Awalnya
paragraf pertama ini panjang. Tapi saya ringkas, terlalu heboh saya bercerita. Malu,
ketauan noraknya, saya kan anak kemaren sore pengagum karya dan pribadi dua orang rendah hati ini.. Hehe. Intinya, percakapan antara Sapardi dan Jokpin ini berkesan banget. Campur aduk rasanya. Mereka bikin
ketawa sekaligus terharu.
Awalnya
saya hanya mencatat potongan-potongan obrolan yang rasanya quotable, lumayan untuk caption
di Instagram. :p Tapi kemudian saya merekam keseluruhan percakapan. Alasannya,
biar kesan itu bisa dilipatgandakan dan dinikmati banyak orang.
Sesi
percakapan dimulai sekitar pukul 19.30 di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki. Saat itu adalah Jumat (6/05) Okky
Madasari mengawali, ia bercerita kalau sesi Rare Conversation ini adalah yang
paling laris dipesan. Sudah sejak dua minggu sebelumnya, tiket habis terpesan.
Banyak yang nggak kebagian. Itulah alasan yang menguatkan saya untuk menulis
transkrip ini. Pengin teman-teman bisa ikut merasakan keseruannya juga.
Total
percakapan yang terekam ialah sepanjang 1 jam 20 menit. Transkrip saya ketik
bersama Chrismastuti yang bersamanya saya menyaksikan sesi ini. Rencananya,
pengetikan kami bagi rata. Tapi Chris kelewat rajin, ia menggarap 60%-nya. Di
halaman Words, transkrip ini sepanjang 19 halaman. Sekitar 7.500 kata. Butuh kira-kira 30 menit
untuk membaca tuntas.
Sebenernya
di awal, Najwa Shihab, sang moderator, membuka sesi dengan puisi yang bagus,
tapi saya belum merekammnya. Begitu juga dengan pertanyaan pertama Najwa dan
jawaban pertama Sapardi, saya hanya menuliskan berdasarkan catatan saja.
O
ya, kalau ada kalimat yang janggal, atau data yang salah, kabari yah. Biar saya
langsung koreksi. Semoga menghibur, dan bermanfaat. :D
Najwa Sihab (N): Apa yang belum banyak publik tahu tentang
Pak Sapardi?
Sapardi
Djoko Damono (S): Saya ini hampir setiap hari ke mal. Saya ini anak mal
sebenernya. Eh, eyang mal. Dokter bilang kalau saya harus banyak jalan kaki.
Kalau jalan kaki di luar kan panas, enak di mal. Paling sering ke Pondok Indah
Mal, paling dekat dengan rumah.
(penonton
tertawa)
N: Kalau mas Jokpin?
Joko
Pinurbo (J): Saya ini suka kopi. Di nama saya pun ada “kopi”-nya. Joko Pinurbo. Kopinya pakai gula
sedikit saja.
N: Gula diet, atau gula biasa,
mas?
J: Gula biasa. Saya tidak
mengenal diet. Sudah kurus, diet, nanti mau jadi apa
N: Jadi itu, Jokpin jadi kopi?
J: Saya suka minum kopi,
terutama kopi yang diberikan teman-teman.
N: Kopi gratisan maksudnya?
J: Saya tidak punya kopi
favorit, karena tergantung teman memberinya kopi apa.
N: Mas Jokpin. Gambarkan dong. Deskripsikan kepada
kami, sosok yang ada di samping Anda.
J: Pak Sapardi yah. Sosoknya ada di sebelah kiri. Kiri ini
sangat sensitif sekali. Padahal saya pernah berbincang-bincang dengan almarhum
Romo Yudi Mangun Wijaya, tentang kata “kiri”. Perlu saya jelaskan. Beliau kan
merintis pendidikan eksperimental dengan untuk anak-anak SD. Salah satu yang
beliau tekankan dengan para guru yang mengajar anak-anak miskin itu harus
diajari untuk berpikir. Ngiwa, itu bahasa
Jawa. Artinya menyimpang dari jalan yang lazim. Kalau diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia secara bebas artinya belok kiri. Tapi kan kata kiri ini jadi
sangat sensitif. Padahal kalau kita di kanan terus sumpek kan, yah. Sekali-kali perlu menengok ke kiri supaya
kita lebih kreatif.
N: Karenanya Pak Sapardi ada di sebelah kiri?
... Jadi sambil mendeskripsikannya pun sudah bawa contekan
... Jadi sambil mendeskripsikannya pun sudah bawa contekan
(Najwa melihat Jokpin yang merogoh tasnya. Mengambil buku)
J: Saya mumpung ketemu pak Sapardi. Saya pertama kali
mengenal puisi Indonesia itu puisinya Sapardi. Dan buku puisi pertama yang saya
beli adalah buku puisi DukaMu Abadi.
Saya pengin menunjukkan buku puisi pak Sapardi versi perdana yang tidak banyak
dikenal orang. Ini versi masih seperti stensilan. DukaMu Abadi.
S: Itu dapetnya dari mana?
J: Nah ini mau saya ceritakan. Dan buku ini tak akan saya
berikan kepada siapapaun termasuk kalau Pak Sapardinya sendiri yang minta.
(penonton tertawa)
J: Sangat berharga. Suatu saat saya membantu almarhum
Dick Hartoko, majalah Basis, di mana pak Sapardi pernah lama jadi redakturnya.
Lalu suatu saat, di rak, (saya) melihat ada
buku versi stensilan ini.
N: Yang bikin tertarik itu?
Karena ini buku stensilan
J: Iya. Karena saya belum punya versi perdananya. Jadi untuk
semua yang hadir di sini, jangan melupakan karya perdana seorang penyair. Itu
penting
N: Umur berapa saat itu mas
Jokpin?
J: Umur 20-an. Jadi buku ini saya lihat di rak, lalu saya curi.
Bukan saya curi. Saya ambil. Lalu saya koleksi sampai sekarang. Karena ini buku
puisi yang mengantar saya sekarang duduk bersama pak Sapardi.
N: Bersejarah yah?
J: Bersejarah…
N: Oh udah toh mas? Oh itu titik yah. Kalau penyair titiknya
kadang suka nggak jelas.
(penonton tertawa)
N: Oke jadi saya ingat
pernah membaca cerpen mas Jokpin. Waktu itu ada cerpen di hari ulang tahun pak Sapardi yang ke-75. Sebotol Hujan untuk Sapardi. (klik ini untuk baca cerpennya) Sekarang
saya ingin tanyanya ke Pak Sapardi. Ketika membaca cerpen itu apa yang bapak
rasakan?
S: Saya belum pernah, atau tidak suka, merasa terharu membaca sastra. Tetapi ketika
membaca ini saya tuh tergeli. Sampai hati menulis seperti itu untuk saya. Itu
indah sekali. Bagi saya itu tulus. Tidak neko-neko. Mengucapkan selamat ulang
tahun seperti itu luar biasa, bagi saya…
(penonton tertawa karena mengira ucapan Pak Sapardi masih
berlanjut)
N: Pak Sapardi dideskripsikan seperti itu. Kalau bapak
gimana menggambarkan sosok yang di sebelah kanan bapak ini, baik karya maupun
persona, pak?
S: Joko Pinurbo itu kemenakan saya. Kemenakan saya banyak.
Saya Djoko Damono. Dia Joko Pinurbo. Ada lagi kemenakan saya di Serbia. Namanya
Jokovic. Kami sekeluarga sebenernya. Joko Joko Joko. Makanya nanti kalau punya
anak namakan Joko.
(Penonton tertawa)
N. Yaudah kalau gitu malam ini saya juga jadi Joko boleh ya,
Pak? NaJoko Shihab. Hehe.
Kalau karyanya, bapak melihatnya gimana?
S: Dia menulis lebih baik dari itu, coba lihat. (Pak Sapardi
mengambil buku Duka-Mu Abadi milik
Jokpin) Ini bukunya dicetak tahun ‘69, oleh seorang temen namanya Jeihan. Kami
tuh sejak SMA keluyuran sama-sama, sama-sama dhuafa pada waktu itu. Sampai
sekarang juga sebenernya.
Kami suka belajar sama-sama di tempat yang sepi, yaitu
kuburan Belanda. Di Solo tuh ada kuburan Belanda. Kami suka ke sana. Kami
berangan-angan. Aku mau jadi penyair. Yang satunya, “aku mau jadi pelukis”.
Kami berjanji, nanti siapa yang duluan kaya akan membantu
yang lain. Saya senang. Nggak mungkin penyair kaya, kan. Kalau misalnya
pelukisnya kaya, jelas. Dan ternyata benar, ketika dia sudah agak-agak kaya.
