role model bagaimana galeri itu beroperasi dan berfungsi. Seluruhnya—konsep dll.—harus kita bangun dari nol. Selain itu juga bahwa galeri-galeri yang ada saat itu banyak sekali galeri yang bersifat komersial: menjual lukisan—umumnya sih lukisan yah, bahkan patung saat itu masih sangat sedikit sekali dijual: Patung, instalasi. Jadi kami tidak bisa beroperasi seperti mereka. Kami mandatnya adalah nonprofit jadi harus menciptakan cara untuk menciptakan audiens, menciptakan komunitas, menciptakan program. 

04 Juni 2013

#3 Kepada Sapardi

Kayu menjadi abu
Awan menjadi tiada
Semua karena kata yang tak sempat diucapkan dan isyarat yang tak sempat disampaikan. 
Begitukah cinta yang sederhana?


03 Juni 2013

#2 don't hIDE it


Saya punya anggapan, bahwa terkadang kemunculan ide itu bisa menjadi sebuah ancaman. Gagasan itu sampai saya buatkan tulisannya (link). Intinya, kalau kita punya banyak ide tapi nggak punya cukup daya untuk mewujudkannya maka rasanya itu sungguh nggak enak. Seperti diburu-buru orangtua untuk cepat lulus kuliah. Mengancam! 

Suatu saat, dalam sebuah obrolan sederhana dengan guru sekaligus kawan saya, Mas Hikmat Darmawan, gagasan itu saya sampaikan ke beliau secara spontan saat saya melihat folder di komputernya yang berisi ide-ide proyeknya yang sangat banyak itu.

"Gila mas. Banyak banget ide lo. Nggak merasa terancam emangnya? gue suka ngerasa gitu soalnya." 

02 Juni 2013

#1 Tampilan Blog Baru


Dua bulan lalu, tiba-tiba ada kawan yang menghubungi saya. Dia menawari pekerjaan copywriting untuk sebuah produk minuman ion yang sangat tersohor. Jenisnya advertorial untuk di majalah remaja. Tawaran honornya besar bukan main, apalagi kalau dibanding dengan honor menulis advertorial saat kerja di majalah. Tapi, sayang, setelah lewat beberapa proses seleksi, saya tersisih. Katanya, ada penulis yang portofolionya lebih jelas dan mumpuni. 

Saya cukup sedih. Bukan hanya karena tersisih, tetapi juga karena saya sudah punya niat untuk bikin blog yang bisa menampung portofolio tapi saya kerap menundanya. Dari fenomena yang mengandaskan pekerjaan lepas pertama saya sebagai freelancer itu saya pun makin memantapkan diri untuk melakukan modifikasi blog saya ini. Dan beginilah hasilnya…. Mari kita sambut… Blog terlalurisky dengan tampilan baru! Plok plok plok 
© blogrr
Maira Gall