Saat menuju bandara Kuala Namu, saya bertemu dengan pak Saleh di shuttle bus. Ia bukan Indonesia, melainkan asli asal Oman. Ia menyapa kami lebih dulu, bukan dengan perkanalan melainkan dengan obrolan. Ia bertanya apa yang saya kerjakan sehari-hari, saya ceritakan bahwa saya wartawan. Lalu saya balik bertanya tentangnya. Ia menjawab satu, saya balas lagi dengan pertanyaan. Saya suka dengan cerita-ceritanya. Di akhir pertemuan, kami baru saling bertukar nama. Saya yang mengajak lebih dulu. Maksud utamanya, biar ambisi yang tiba-tiba muncul itu jadi punya nama jelas: "Saya ingin menjadi penjelajah seperti pak Saleh."
Pak Saleh adalah pria paruh baya. Ia datang ke Medan atas nama liburan. Meski sudah berkeluarga dan mereka bisa dapat jatah terbang gratis dari maskapai penerbangan tempat pak Saleh kerja, ia memilih datang berlibur ke Indonesia sendiri. "Saya selalu menyempatkan liburan," tukasnya dalam Inggris, ketika kami di dalam bus,"setidaknya seminggu dalam setahun. Mengunjungi negara lain."
Ya, dia travelling sendirian, dan ia sudah terbiasa melakukannya. Ia lanjut bercerita sementara saya mengunci satu pertanyaan yang muncul di kepala. Ia bercerita tentang kunjungannya ke Bukit Lawang melihat orangutan, tentang kekecewaannya dengan masyarakat serta pemerintah yang kurang memaksimalkan potensi pariwisatanya; serta sebalnya ia dengan kultus backpacking yang menurutnya nggak menguntungkan industri pariwisata.
"Saya pernah ke Nepal. Di sana banyak backpacking. Mereka maunya gratis terus. Dan seharian lebih sering nyantai sambil mengisap marijuana," kenangnya saya sambut dengan ketawa.