“ini saya punya buku, kamu terbitin deh.” Diterbitin beneran. Tahun berapa
itu.. Oh, ‘69.
Nah, pada waktu itu saya sudah janji. Saya mau hanya
berbicara di Taman Ismail Marzuki kalau saya punya buku. Tapi buku saya belum
terbit. Ketika saya naik panggung, di depan saya itu singa-singa semua, yang
pinter-pinter. Saya deg-degan. Saya kan anak kampung. Anak Solo. Buku saya kok
nggak ada.
Tiba-tiba muncul seseorang namanya Salimto Yuliman, almarhum,
seorang kritikus seni, dia membawa bundel buku, katanya ini dari Jeihan.
Untuk mas Sapardi dikasihkan.
Ketika itu saya kaget. Oh ternyata saya ditolong sama Jeihan, bener. Saya sekarang ceramah, dan buku saya dicetak sama dia. Ini
betul-betul buku yang berharga bagi saya, dan bagi pak, eh mas Joko Pinurbo.
Itu ceritanya seperti itu.
N: Itu buku pertama, sampai sekarang total ada berapa buku?
Apakah sudah tidak bisa terhitung?
S: Belasan lah. Tapi saya kira
yang paling baik itu.
N: Pak Sapardi, yang paling banyak diingat orang, dijadikan
lagu, dijadikan kalimat di undangan pernikahan, dijadikan kado atau cara merayu
orang, itu ada dua puisi. Aku Ingin dan
Hujan di Bulan Juni. Saya ingin tahu,
proses ketika menciptakan itu. Sekali jadi, atau diulang-ulang?
S: Cara merayu orang itu loh.
(Penonton tertawa)
N: Soalnya saya pernah dirayu dengan kalimat itu, Pak Sapardi.
Dan berhasil. agak menyesal sekarang.
S: Halah. Jangan percaya mulut Sapardi.
(penonton tertawa)
S: Jadi begini, memang dua sajak itu, antara lain, yang
istimewa itu sekali jadi. Nggak tau kenapa. Kemudian, pada waktu itu dimuat
pada sebuah koran, Suara Pembaruan atau apa gitu, tahun ‘69. Saya temukan di
Yogya, kebetulan waktu itu ujan-ujan. Di situ ada tiga sajak, Hujan bulan Juni, sama itu (Aku Ingin).
Andaikan sajak itu tidak dijadikan lagu, tidak dinyanyikan
Reda, orang tidak akan mengenal. Siapa yang akan membaca puisi kecil si sebuah
sudut Koran. Koran sore. Siapa yang baca? Tapi sekarang karena lagu itu, anda
sekalian mengenal saya. Jadi, bukan karena anda mengenal puisi saya dulu. Tapi
lagu itu dulu. Dan kebetulan, mereka itu adalah bekas-bekas mahasiswa saya.
Bukan bekas, tapi mahasiswa. Mereka mencuri sajak saya, saya nggak dikasih uang
apa-apa.
(Penonton tertawa)
N:
“Aku ingin mencintaimu
dengan sederhana:
dengan kata yang tak
sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu.
kayu kepada api yang menjadikannya abu.
aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang
tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.”
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.”
Seperti apa mencintai dengan sederhana, mas Jokpin? Saya
nanya ke mas Jokpin sekarang. Mencinta dengan sederhana itu seperti apa?
J: Itu puisi yang paling tidak sederhana. Jadi mencintai
dengan sederhana itu mencintai yang paling tidak sederhana. Paling sulit.
Sesuatu yang mustahil itu yang ditulis Pak Sapardi. Aku ingin mencintaimu
dengan sederhana, justru itu yang tidak sederhana. Susah orang mencintai apa
adanya.
N: Mas Jokpin kalau mencintai
orang seperti apa?
J: Ya itu, seperti kayu kepada
api yang menjadikannya tiada.
(Penonton tertawa)
N: Kalau begitu saya tanya ke penciptanya. Mencintaimu
dengan sederhana, adakah maksud lain ketika menuliskan itu, Pak Sapardi? Ada
banyak sekali interpretasi orang terhadap kalimat terkenal itu.
S: Ya tentu. Memang puisi itu hidup kalau interpretasinya
macem-macem. Kalau cuma satu ya sekali baca sudah habis. Jadi orang mikir-mikir:
sederhana, ada api, ada kayu. Kayu, dibakar api, toh. Ini kan percintaan bagi
saya. Kayu dan api itu bercinta. Sebelum sempat menyampaikan cintanya, sudah
jadi abu. Jadi nggak sampai.
N: Jadi ini tentang cinta tak
sampai?
(Penonton tertawa)
S: Lho, bukan. Cinta beneran
itu, cinta beneran.
(penonton tertawa)
N: Jadi ketika itu sekali jadi,
berapa lama prosesnya?
S: Satu hari? Ya berapa menit. 15 sampai 20 menit
barangkali. Waktu itu ditulis tangan.
(penonton tepuk tangan)
N: Hujan di Bulan Juni juga seperti itu, secepat itu?
S: Sama.
N: 15 menit saja?
N: Saya mau ke mas Jokpin. Yang menarik dari anda, mas
Jokpin, peristiwa sehari-hari itu bisa jadi puisi. Benda-benda sehari-hari:
celana, telepon genggam, tiang jemuran, kamar mandi, kuburan, sarung. Dari mana
sih celana itu datang ke otak mas Jokpin? Puisi, kok, celana, mas?
(Sapardi terlihat tertawa)
(penonton tertawa)
J: Ya saya juga membayangkan bagaimana Ari Reda bisa menyanyikan Di Bawah Kibaran Sarung, misalnya. Itu
sebetulnya, aduh itu ceritanya panjang. Kalau orang ingat, kan, saya baru
menerbitkan buku puisi celana itu tahun 1999. Usia saya saat itu 37 tahun.
Sudah sangat terlambat karena apa, karena saya sangat lama untuk mencari celana
saya yang hilang.
Kepenyairan saya tumbuh ketika saya harus berhaadapan dengan
penyair-penyair besar yang sudah mapan saat itu. Ada Sapardi, ada Goenawan
Mohamad, ada Sutardji, ada Rendra, Subagio Sastrowardoyo, saya berhadapan
dengan karya-karya yang begitu dahsyat, apa yang saya harus lakukan. Maka yang
saya lakukan saya harus belok kiri. Kalau saya jalan lurus mengikuti jalan
mereka saya tidak bisa sampai ke Taman Ismail Marzuki.
Nah, ternyata setelah saya belok kiri saya menemukan banyak
hal. Itu kejadian saya simpel. Saya hanya meneliti, membaca puisi dari Amir
Hamzah sampai Sapardi sampai Rendra, kira-kira yang belum mereka kerjakan apa.
Oh, ternyata nggak ada celana, tidak ada kamar mandi, tidak ada sarung. Nah,
ini modal saya. Jimat saya. Kira-kira begitu. Jadi saya hanya meneliti
kira-kira yang belum pernah dikerjakan penyair lainnya apa. Yaudah saya
kerjakan, yang dibilang sehari-hari itu tadi.
N: “Sajak Memo Celana
Kadang,
tengah malam, sambil mengigau kau ngeloyor
ke halaman belakang, ingin mencoba bagaimana rasanya
tergantung di tali jemuran, sendirian dan kehujanan.“
ke halaman belakang, ingin mencoba bagaimana rasanya
tergantung di tali jemuran, sendirian dan kehujanan.“
Joko Pinurbo. Sajak Memo Celana. Dan setelah itu ada banyak celana-celana yang
lain, mas Jokpin.
J: ya ada periode celana, kamar mandi, kemudian
juga ada periode tahi lalat. Pokoknya yang tampaknya nggak berharga gitu lah.
N: Sekarang periode apa?
J: Sekarang, periode bahasa Indonesia. Saya
sekarang sedang mengerjakan puisi-puisi yang menunjukkan keunikan bahasa
Indonesia. Saya bermain-main dengan kata-kata bahasa Indonesia. Oh, ternyata
bahasa Indonesia itu luar biasa. Jadi, saya ingin menunjukkan kalau bahasa
Indonesia menyimpan potensi yang menarik untuk digali oleh para penyair.
N: Bisa dibocorkan sedikit?
J: Ya nanti saya bacakan. Salah satu saya
bacakan.
N: Kita tunggu nanti
J: Kalau saya tidak lupa yah.
N: Tugas saya mala mini
mengingatkan.
(penonton tertawa)
N: pak Sapardi saya pernah membaca, jangan
pernah menulis saat keadaan emosi tidak stabil. Saya agak kaget, Karena saya
pikir kalau kita lagi patah hati, lagi jatuh cinta, lagi marah luar biasa,
bukannya tulisannya justru mengalir deras, ya, pak? Atau itu salah?
