14 Agustus 2016

Memilih Warna Topi Saat Menulis


"Tugas jurnalis adalah menafsir fakta," kata St Kartono, pengamat media cum guru cum ahli bahasa Indonesia, di pelatihan jurnalistik dasar dari kantor yang saya ikuti minggu lalu.

Sebenarnya, bukan jurnalis saja yang menafsir fakta, melainkan seluruh kreator (kita juga bisa menganggap bahwa semua manusia adalah kreator. Senggaknya kreator pemikiran mereka sendiri).  Segala yang dialami kreator dalam realitasnya diracik dalam pikirannya lalu dituangkan menjadi sebuah karya yang dikonsumsi orang banyak.  Bukan begitu?

Namun, jurnalis dan fakta itu sudah seperti presiden dan negara. Memang itulah alasan mereka ada.  Jurnalis hadir di sebuah tempat, mengumpulkan fakta, lalu membeberkannya lewat tulisan.

Proses pembeberan fakta menjadi tulisan itu adalah proses tafsir.

Nyatanya, menafsirkan fakta itu butuh keahlian khusus. Butuh wawasan yang luas dan kreativitas. Itulah mengapa menulis jadi menantang (untuk nggak menyebut susah dan menyeramkan). Miskin wawasan bikin tulisan nggak bergizi, miskin ide bikin tulisan kita hambar ya mentok-mentok cuma jadi kayak transkrip wawancara atau catatan kronologis suatu peristiwa saja.

Lalu bagaimana cara agar kita bisa mengembangkan ide tulisan?

Mas "Rio" Junior Respati menawarkan jawabannya di kelas Pengembangan Gagasan kemarin. Hal pertama yang bisa kita lakukan adalah dengan memetakan pikiran (mindmapping). Jabarkan poin-poin penting dan khas dari data yang kita dapat. Dari situ ide-ide akan muncul.

"Tapi ide yang pertama muncul itu harus kita buang. Karena pasti ide itu terlalu umum. Nggak menarik," tegas mas Rio.

Misalnya, ketika ingin menulis hasil wawancara sebuah band punk religius, ide yang pertama muncul adalah menuliskan kontradiksinya profil band tersebut. Percayalah, ide pertamamu itu pasti muncul juga di pikiran penulis-penulis di media lain yang mewawancara band tersebut.

Kiat kedua adalah dengan adu gagasan (brainstorming). Itulah mengapa rapat redaksi, atau senggaknya rapat dengan teman satu desk perlu. Untuk adu gagasan. Bukan cari gagasan mana yang dimenangkan, melainkan untuk memperkaya sudut pandang, sehingga bisa menemukan ide terbaik untuk mengemas tulisan.

"Adu gagasan bukan untuk menguji ide, tetapi mengembangkannya," kata mantan redaktur pelaksana majalah HAI itu. Ya, jadi jangan bawa ide yang masih mentah (belum kuat datanya) ke arena adu gagasan, ya kak. We need voice, not noise. 

Selain itu, ada cara lain yang bisa membantu kita mengarahkan ide tulisan, yaitu dengan memilih warna topi dari teori Six Thinking Hat gagasan Edward de Bono, seorang psikolog dari Malta. Sebenernya, teori ini dikhususkan untuk mengarahkan proses pengambilan keputusan dan penentuan sikap dalam suatu kelompok. Namun, menurut mas Rio, teori ini cocok untuk mengarahkan proses berpikir kreatif dalam menulis. Saya sepakat.

Ada enam warna topi yang bisa kita pakai. Masing-masing memengaruhi yang ingin kita tuangkan dari kepala kita ke sudut pandang tertentu.

White hat. Dengan bertopi putih, yang ada di kepala kita adalah fakta bersih. Tulisan yang kita hasilkan berisi kumpulan data dan informasi saja. Lempeng alias straight. Pertanyaan yang kita jawab adalah: informasi apa yang kita punya, informasi apa yang belum utuh, dan informasi apa yang sebaiknya kita punya.

Yellow hat. Saat memakai topi ini, pikiran kita secerah kuning. Kita mengeksplor hal positif dari subyek atau obyek yang kita kaji. Ketika menulis artikel profil misalnya, dengan bertopi kuning, kita akan menceritakan kehebatan dan sisi baiknya saja. Tanpa kritik apalagi cela.  "Segala sesuatu pasti ada hikmahnya" begitulah slogan topi pikiran ini.

Black hat. Kita akan membuat tulisan kritik. Kita mengamati fenomena dengan picik. Skeptis mencari kesalahan. Namun, seluruh kritik itu berdasarkan data dan logika yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam kampanye, black campaign, toh, dipersilakan. Mengungkap fakta negatif bisa membantu khalayak untuk menentukan sikap kan?  Kritik alias nyinyir itu gampang dan menyenangkan (guilty pleasure, isn't it?). Karena itu perlu diperhatikan, terlalu banyak menggunakan topi ini bikin kreativitas kita juga takut sama kenyinyiran itu.

Blue hat. Pikiran kita menjadi langit yang bisa melihat banyak pikiran-pikiran lain. Ya, dengan blue hat kita merangkum opini-opini dan data-data dari sumber-sumber lain. Lalu merumuskannya menjadi satu tulisan utuh. Saya menduga, blue hat dipakai tepat dipakai ketika kita menulis artikel dari hasil kurasi artikel-artikel lainnya.

Green hat. Data-data yang kita kumpulkan kita racik dalam pikiran. Lalu di tulisan, kita mengusulkan sebuah ide baru. "Dengan green hat, kita beropini dan menawarkan ide baru," kata mas Rio. Kreativitas sangat berperan di teknik ini.

Red hat. Kita menumpahkan perasaan dan emosi pada tulisan. Marah-marah, sebal, sedih, overexcited, atau merasa nihil, bisa disampaikan. Bukankah terkadang kita perlu membuka perasaan kita seada-adanya? Dengan topi merah, kita tak perlu meminta maaf untuk mencurahkan perasaan.

Topi mana yang perlu kita pakai? Menurut saya, sih, semuanya bisa dipakai, dan perlu kita coba pakai satu per satu.

Kesimpulannya, menulis--menafsirkan fakta--itu tak cuma butuh data dan ide saja ternyata, tetapi juga tujuan. Semoga kiat-kiat di atas bisa membantu kita menulis sampai selesai. Nggak buntu bahkan sebelum memulai.
















Tidak ada komentar

Posting Komentar

© blogrr
Maira Gall