10 Agustus 2015

Memilih Jembatan "Menulis"


Ada yang suka nonton film serial Chibi Maruko Chan? Saya adalah penyuka barunya. Baru satu episode saya menonton, langsung dibuat naksir berat sama cerita Maruko dan dunianya. Apalagi, episode pertamanya itu bercerita tentang penulisan. Seolah semesta mengingatkan saya dengan cara yang paling imutnya, agar saya rajin menulis lagi. Haha!

Ceritanya begini: Maruko dan teman-teman sekelasnya dapat tugas membuat tulisan bertema keluarga. Pak Guru menjelaskan bahwa tulisan tugas itu nantinya akan diseleksi untuk diikutsertakan ke lomba tingkat propinsi selain dapat kesempatan tulisan dimuat di majalah sekolah. 

Maruko senang sekali dengan pengumuman tersebut. Di antara teman-teman sekelasnya, Maruko terlihat jadi satu-satunya siswa yang sumringah banget. 

Tapi kemudian ia merasa minder. Ia sadar, keluarganya yang sederhana itu nggak punya cerita yang bisa jadi  menggugah kalau dituliskan. Beda dengan teman-temannya yang bersama keluarganya bisa sering liburan atau dihadiahi mainan kesukaan di hari ulang tahunnya. 

Maruko tak patah arang. Di rumah, Maruko mengamat-amati tingkah laku tiap anggota keluarganya dan memancing orang tua serta kakeknya untuk mengajaknya jalan-jalan, agar mendapat bahan tulisan. Tentu, tetap tak banyak hal fantastis yang ia tangkap.

Guna mempercantik tulisan, ibu Maruko bahkan sempat menganjurkan Maruko untuk mengarang saja. Membuat seolah mereka adalah keluarga kaya yang sering liburan dan sering makan masakan Eropa. 

Maruko kebingungan. Persis seperti Sponges Bob saat dapat tugas menulis dari Mrs Puff, Maruko kesulitan menorehkan kata-kata walau ia sudah menghabiskan banyak waktu.



Menjelang tenggat waktu pengumpulan, akhirnya Maruko membuat keputusan. Ia melepaskan obsesi memukau kawan-kawannya bahkan hingga tulisannya bisa terpilih sampai tingkat provinsi. Maruko benar-benar menuliskan apa yang ia ingin tulis. Si polos Maruko nggak mau membohongi dirinya sendiri. Ia menulis segala hal yang berkesan dari keluarganya, apa  adanya: kebiasaaan si ayah kentut, kakeknya yang pelit, ibunya yang selalu pura-pura diet, dsb. 

Tentu ia menulisaknnya dengan gaya bahasanya sendiri yang lugu. 

Hasilnya, tuilsan Maruko dipilih jadi cerita plaing mengesankan sekelas. Hadiahnya, ia dibuat senang karena majalah sekolah memuat ceritanya itu. 

Setelahnya, Maruko punya tekad baru, ia ingin menulis tentang keluarganya sendiri. 



Seperti yang sudah dibilang di awal tulisan, cerita Maruko ini mengingatkan saya untuk rajin menulis lagi. Menulis untuk diri sendiri. Menyimak Maruko, terasa betul bahwa menulis itu bikin jadi senang: lega karena bisa menyalurkan uneg-uneg yang ada di kepala, serta seru sendiri ketika bisa menyimak cerita tentang kehidupan sendiri. 

Banyak bloger yang meminta maaf pada blognya karena terlalu lama mengabaikan. Nggak pernah memposting apapun. "Maaf ya, blog, udah lama saya nggak mampir ngurusin kamu." Sebuah permintaan maaf yang sebenernya ditujukan untuk diri sendiri, karena ada kebutuhan yang sebenarnya penting, tapi nggak dipenuhi, seringnya, karena kalah prioritas dengan kegiatan lain. 

Yang jadi pertanyaan, kenapa menulis itu, bagi sebagian orang adalah perlu dan menyenangkan? 

Pengalaman hidup kita, manusia, nggak pernah nggak meninggalkan jejak: berupa data, makna, gagasan, memori, rasa, dsb. Seperti teko, pikiran kita diisi beragam cairan oleh pengalaman hidup. Teko tentu punya kapasitas. Jika isi didalamnya nggak dituang, maka pemiliknya tak punya kuasa untuk mengolah cairan-cairan di dalamnya karena terlanjur membludak dan nggak karuan wujud campurannya. Kita punya kebutuhan untuk mengolah pikiran lalu mengeluarkannya. Meminjam istilah Dee Lestari, dalam suatu posting blognya, pikiran kita ini, selain perlu diolah dan dituang, juga perlu dijembatani hingga menjadi kata-kata. Pokoknya, kita perlu berkomunikasi. 