S: Wah itu salah sama sekali. Kalau kita marah,
ada yang tidak beres di dalam masyarakat, atau korupsi, atau segala macem,
kalau kita marah ya jangan nulis puisi. Banting gelas aja. Kalau udah lego,
baru nulis puisi. Kalau cinta sama orang juga gitu, nggak usah buru-buru. Kalau
udah selesai, kita tenang, kita punya jarak dengan apa yang ingin kita tulis,
kita menulis.
N: Jadi justru harus berjarak?
S: Oh iya. Namanya jarak estetika. Harus. Kalau
nggak cengeng. Lebih baik demo, kalau marah, daripada nulis puisi.
(penonton tertawa)
N: jadi pak Sapardi paling
sering menulis dalam keadaan apa?
S: Ya dalam keadaan kalau sudah tidak ada rasa
yang menggebu-gebu. Saya setenang-tenangnya dalam perasaan saya itu, dan
kemudian bisa melihat apa yang saya tulis itu dengan cara yang estetis, dengan
jarak yang terjangkau dengan saya. Dan saya mencoba untuk menyampaikan itu
secara sangat objektif, itulah sebabnya sajak saya itu gampang sekali dipahami.
Karena itu saya cuma gambar kok itu. Ada hujan bulan Juni, itu kan cuma gambar.
Kemudian Aku Ingin, itu kan ada
gambar, apa namanya, api melalap kayu. Perkara itu ditafsirkan gimana, ya itu
salahnya yang menafsirkan. Saya barusan menerima undangan kawin yang ada sajak
saya itu, yang Aku Ingin, yang pernah dianggap sebagai sajaknya Khalil Ghibran.
Ada teman di Yogya cerita begitu, ketika mengingatkan begitu, “Ini sajaknya mas
Sapardi, bukan sajaknya Khalil Gibran”. Apa jawabnya, “wong Indonesia kok bisa
bikin sajak seperti itu?!”
N: Underestimate
banget. Jadi bahkan sajak Aku Ingin disangka tulisan Khalil ghibran.
S: Iya dan ada sebuah buku yang mencantumkan
itu sebagai karya Khalil Gibran.
N: Tapi membuat geer nggak,
prof?
S: Nggak. Bagi saya itu lucu aja. Lucu banget
itu.
N: Jadi menulis harus berjarak. Jangan dalam
keadaan emosi berlebihan. Berarti inspirasi tidak perlu dicari?
S: Inspirasi kok dicari, kita tuh punya niat
nulis. Kebetulan ada kesempatan. Nah, apa yang menjadi bahan kita adalah
pengalaman kita sehari-hari, apa yang terjadi di kehidupan kita. Seperti yang
tadi Jokpin bilang, ada celana, ada sarung, ada kamar mandi. Tapi saya lebih
tertarik pada yang ada di dalam celananya itu. Bukan celananya, tapi yang di dalamnya. Ada kan sajaknyayang
begitu? Ada. Porno, dia porno memang.
N: Setuju, mas Jokpin? Anda
porno, mas?
(penonton tertawa)
J: Hmm. Iya. Saya ingat puisi itu tapi tidak
ingin membacakan puisi itu. Karena nanti pembaca lebih memperhatikan yang di
dalam celana itu.
N: Mas Jokpin, menulis
biasanya kapan?
J: Hmm. Pada dasarnya saya sembarang waktu.
Tapi seringnya tengah malam ke atas, sampai kira-kira jam tiga, itu waktu saya
untuk menulis.
N: Sampai jam tiga dini hari?
J: Iya.
N: Di kertas dengan pena,
mengetik dengan komputer?
J: Kalau dulu ya tulis tangan, sekarang ya
dengan komputer. Tulisan tangan saya semakin jelek sekarang. Karena tangan saya
jarang digunakan.
N: Berapa lama biasanya kalau tadi 15 menit
sajak pak Sapardi yang legendaris itu tercipta, kalau mas Jokpin berapa lama?
J: Biasanya sajak-sajak saya yang saya suka,
yang berhasil itu justru sajak yang saya tulis cepat. Sajak yang terlalu saya
persiapkan itu jadinya malah nggak keruan gitu, lho. Malah saya anggap kurang
kuat. Jadi pengalaman saya sajak-sajak yang suka yang saya anggap berhasil
adalah sajak yang saya tulis dalam waktu cepat. Saya ini kan musiman, dalam
satu bulan bisa menulis 12 puisi, lalu enam bulan saya tidak bisa menulis
apa-apa. Begitu, jadi saya tidak punya rutinitas menulis puisi, jadi misalnya
satu bulan menghasilkan rata-rata berapa, tidak. Saya menulis satu bulan enam, setelah
itu sudah, bisa satu tahun tidak menulis.
N: Susah tidak memanggil
musim menulis puisi itu?
J: Kalau saya musimnya tidak jelas, tidak
pernah menentukan. Saya tidak punya bulan favorit kapan menulis.
N: Bulan Juni seperti pak Sapardi?
J: Saya jarang sekali menulis puisi pada bulan
juni. Kan sudah ada Hujan Bulan Juni.
Tapi kalau diperhatikan, saya baru sadar belakangan, ternyata pada bulan-bulan
yang banyak ‘er’-nya itu. September, Oktober, November, Desember itu saya
banyak menulis puisi. Saya nggak tahu kenapa.
N: Tadi mas Jokpin mengatakan ‘puisi yang
dianggap berhasil’. Boleh tidak saya minta mas Jokpin membacakan puisi yang
berhasil di mata Jokpin.
Waduh, banyak sekali. Mana yang saya pilih yah.
N: Sangat rendah hati memang
mas Jokpin.
(penonton tertawa)
J: Ya apa yah, sekali-kali penyair membanggakan
dirinya lah. Karena kan tidak ada yang dibanggakan. Rezekinya tidak jelas.
N: Apa ini judulnya, mas
Penyair
J: Puisi ini pernah berkali-kali saya bacakan.
Tetapi akan saya bacakan lagi, karena puisi tentang bahasa Indonesia tadi.
Main-main saya dengan bahasa Indonesia. Boleh saya bacakan?
N: Silakan mas. Kita kasih
tepuk tangan dulu dong
J: Judulnya Kamus Kecil
Saya dibesarkan oleh bahasa Indonesia yang pintar
Dan
lucu walau kadang rumit dan membingungkan.
Yang
mengajari saya cara mengarang ilmu sehingga saya tahu sumber segala-gala kisah
adalah kasih.
Bahwa
ingin berawal dari angan
Bahwa
ibu tak pernah kehilangan iba
Bahwa
segala yang baik akan berbiak
Bahwa
orang ramah tidak mudah marah
Bahwa
untuk menjadi gagah kau harus menjadi gigih.
Bahwa seorang bintang harus tahan banting
Bahwa
orang lebih takut kepada hantu ketimbang kepada tuhan
Hantunya itu banyak di kiri
atau di kanan nggak jelas.
(Penonton tertawa)
Bahwa pemurung tidak pernah merasa gembira
Sedangkan
pemulung tidak pelnah merasa gembila
Bahwa
orang putus asa suka memanggil asu.
Bahwa
lidah memang pandai berdalih
Bahwa
kelewat paham bisa berakibat hampa
Bahwa
amin yang terbuat dari iman menjadikan kau merasa aman.
Bahasa
Indonesiaku yang gundah
Membawaku
ke sebuah paragraf yang merindukan bau tubuhnya.
Malam merangkai kita menjadi kalimat majemuk yang hangat
Di
mana kau induk kalimat, dan aku anak kalimat.
Ketika
induk kalimat bilang pulang,
Anak
kalimat paham bahwa pulang adalah masuk ke dalam palung
ruang
penuh raung, segala kenung tertidur di dalam kening.
Ketika
akhirnya matamu mati, kita sudah menjadi kalimat tunggal yang ingin tetap tinggal
dan berharap tak ada yang bakal tanggal .
Demikian bahasa Indonesia.
(Penonton tepuk tangan)
N: Pak Sapardi apa komentar
bapak atas puisi tadi, pak?
S: Saya sedang mikir-mikir nih. Jokpin ini kok
mendahului saya. loh. Bukan , artinya, tanpa mengatakan pun, sesungguhnya sajak
tadi menjelaskan bahwa puisi itu bunyi. Bahasa itu bunyi. Itu kan permainan
bunyi. Ini itu, ini itu. Dan menurut saya itu memang—yang saya sudah siapkan
dari rumah untuk menjelaskan ini—puisi iitu bunyi sebenernya. Kalau dalam
khasanah bahasa jawa pusi itu ditulis dalam bentuk tembang puisi itu harus
dinyanyikan. Dalam diri puisi itu sendiri itu ada bunyi. Jadi puisi yang belum
jalan bentuk bunyinya, itu tidak akan
disukai orang. Itu masalahnya.
Tadi dijelaskan, sebenernya Jokpin berteori
bahwa puisi itu adalah permainan bunyi. Titik. Perkara maksudnya apa terserah
pada kita semua. Mungkin Jokpin tidak memaksudkan sesuatu. Begini, begitu, tapi
karena bunyinya indah, puisi menghasilkan sesuatu yang mungkin di luar
pemikiran si penyairnya sendiri. Itu saya kira.
N: Bunyinya yang indah?
S: Ya.
(penonton tepuk tangan )
N: Penilaian itu tepat, mas
Jokpin?
J: Ya tentu saja jauh lebih tepat dibanding
yang saya bayangkan. Jadi ya memang sebetulkan saya ingin memberi pengertian,
atau persepsi bahwa puisi seperti itu. Saya bermain-main dengan kata. Saya
sendiri tidak paham kok maksud puisi ini apa. Saya tidak paham.
Saya juga sering menafsirkan puisi saya
sendiri. Jadi ketika saya menulis puisi Celana
18 tahun lalu, sekarang saya membacanya lagi, posisi saya sebagai pembaca. Saya
menafsir lagi puisi saya. “Wah kok bisa
gila kayak gitu yah” saya kadang-kadang begitu.
N: Dan berbeda 18 tahun lalu ketika dituliskan,
dengan sekarang ketika dibaca ulang?
J: Bisa berbeda maknanya. Bisa berbeda atau bisa menjadi berkembang
maknanya. Itu yang besok ingin saya sampaikan dalam acara Ibadah Puisi.
Bagaimana cara saya menafsirkan puisi saya sendiri. Sama seperti saya
menafsirkan puisinya pak Sapardi. Misalnya begini, buku puisi DukaMu Abadi ini sangat berkesan bagi
saya karena ini saya baca sejak remaja puisi-puisi ini kan ditulis tahun 67-68.
Ini saya mau member tafisr sedikit. Pak Sapardi nggak usah campur tangan yah.
(penonton tertawa)
N: Silakan mas.
J: Nah, ini buku puisi yang sangat liris tetapi saya punya
penghayatan sendiri. Puisi-puisi ini lahir persis setelah tragedi 65. Kalau
kita membaca puisi-puisi ini sama sekai tidak ada petunjuk peristiwa politik
yang terjadi. Tetapi saya bisa merasakan bahwa suasan yang dilukiskan dalam
DukaMu Abadi itu suasana setelah terjadi tragedi yang sangat besar. Tragedi
berdarah. Ada bau kematian. Ada suasana sunyi yang ngelangut stelah terjadi pergolakan
yang laur biasa. Baris pertama puisi DukaMu
Abadi aja begini: “Masih terdengar
sampai di sini, dukaMu abadi”
Nah yang belum pernah diungkap orang bahwa di
dalam puisi itu ada disebut-sebut kata Golgota, misalnya. Jadi saya mempunyai
tafsir bahwa tampaknya puisi ini ingin menunjukkan bagaimana tragedi penyalipan
Yesus itu terjadi secara masal pada tahun 65. Ini sangat terlukis di dalam
puisi-puisi ini menurut penghayatan saya.
Saya pernah membuat tafsir terhadap serangkaian
puisi pak Sapardi lewat cerita pendek saya, Laki-laki
Tanpa Celana, di sana saya menunjukkan melalui teks-teks pak Sapardi memang
ada tragedi ada trauma yang baunya bisa saya cium dari puisi-puisi beliau. Jadi
memang puisi-puisi ini ditulis pada suasana yang sangat kontemplatif ketika
sesesorang sudah mengambil jarak dari tragedi itu. Lalu tragedi sosial yang
terjadi sejarah itu akhirnya menjadi trauma psikologis yang sifatnya
individual. Jadi kalau say abaca ulang bau kengerian itu masih ada. Makanya
puisi ini jadi sangat menarik, karena tidak ditulis dengan nada yang
berkobar-kobar. Tetapi malah justru jadi lebih mencekam. Saya sangat ngeri
kalau membaca DukaMu Abadi
N: Sangat ngeri, mas?
J: Sangat ngeri.
N: Bacakan sedikit saja.
J: Oke saya bacakan.
N: enak yah bisa
nyuruh-nyuruh.
J: Ini masih ejaan lama, mbak Nana. Wah sangat
berkesan. Beruntunglah saya memiliki. Kapan-kapan mau saya lelang ini.
(penonton tertawa)
J: Jadi puisi pertama judulnya Prolog. Kita membayangkan sehabis
terjadi tragedi 65. Mungkin penyairnya tidak bermaksud begitu tetapi, ini
urusan saya sebagai pembaca.
(pak Sapardi menutup kuping)
J: “Masih terdengar
sampai di sini
DukaMu abadi
Malam pun sesaat
terhenti
Sewaktu diri pun
terduduk, terdiam
Di luar langit yang
membayang samar
Kueja setia
Semua pun yang sempat
tiba
Sehabis mengukuh
ladang kain dan bukit golgota
Sehabis menyekap
beribu kata
Di sini, di
rongga-rongga yang mengecil ini
Ku sapa dukamu juga
Yang dahulu yang
meniupkan jarak ruang dan waktu
Yang capai menyusun huruf dan tepat dan terbaca
Sepi manusia, jelaga”
Itu puisinya. Dengan
nada berkobar-kobar. Malah justru jadi lebih mencekam. Saya justru jadi sangat
ngeri ketika membaca duka mu abadi
N: sangat ngeri mas?
J: Ya.
N: kita tepuk tangan dong. Puisi Sapardi dibacakan oleh Joko
Pinurbo. Saya ingin tanya yang membuat, intrepretasi itu mendekati dengan apa
yang bapak pikirkan ketika menulis?
S: bukan mendekati, itu melompati. Itulah yang saya katakan
tadi. Sajak itu jauh lebih jauh dari apa yang diketahui oleh si penyair tentang
sajaknya sendiri. Kalau saya boleh menjelaskan ini, saya akan menjelaskan
dengan cara lain.
Tahun 67 dan 68, berarti umur saya 27 atau 28. Menurut teori
yang tidak saya percaya, jadi pada umur itulah orang untuk pertama kalinya
sadar bahwa dirinya akan mati. Ini pernah dikatakan oleh Sartre, dia mengatakan
pada tahun-tahun segitu orang mulai sadar, dia akan mati. Dan mungkin ini yang
saya tulis. Ini banyak tentang kematian segala macam itu. Saya dalam keadaan,
ada sajak saya yang betul-betul takut sekali, takut mati. Tapi hasilnya seperti
ini. bukan kemudian, saya membuat sajak yang menyebabkan anda nangis. Saya
mengambil jarak dari ketakutan mati itu. saya menulis sajak seperti ini. Itulah
sebabnya, mungkin ditafsirkan lain.
Dukamu itu “Mu”-nya
besar. Bagi saya, Tuhan kok berduka terus sampai sekarang melihat umat-Nya. Apa
nggak pernah jadi beres kita ini. kemudian ditambah ketakutan akan mati itu
tadi. Menurut saya penting sekali, itulah yang mendasari puisi saya. Beberapa
buku saya yang banyak dibicarakan mungkin yang ini. dan banyak sekali tafsir,
dihubungkan sana dihubungkan sini. Itu saya senang sekali. Puisi memang seperti
itu. tafsir Jokpin sangat saya hargai. Sajak yang pertama tadi. Saya
menganggap, ketika ini dikumpulkan saya merasa ada semacam benang merah antara
sajak dengan yang lain. Ada seorang kritikus, menganggap tiga sajak dijadikan
satu. Meskipun saya tulis secara terpisah.
N: Jadi betul-betul tergantung
intrepretasi siapa yang membacanya?
S: Iya betul.
N: Pak Sapardi tadi Jokpin sudah membacakan puisi yang
menurutnya berhasil. Saya ingin meminta bapak membacakan puisi yang bapak
anggap berhasil, karya bapak.
S: Kalau saya membaca puisi Aku Ingin semua orang hapal. Baca Hujan bulan Juni orang juga hapal. Jadi bosen. Nanti dinyanyikan
lagi. saya mau membacakan sesuatu yang pernah saya bacakan di sini. Saya tahu
saya akan dipaksa untuk membaca sajak. Sebenernya pekerjaan saya ini kan
menulis bukan membaca.
N: bukan dipaksa tapi diminta dengan hormat dan diiringi
tepuk tangan yang meriah.