Sebelum era aksara, jembatan yang dipakai hanyalah komunikasi tutur. Konsekeunsinya, pikiran-pikiran manusia yang kemudian di komunikasikan selalu bersifat temporer. Sekali ucap dan didengar, maka tak bisa diulang. Pun, untuk bisa berkomunikasi dengan sesama, dibutuhkan kehadiran dalam satu ruang yang jaraknya bisa dicapai oleh gelombang suara.(1) 

Setelah ribuan tahun berada di era lisan, akhirnya mengalami era aksara, yang memicu berkembangnya 'jembatan' baru dalam berkomunikasi, yaitu menulis. Penemuan sistem penulisan membuat manusia sadar bahwa manusia bisa berkomunikasi—mengeluarkan gagasan dan ekspresi—kepada satu atau banyak orang tanpa merasakan kehadiran orang(-orang) tersebut.

Mengutip van Eymereeen(2), dengan menulis, kekuatan dan keunikan individu bisa lebih dihargai. Manusia berkomunikasi dalam kesendirian. Tanpa tatap muka. Ketika menulis, Maruko hanya sendirian di kamar. Walau ia sadar bahwa cerita yang ia tulis itu akan disimak banyak orang, tapi ia tak merasakan langsung kehadiran mereka saat menjembatani pikirannya kepada kata-kata. Maruko punya kuasa penuh untuk mendefinisikan sepadat mungkin pengalaman atau gagasan yang ingin dituliskannya, pun dengan gaya tulisannya sendiri. 

Atas alasan itu pulakah banyak yang menjadikan menulis sebagai caranya untuk berkomunikasi dengan diri sendiri: dengan rajin menulis catatan harian atau diari atau jurnal? 

Bisa jadi, iya! Sebagian orang punya kebutuhan lebih untuk berkomunikasi dengan dirinya sendiri, menyelami cairan yang dalam 'teko'nya, merasa-rasainya dan mengolahnya. Menulis jurnal harian agaknya sangat membantu proses tersebut. Setidaknya itu yang saya dapat dari membaca artikel canggih buatan Maria Popova ini. 

"Journaling, I believe, is a practice that teaches us better than any other the elusive art of solitude — how to be present with our own selves, bear witness to our experience, and fully inhabit our inner live"

Dalam artikel tersebut, Maria Popova mengutip gagasan para penulis dunia yang terbiasa membuat catatan harian. Salah dua yang berkesan bagi saya adalah kutipan dari Anaïs Nin, yang menurut Maria adalah diarist paling rajin sedunia. Ia mendokumentasikan cerita hidupnya dalam tulisan sejak umur 11 hingga 74 tahun.


Baginya menulis catatan harian itu penting karena membuat tulisan kita menjadi natural dan spontan. Hal itu terjadi karena menulis diari itu membebaskan kita sepenuhnya. Kita bisa menulis apapun yang kita mau, apapun yang kita rasa pada suatu momen: sensasi yang tak bisa didapat ketika penulisan formal.

"Improvisation, free association, obedience to mood, impulse, bought forth countless images, portraits, descriptions, impressionistic sketches, symphonic experiments, from which I could dip at any time for material."

Kedirian kita dalam menulis diari pun menjadi hal yang paling digugu oleh Susan Sontag. Memiliki kebiasaan menulis diari itu sama seperti memiliki tangan kanan yang tuli dan polos. Dalam bahasa lain, bercerita pada diari itu sama seperti bercerita pada bayi. Kita tahu kalau lawan bicara kita itu 'hidup' tapi kita terbebas dari respon balik darinya. Bahkan Susan Sontag menyebut bahwa dengan menulis diari adalah prosesnya membentuk dirinya sendiri.

'The journal is a vehicle for my sense of selfhood. It represents me as emotionally and spiritually independent. Therefore (alas) it does not simply record my actual, daily life but rather — in many cases — offers an alternative to it."

Beberapa bulan ini, saya merasa terkatung-katung. Saya gemar menyelam dalam cairan di teko saya sebenarnya. Tapi, belakangan, saya ngambang. Bengong dalam penyelaman, tidak mencari, apalagi mengolah. Wujud cairan yang akhirnya keluar dari corong teko pun kerap nggak karuan dan tak sesuai yang direncanakan matang. Tiba-tiba ingin itu, ingin ini. Tiba-tiba merasa begini, merasa begitu.

Karena itu, sekarang ini saya mau mencoba menyelamatkan diri dengan memaksakan diri rutin menulis bercerita. Merapihkan teko pikiran saya sampai saya; menjembatani pikiran menjadi kata-kata sehingga bisa disajikan dan berwujud; melatih kembali fokus yang belakangan sangat temporer; mengapresiasi cerita dan pengalaman seru yang saya temui; dan seperti yang dibilang Sontag, membentuk (ulang) diri saya ini.

Semoga  Harus berhasil.


-Hari Pertama 30 Hari Bercerita-


.....

Referensi:
(1)  Understanding The Media, Marshall McLuhan.
(2)  Media Komunikasi dan Dampaknya Terhadap Kebudayaan - Margawai van Eymeereen,

Tidak ada komentar

Posting Komentar

© blogrr
Maira Gall