S: Ini juga untuk menambah pengetahuan kita semua. Saya
bukan penyair cinta. Judulnya Tentang
Mahasiswa yang Mati 1996
Aku mencintainya sebab ia mati ketika ikut
rame-rame hari itu. Aku
tak mengenalnya,
hanya dari koran, tidak
begitu jelas memang,
kenapanya atau
bagaimananya (Bukankah semuanya
demikian juga?)
tetarpi rasanya cukup alasan
unutk mencitainya. Ia
bukan
mahasiswaku. Dalam
kelas mungkin saja
ia suka ngantuk, atau
selalu tampak sibuk mencatat,
atau diam saja kalau
ditanya,
atau sudah teralanjur
bodoh sebab ikut saja
setiap ucapan gurunya.
Atau malah terlalu suka
membaca sehingga semua
guru jadi asing baginya.
Dan tiba-tiba saja,
begitu saja, hari itu ia mati;
Begitu berita yang ada
di koran pagi ini—
Entah kenapa aku mencintainya
Karena itu. Aneh,
koran ternyata bisa juga
Membuat hubungan
antara yang hidup
Dan yang mati, yang
tak saling mengenal.
Siapa namanya, mungkin
disebut di koran,
Tapi aku tak ingat
lagi,
Dan mungkin juga tak
perlu peduli. Ia telah
Mati hari itu—dan ada
saja yang jadi ribut.
Di negeri orang mati,
munkin ia sempat
Merasa waswas akan
nasib kita
Yang telah meributkan
mahasiswa mati.
Terima kasih
N: Tentang Mahasiswa
yang Mati Tahun 1996. Jadi pas saat itu pak Harto masih berkuasa. Sempat ada
ramai-ramai ketika puisi itu muncul di koran?
S: Puisi ini saya baca di sini, di TIM. Kemudian wartawan KOMPAS, katanya tidak biasa. Dalam beritanya puisi ini
dikutip utuh. Seingat saya begitu. Kemudian saya kirim ke sebuah majalah di
Jogja, Basis. Kemudian saya ditanya editornya, “apa mas Sapardi berani menulis
puisi seperti ini?” Puisi ini ndak galak toh? Saya kan nggak marah. Nggak ada
tanda pentung. Saya cuma cerita saja saya mencintai mahasiswa yang mati karena
dibedil.
Sajak seperti ini, membutuhkan seperti yang saya sampaikan
tadi, jarak itu. kalau saya menggebu-gebu membaca koran itu bubrah semua. Nggak
jadi. Saya pernah membaca sajak yang satu buku isinya tanda seru semua.
Membacanya gimana? Masa teriak-teriak terus? Nggak mungkin kan saya teriak.
Tapi memang sajak semacam ini, karena ada jarak estetis itu
tadi itu dikerjakan lama. Tadi saya katakan ada beberapa sajak saya yang
ditulis beberapa menit. Ada sajak saya yang ditulis tiga tahun nggak jadi-jadi
dan sampai sekarang saya belum puas dan harus diperbaiki lagi.
N: sajak apa itu?
S: namanya Dongeng Marsinah.
Marsinah itu tahun ‘96 saya tulis baru selesai tahun ‘98. Lama sekali. Saya
koreksi terus. Karena itu terlibat emosi saya, sajak saya nggak karuan. Isinya
kemarahan mulu. dalam sajak kok orang marah. Dalam sajak nggak boleh orang
marah, dalam sajak nggak boleh orang bercinta, dalam sajak nggak boleh
macam-macam. Pokoknya dongeng saja. Seperti sajak Joko Pinurbo, mana aja sajak Joko
Pinurbo yang marah? Dia mengajak kita, hidup tuh santai aja kayak yang dia
utarakan. Nah itu saya kira hakikat puisi. Puisi tidak mengajak kita ke sana
kemari, ke kanan atau kiri, ya terserah mau lurus atau tidak. Apalagi di tempat
kita belum kiri boleh lurus.
N: Boleh langsung.
S: Nah kan kita bingung mau kiri atau langsung. Dalam salah
satu lagu dikatakan saya dikatakan lefthanded
bukan leftish. Meski di negara saya
di Depok sana, lefthanded pun
dilarang.
N: Karena itu menarik untuk bicara yang tengah terjadi di
negeri kita saat ini. Bicara soal korupsi, soal Pilkada, soal pemimpin,
penguasa Jakarta, atau yang mau jadi penguasa Jakarta. Hal-hal itu menarik
tidak dijadikan puisi, mas penyair?
J: Ya saya ini biasa menulis hal-hal yang remeh: celana,
kamar mandi,dsb. Jadi kalau tiba-tiba harus bicara soal pemimpin itu rasanya
berat. Saya masih menyimpan rasa penasaran soal pemimpin ya.
Saya punya pemimpin negara, namanya Joko, Joko widodo. dari
Solo, orangnya kurus. Saya punya pemimpin puisi, namanya juga Djoko, Djoko
Damono dari Solo, kurus juga. dari situ saja sudah terasa bagaimana semesta
mengatur ini. Masih ditambah lagi, saya memiliki diri saya sendiri, namanya Joko,
Joko Pinurbo. Kurus, berasal dari dekat-dekat Solo. Saya lalu teringat puisi
pak Sapardi, yang fana adalah waktu. Saya merasa yang
fana adalah Joko. Najwa abadi.
(penonton tertawa)
J: Kalau tentang Ahok saya ingat puisinya Wiji thukul. Wiji
Thukul kan puisi yang paling dihapal hampir semua aktivis adalah “hanya ada
satu kata, lawan!”. Kalau Ahok, hanya ada satu kata yang benar-benar menohok, Ahok!
N: pak Sapardi, situasi negeri
menarik untuk dijadikan karya?
S: selalu menarik. Tapi karena puisi pendek, dan saya nggak
bisa cerewet di situ. Saya nulis novel. Di novel saya, Trilogi Sukram, Anda
akan tahu saya protes keras terhadap segala macem. Pengarang telah mati itu
1998. Pengarang yang belum mati 1964. Ketiga, itu yang terjadi ketika
pemberontakan di Sumatera Barat, datuk maringih melawan belanda. Kemarahan saya
itu saya tuliskan di sana. Jangan percaya saya pokoknya dibaca saja. Nanti
pulang kan ada Gramedia bisa mampir. Baca bener-bener. Jadi cara saya marah itu
begini, pada buku ketiga itu, saya jadikan Datuk Maringgih itu pahlawannya.
Bagi saya dia pahlawan. Yang sontoloyonya itu, Syamsul Bahri itu gombal banget,
dia kan antek Belanda. Kenapa dia jadi pahlawan? Sedangkan Datuk Maringgih itu
dia keliling dari surau ke surau untuk ngumpulin orang islam karena tidak ingin
bayar pajak. Kenapa dianggap bajingan? Itu kan susah, nggak bisa dong. Saya
jadikan pahlawan di situ. Itu cara saya melawan. Bukan dengan marah, itu dongeng.
Jadi dalam cerita itu, Datuk Maringgih adalah pacarnya Siti Nurbaya. Sama
sekali berbeda. Itu cara saya menafsirkan politik di negeri saya ini.
N: Kalau yang dialami sekarang,
adakah penafsiran khusus ala Sapardi?
S: Saya sedang nulis dua novel. Tunggu sampai akhir tahun.
anda akan kaget. Saya nggak belok kiri, tidak belok lurus, tidak belok kanan.
Kan bebas toh? Berhenti ya boleh. Saya nggak mau berhenti. Saya mau
belok-belok. Sekarang ini khasanah sastra kita muncul macem-macam.
Yang perlu diperhatikan, kita bicara sastra dengan yang
dibicarakan Joko tadi. Sastra itu, puisi itu, ya kata-kata itu. Bukan apa yang
dikandung kata-kata itu. Sekarang yang dibicarakan itu apa yang dikandung
kata-kata itu. caranya nggak berukuran ya nggak apa-apa, tapi yang dikandung
seperti itu. itu yang bermasalah. Itu bukan sastra bagi saya. Itu masalah
besar. Karena sastra itu cara pengucapan, seni kata, yang memang berbeda dengan
yang lain. Maknanya beda-beda ya nggak apa-apa, cara itu yang penting.
N: mas Jokpin, penyair muda kita
hebat-hebat tidak?
J: woh hebat-hebat. Pada saat saya seusia mereka, saya belum
sehebat mereka. Dan ada cukup banyak. Ada Aan Mansur, Mario Lawi, Beni Satryo.
Itu menurut saya mereka lebih cepat mencapai tingkat kematangan berpuisi
dibandingkan saya dulu. Saya tidak tahu. Emang anak sekarang cerdas-cerdas dan
didukung berbagai fasilitas oleh media, terutama teknologi digital. Dulu kan
mau nerbitkan buku itu susahnya minta ampun. Masuk koran juga cuma koran tertentu.
Sekarang iklimnya sangat mendukung untuk mereka mengembangan puisi Indonesia
lebih besar lagi. Saya yakin masih banyak potensi yang masih bisa digali. Saya
kira itu. saya harus mengakui, banyak penyair muda yang karyanya menjanjikan.
Persoalannya satu. Para penyair generasi saya jumlahnya
ratusan. Tapi yang bertahan bisa dihitung dengan jari tangan. Jadi menurut saya
ada faktor lain yang menentukan seseorang bisa bertahan di dunia kepengarangan
yakni mentalitas dan etos kerja. Masalahnya situasi sekarang penuh godaan,
karena semua serba mudah, lalu bisa jadi budaya instan di dalam menulis itu bisa
merasuk ke penyair muda sekarang.
N: Waktu bilang penyair sekarang bagus-bagus, yang
membedakan puisi bagus dengan yang tidak bagus, apa?
J: Kalau saya sederhana. Saya percaya seperti yang
disampaikan pak Sapardi tadi. Sastra itu menyangkut cara seseorang
mengungkapkan tanggapan atau penghayatnya terhadap peristiwa atau persoalan
hidup. Dari segi itulah saya melihat sejumlah usaha kreatif untuk memperkaya
puisi Indonesia. Misalnya gini, Mario Lawi, dia banyak mengangkat narasi-narasi
yang selama ini terpendam. Kisah-kisah kitab suci kemudian diolah. Juga ada
penyair lain yang mengolah tema-tema yang belum banyak disentuh.
N: Lebih berani-berani ngambil
risiko?
J: Saya pikir begitu. Saya rasa sejak reformasi, Puisi saya
lahir setelah reformasi saya tidak
membayangkan jaman orde baru, orang bikin puisi yang isinya candaan puisi
seperti yang saya tulis. Saya nggak yakin kalau orba tidak runtuh saya bisa
nulis puisi celana. Itu kan banyak hal-hal dalam politik yang tidak boleh
dituliskan. Banyak puisi saya berisikan candaan politik hanya saya tuliskan
dengan gaya saya. Gaya orang Jogja: halus, slengean, plesetan gitu. Saya tidak
bisa menulis dengan gaya Rendra atau Wiji Thukul. Saya juga nggak bisa nulis
dengan gaya pak Sapardi yang begitu sublim karena kultur hidup saya berbeda.
N: pak Sapardi melihat karya
penyair muda kita, membesarkan hati anda?
S: Sangat membesarkan. Jadi begini, sewaktu saya remaja itu
saya hanya bisa membaca di koran. Dan tidak semua koran ada sastranya. Majalah
susah sekali, belum tentu kami mendapatkan itu. Dan sekarang yang muda-muda
dengan mudah mendapat puisi tidak hanya dari buku. Karena sekarang sastra bukan
hanya buku. Kalau kita masih mikir sastra adalah buku adalah keliru. Karena ada
benda ajaib, komputer atau apapun yang menyambungkan kita dengan internet. Itu
kita belajar. Anak-anak sekarang yang muda-muda itu kalau mau baca sajak
siapapun tinggal ngetik namanya langsung keluar. Jaman saya dulu nggak mungkin.
Saya dulu belajar dari Rendra. Kenapa Rendra? Karena Rendra, menurut saya,
waktu itu satu-satunya sajak yang bisa saya baca dengan bahasa yang sederhana.
Pada tahun 50-an puisi Indonesia itu puisi gelap. Susah sekali dipahami. Tapi
ketika Rendra nulis ternyata orang bisa nulis dengan bahasa seperti itu. dengan
cara demikian, pertanyaan anda meleset tapi saya yang memelesetkan. Anak muda
punya bahan yang luar biasa untukbelajar. Orang bisa nulis kalau membaca.
Sekarang bahan bacannya melimpah. Kalau saya baca karya seorang penyair saya
bisa tahu anak ini banyak baca atau nggak.
Membaca berarti terpengaruh. Di dalam sastra terpengaruh itu
harus. Bukan haram. Kita itu harus mencuri dari tempat lain. Dari penyair yang
dulu. Dari syair orang lain.
N: Prof, sekarang masih seperti itu?
S: Jelas. Mencuri ya jangan meminjam. Kalau pinjam harus
dikembalikan. Kalau mencuri jangan sampai ketauan.
N: Ada yang dicuri dari mas
jokpin?
S: Wah, dia yang nyuri dari saya kok.
N: Internet, kemajuan teknologi memungkinkan orang untuk
belajar dari berbagai sumber. Apa karena itu prof Sapardi Twitteran? Itu
twitter sendiri?
S: iya sendiri. Cuma nggak selalu ta’ jawab. Nggak apa-apa.
Kalau dijawab berarti itu dari saya. Saya pernah itu, apa namanya,
N: akunnya?
S: SapardiDD. Itu langsung. Sebelumnya saya ikut Facebook.
Banyak sekali. Tapi habis itu saya tinggal. Orang banyak kirim karya ke saya
terus saya koreksi. Saya ini nggak digaji kok disuruh koreksi. Dan kalau misal
saya kritik, marah. Yasudah. Tapi kalau Twitter kan sedikit.
N: Lebih in lagi snapchat sekarang prof
S: Nah itu lebih bagus lagi.
tapi saya belum ke sana.
N: Saya baru tau prof Sapardi
sangat melek gadget yaa
S: Saya nggak cuma melek gadget,
saya tuh seorang yang tau teknologi kelas tinggi. Buku-buku saya, saya
terbitkan sendiri saya jual sendiri cover-nya
buat sendiri, saya kirim ke percetakan sendiri, ke penerbitan sendiri, kalau
nggak percaya tanya Gramedia. Sampai sekarang. saya nggak punya asisten apapun.
Maka dari itu penerbitan saya nggak mati-mati lah wong nggak gaji orang, karena
saya gaji diri sendiri. Apapun yang saya tulis itu saya ajarkan di kelas, saya
paksa mahasiswa saya beli. Nah kembali itu.
(penonton tertawa)
N: Itu dia tips jadi penyair abadi. Hahaha. Kalau mas Jokpin, kenapa sudah jarang Twitteran
mas?
J: cita-cita saya dengan twitter
sudah tercapai ya sudah.
N: apa cita-citanya?
J: Gini, awal 2000-an, saya menulis puisi tentang telpon
genggam. Waktu itu baru demam hape. Waktu setelah reformasi. Waktu itu saya
sudah punya feeling, saya meramalkan bahwa kita akan memasuki era digital.
Ternyata benar yang diramalkan puisi saya waktu itu.
N: Sajak Telepon Genggam?
J: pak Sapardi tau itu, pernah diskusi itu di ui. Puisinya
nggak karuan itu, puisi eksperimental sekarang.
N: yang awalnya azan subuh berkumandang itu bukan?
J: iya ada itu.
N: saya bacakan yaa?
J: Silakan kalau mau dibacakan. Saya tidak tega
membacakannya.
(penonton tertawa)
N: Supaya ada bayangan. (Ini) Salah satu sajak favorit saya.
“Sajak Telepon Genggam,
Joko Pinurbo
Azan subuh berkumandang
Penuh hujan
Dia buka telepon
genggam
Tumben ayah kirim
pesan
Ibu sakit, kangen
berat
Nenek sudah tiga hari
hilang
Makam kakek belum
sempat dibersihkan
Sarung ayah dicuri
orang
Utang stabil
Pohon nangka di
samping rumah tumbang
Bisa pulang?
Bisa minta ijin
telepon genggam
Pesan berakhir
Musik telepon genggam menyanyikan The Beatles, Mother”
Favorit, mas Penyair. Itu bisa
membayangkan era digital?
J: iya. Kalau boleh menggunakan istilah, itu sastra
profetis. nggak percaya. Era sekarang
menjawab kegelisahan saya waktu itu. lalu saya buat twitter. Cita-cita saya
bikin puisi dari twitter. Saya mencoba nulis puisi pendek di twitter. Dirangkai
jadi buku. Dan sekarang belum punya kegelisahan lagi.
N: tercapai karena bukunya sudah terbit?
J: tercapai bukunya sudah terbit.
N: apa membuat Jokpin biasanya gelisah?
J: kan orang paling gelisah dengan dirinya sendiri. Kalau
saya gelisah dengan diri saya sendiri. Saya merasa, diri saya tidak jelas.
Rejekinya juga tidak jelas. Walaupun tidak jelas, setiap rejeki harus dirayakan
dengan kopi. Makanya saya suka kopi. Sebetulnya kegelisahan saya itu begini ada
satu soal yang membuat saya bertnya, kenapa semakin lama kita semakin sensitif?
Semakin mudah berprasangka dengan label-label ini. tadi saya mengatakan. Masa
negara sebesar ini dengan satu kata “kiri” ini bisa kalang kabut. Saya heran.
Itu yang menggelisahkan saya.
Kalau kita pelajari sejarah siapa yang mengisi makna kata
kiri ini. kata kiri ini sudah diberi konotasi tertentu sehingga orang takut
mengatakannya. Padahal kiri dan kanan adalah yang niscaya hidup sehari-hari.
Tetapi konotasi ini membuat hubungan negara dengan warganya menjadi kikuk jadi
nggak nyambung. Karena ada label-label yang diberi intrepretasi tertentu. Nah
sebetulnya itu yang sekarang menarik perhatian saya. Cuma saya nggak tau gimana
menuliskannya. Tapi ini kegelisahan saya, karena menyangkut hubungan negara dan
warganya itu.
Jadi kita itu ternyata bukan menguasai kata-kata tapi malah dipermainkan oleh kata-kata. Kata kiri aja kita nggak bisa menguasai tapi dipermainkan. Hanya satu kata kiri. Simple sekali. Kiri itu pun biasa. Masalahnya kan konotasinya itu neraka. Kanan surga. Kalau belok kiri itu jalan neraka. Kanan itu jalan surga. Kadang itu iblis itu muncul dari kanan yang disebut surga itu. nah ini permainan apa ya. Puisi saya itu tadi hanya contoh kata-kata bahasa indonesia itu bisa menimbulkan kegelisahan tertentu bahkan bisa buat orang kalang kabut. Saya tertarik dengan fenomena bagaimana orang terkuasai oleh konotasi yang ada di kata-kata.
Jadi kita itu ternyata bukan menguasai kata-kata tapi malah dipermainkan oleh kata-kata. Kata kiri aja kita nggak bisa menguasai tapi dipermainkan. Hanya satu kata kiri. Simple sekali. Kiri itu pun biasa. Masalahnya kan konotasinya itu neraka. Kanan surga. Kalau belok kiri itu jalan neraka. Kanan itu jalan surga. Kadang itu iblis itu muncul dari kanan yang disebut surga itu. nah ini permainan apa ya. Puisi saya itu tadi hanya contoh kata-kata bahasa indonesia itu bisa menimbulkan kegelisahan tertentu bahkan bisa buat orang kalang kabut. Saya tertarik dengan fenomena bagaimana orang terkuasai oleh konotasi yang ada di kata-kata.
N: apakah akan segera dituangkan tidak hanya dalam bentuk
sajak tapi ?
J: sebetulnya sudah. Saya kan pernah buat puisi judulnya Asu, yang dituliskan matanya kidal merah
kiri itu sudah. Cuma kan orang nggak memperhatikan puisi itu.
N: judulnya Asu?
J: iya. Puitis sekali itu.
N: Dari judulnya sendiri sudah tergambarkan.
J: Jadi saya sudah menulis itu.
N: Saya ingin tanya, buku favorit. Adakah buku favorit sampai
sekarang terus dibaca?
J: kalau saya salah satu memang DukaMu Abadi. Saya punya dua versi. Salah satunya versi Pustaka Jaya.
(Bukunya) sampai lecek. Saya beli sampai tiga kali. Sebelumnya hilang diambil
orang. Persisi yang saya tuliskan di cerpen saya Sebotol Hujan itu kejadian
betul. Itu buku puisi pertama dan saya belinya di jogja. Padahal saya sekolah
di magelang. Pas hari minggu saya ke jogja buat beli bukunya. Harganya masih
tertera itu. dulu 25 rupiah. Ini versi pustaka jaya. Harganya 200rupiah atau
500. Ini salah satu buku favorit bukan masalah bagus atau tidak. Menurut saya
paling menginspirasi. Yang paling membuka jalan kepengarangan saya ya dukamu
abadi. Ini ingin saya sampaikan mumpun masih bertemu.
N: ini baru pertama atau sudah sering muji pak Sapardi?
J: saya sering. Tapi pak Sapardi tidak tahu. Ini buku
pertama saya, sengaja saya bawa. Buku perdana dari penyair yang membuka..
N: yang membuka jalan anda jadi penyair, Kalau pak Sapardi?
S: saya tadi mau bilang, Joko Pinurbo aja membeli tidak buku saya. Tapi sampai sekarang saya tidak kaya. Satu orang baca tiga buku kalau ada ratusan orang baca tiga buku, tapi ternyata cuma dia itu yang baca buku saya.
(penonton tertawa)
N: semua orang di ruangan ini sepertinya punya buku Sapardi
S: tadi apa pertanyaannya? Tadi saya katakan, pertama kali saya baca puisi dengan baik itu puisi Rendra. Seperti yang sudah saya katakan, ada masa yang kami sebut itu sebagai puisi gelap. Karena puisi setelah Chairil Anwar itu. apa sebabnya? Karena yang nulis itu orang sunda, orang batak, orang Jawa nggak bisa berbahasa indonesia. Bahasa Indonesianya belepotan.
Ketika Rendra nulis, "ohh itu puisi". Waktu SMA saya beli buku Rendra judulnya Balada Orang-orang yang Tercinta, di samping itu saya membaca sebuah sajak drama bersajak karangan T.S Elliot kalau diterjemahkan jadi pembunuhan di Katedral. Sampai sekarang begitu saya baca lagi,"Sapardi itu nyuri dari T.S Elliot." Saya lihat itu sungguh luar biasa. Dia nulis beberapa buku yang luar biasa bagi saya itu yang membuat saya menganggap puisi itu tidak bisa saya tangkap sepenuhnya tapi bikin saya terus baca. Ini apa? Kira-kira saya bisa ndak nulis seperti itu sampai sekarang. saya yakin bahwa ada seorang teman kalau ingin jadi penyair jadilah seorang modernis. T.S Elliot itu mbahnya modernis Eropa waktu itu. dia menemukan cara-cara pengungkapan yang luar biasa. Skripsi saya yang pertama mengenai itu.
N: dan itu prof Sapardi terjemahkan juga?
S: iya.
N: buku favorit
S: ya.
N: baik.
S: nanti saya beri terjemahan saya kalau mau.
N: hampir mendekati ujung. Pak Sapardi sudah 50 tahun
berkarya. Jokpin kurang lebih 30 tahun. saya ingin tau sepanjang puluhan tahun
itu, apa momen paling spesial yang kalau diingat bikin senyum2 sendiri?
J: ya ketika buku puisi pertama celana terbit. Saya nggak
sengaja. Waktu itu saya sudah lama menyair tapi belum punya buku. Saya ragu
apakah akan terus menyair atau tidak. Pada suatu saat, ada penerbit kecil di
magelang minta saya ngumpulin puisi saya. Saya asal saja. Masih ketikan manual,
tidak saya atur, terserahlah mau diterbitkan seperti apa. Jadi dan banyak salah
cetaknya. Buku salah cetaknya itu urutan puisi nggak karuan, ternyata bawa
berkah. Jadi suatu saat pak Sapardi bilang buku saya menang. Buku salah cetak
bisa membawa saya menang. Ini yang membuat saya terkesan. Jadi buku puisi saya
celana yang beredar yang salah cetak. Jadi ada yang menerjemahkan itu bingung.
Karena ada "sebotol bir" tercetaknya "sebotol bibir". Sampai bingung. Karena banyak
salah cetak. Itu momen berkesan. Salah cetak bawa keberuntungan.
Setelah itu saya merasa okelah saya jadi penyair. Dari situ saya kembangkan menjadi sarung, kamar mandi. Kalau tidak menemukan celana saya nggak menemukan sarung, kamar mandi, atau asu. Penemuan celana ini yang paling luar biasa. Saya sendiri heran. Momennya sederhana saya harus menghadiri suatu acara saya beli celana. Semua longgar buat saya. Saya nggak dapet celana dapet puisinya.
Setelah itu saya merasa okelah saya jadi penyair. Dari situ saya kembangkan menjadi sarung, kamar mandi. Kalau tidak menemukan celana saya nggak menemukan sarung, kamar mandi, atau asu. Penemuan celana ini yang paling luar biasa. Saya sendiri heran. Momennya sederhana saya harus menghadiri suatu acara saya beli celana. Semua longgar buat saya. Saya nggak dapet celana dapet puisinya.
N: prof Sapardi, adakah momen yang paling diingat?
S: sudah saya ceritakan, ketika saya bicara di depan
orang-orang itu, tiba-tiba muncul utusan teman saya dari bandung dengan buku
saya. Itu sangat berkesan bagi saya. Itu pertama kali buku saya diterbitkan
dengan cara sederhana. Disusul buku-buku saya lainnya dengan cara sederhana
lainnya, mata pisau, akuarium. Itu hanya 27-28 halaman. Itu ada salah cetak.
Itu kemudian mengawali hidup sebagai penyair. Dan yang lainnya, setelah itu menggelinding
semuanya gampang saja.
N: pertanyaan terakhir, ketika puisi begitu menggetarkan
hati mengajarkan orang cinta mencintai, apakah dalam kehidupan sehari-hari
skill membuat puisi yang menghanyutkan itu juga berguna?
J: skill terasah
dalam proses. Salah satu cara mengasah skill ya menulis terus.
N: jadi banyak puisi cinta, surat cinta, tweet cinta dari Jokpin?
J: kayaknya saya kurang bakat di cinta itu. jadi hampir
tidak ada puisi cinta saya dikenang orang. Tampaknya saya tidak berbakat untuk
menulis puisi cinta. Sangat susah. Saya juga tidak berbakat menulis puisi
sosial yang menggebrak. Bakat saya rupanya merawat hal-hal yang sederhana, yang
remeh. Supaya mendapat makna baru.
N: pak Sapardi, skill
itu berguna?
S: amat sangat berguna. Kalau kita percaya puisi itu adalah
kesenian, seni kata. Tugas kita adalah untuk mengembangkan skill dalam artian
yang sangat dalam. Artinya kemampuan sebaik2ya untuk menciptakan bahasa yang
baru. Itu yang saya sampaikan tahun 69 ketika buku ini diterbitkan. Saya ingat sekali
di halaman pertama atau kedua kompas, Sapardi ini aneh penyair dipaksa untuk
mencintai bahasa. Kalau penyair tidak mencintai bahasa mencintai apa lagi? jadi
bagi saya skill itu harus terus menerus ditingkatkan.
Bahasa itu cepat sekali berkembang. Penyair harus menghadapi semua itu. gimana dia mengolah itu semua tidak jadi cengeng, marah tapi jadi kebahagiaan. Itu memerlukan ketahanan yang luar biasa. Mengembangkan bahasa itu tugas penyair. Tidak ada negara runtuh karena penyair. Nggak ada korupsi habis karena penyair. Kalau ada jasa penyair karena dia menciptakan bahasa yang baru. Tidak ada lagi.
Yang dituntut dari penyair adalah bagaimana dia menciptakan bahasa baru yang segara dan setiap harinya disampaikan itu berantakan jadi klise. Dalam puisi kata itu harus ditata ulang, ditambah lagi semakin lama semakin modern. Puisi chairil anwar dibanding kemenakan saya ini sama sekali berbeda. Nggak mugkin chairil anwar nulis ada burung dalam celana. Dengan demikian penyair itu ditulis dengan bahasa yang hidup. Bukan bahasa buku. Itu kembali ke jaman dulu. Beredarnya sangat cepat tidak hanya di masyarakat, tapi di internetitu menantang anda memasak itu semua. Itu yang dihadapi oleh penyair2 muda sekarang.nah sekarang kesempatan ini besar sekali. Tantangannya juga besar.
Bahasa itu cepat sekali berkembang. Penyair harus menghadapi semua itu. gimana dia mengolah itu semua tidak jadi cengeng, marah tapi jadi kebahagiaan. Itu memerlukan ketahanan yang luar biasa. Mengembangkan bahasa itu tugas penyair. Tidak ada negara runtuh karena penyair. Nggak ada korupsi habis karena penyair. Kalau ada jasa penyair karena dia menciptakan bahasa yang baru. Tidak ada lagi.
Yang dituntut dari penyair adalah bagaimana dia menciptakan bahasa baru yang segara dan setiap harinya disampaikan itu berantakan jadi klise. Dalam puisi kata itu harus ditata ulang, ditambah lagi semakin lama semakin modern. Puisi chairil anwar dibanding kemenakan saya ini sama sekali berbeda. Nggak mugkin chairil anwar nulis ada burung dalam celana. Dengan demikian penyair itu ditulis dengan bahasa yang hidup. Bukan bahasa buku. Itu kembali ke jaman dulu. Beredarnya sangat cepat tidak hanya di masyarakat, tapi di internetitu menantang anda memasak itu semua. Itu yang dihadapi oleh penyair2 muda sekarang.nah sekarang kesempatan ini besar sekali. Tantangannya juga besar.
J: apa yang dikatakan pak Sapardi apa yang saya lakukan.
N:
Ada penyair yang
masyur karena hujan,
ada penyair kondang
karena jemuran.
Hujan dan tiang
jemuran sama-sama penting.
Keduanya bertaut
dengan urusan yang lumayan intim.
Jika hujan membasahkan
maka jemuran mengeringkan.
Tak ada yang lebih
arif dari tiang jemuran
dibiarkannya celana
sendiri dan kesepian.
“Apa yang kamu lakukan
ke saya itu jahat,” kata celana kepada jemuran
“Aku hanya ingin
mengeringkanmu dengan sederhana,” balas jemuran kepada celana.
Celana dan jemuran
kemudian tertawa sampai perut bergetar
sambil melihat mas
penyair cuap-cuap dengan bapak penyiar.
“Mereka tadi bicara
tentang apa,” tanya celana.
“Sepertinya tentang
kesusastraan,” jawab jemuran.
Celana berkata betapa
mulianya mereka berdua.
Tapi jemuran mencibir
apa pentingnya hari
gini membaca syair.
Keduanya diam beberapa
saat.
Seperti manusia yang
mendadak ingat urusan tenggat.
Kemudian hembusan
angin dari utara Jakarta,
mengabarkan
kejadian-kejadian yang luar biasa.
Jemuran tiba-tiba
bertanya, “lebih mendesak mana urusan reklamasi atau bicara soal puisi?”
Celana terdiam dalam
senyap yang liat berbagai tanya tiba-tiba mendekat.
Sambil berjalan ke
kamar mandi, jemuran nyeletuk soal hakikat puisi yang bisa bicara tentang hujan
di bulan Juni hingga hidup buruh di tanggal 1 Mei
Sebab puisi dapat
menampung segala sesuatu.
Dari yang syahdu dan
sarat sendu,
tentang persoalan yang
dianggap perlu
sambil meninju
diktator berkepala batu.
Celana dan jemuran
kembali riang dan gembira
lalu pergi bersama ke
pasar santa
untuk memborong
buku-buku sastra.
---
revisi:
* Tadinya tertulis Salimto Yuliman, tapi ternyata yang benar adalah Sanento Yuliman. (info dari Ahadi Bintang M Said)
* bahasa Jawa yang diucap Jokpin yang Artinya menyimpang dari jalan yang lazim adalah ngiwa. Tadinya saya tidak menuliskannya. (info dari Kurniadi Widodo)
*sebelumnya saya menulis Dihartoko, tapi ternyata yang benar adalah Dick Hartoko (info dari Robertus Roni Setiawan)
*sebelumnya saya tak lengkap menuliskan judul puisi Rendra, ternyata judulnya adalah Balada Orang-orang yang Tercinta (info dari Robertus Roni Setiawan)
*sebelumnya saya menulis Satre, tapi yang benar adalah Sartre (info dari Deasy Elsara)
* sebelumnya saya menulis Jehan, tapi nama yang benar adalah Jeihan (info dari Tampan Destyawan)
*sebelumnya saya menulis Dihartoko, tapi ternyata yang benar adalah Dick Hartoko (info dari Robertus Roni Setiawan)
*sebelumnya saya tak lengkap menuliskan judul puisi Rendra, ternyata judulnya adalah Balada Orang-orang yang Tercinta (info dari Robertus Roni Setiawan)
*sebelumnya saya menulis Satre, tapi yang benar adalah Sartre (info dari Deasy Elsara)
* sebelumnya saya menulis Jehan, tapi nama yang benar adalah Jeihan (info dari Tampan Destyawan)
7 komentar
Kritikus seni yang dimaksud Pak Sapardi waktu di TIM itu (alm) Sanento Yuliman. Bukan Salimto Yuliman
terimakasih kakak rizki
Dihartoko --> Dick Hartoko.
Salimto Yuliman --> Sanento Yuliman.
Balada orang-orang ter---- --> Balada orang-orang tercinta
Puisi di akhir tulisanmu yang dibaca Najwa itu karyanya siapa? Lucu.
terimakasih untuk ketelatenannya mencatat, sedikit koreksi. Itu namanya SANENTO YULIMAN (y ATAU j lupa).
Trims infonya.
Terima kasih banyak atas transkripnya. Saya menyesal karena telat tahu info acara ini. Tapi terobati setelah membaca transkripnya :)
Romo YB Mangun Wijaya, bukan romo yudi atau yadi-kah tadi? hihihi :)
Posting Komentar