06 Juli 2018

"Ayat-ayat Cinta, Mah, Lewaat..."

Namanya Ulama A Manan. Ia mengaku sering menjadi guru ngaji dan menolak untuk dibayar. Ngajar ngaji atau dakwah, katanya, harus berdasarkan keikhlasan, sama seperti yang dilakukan Nabi Muhammad. Kalau pun ada yang ngasih imbalan, ia menganggap sebagai hadiah. Adalah salah besar kalau mematok nilai hadiah imbalan tersebut, kata pak Ulama.

Ia punya penghasilan dari berdagang dan jadi sopir ojek. Saya tadi jadi penumpangnya dan karena itu jadi kenalan dengannya, lalu lanjut mendengar kisah hidupnya semenjak ia tahu bahwa saya wartawan.

"Mas suka nulis?" kata bapak yang suka twitteran karena suka politik itu.

"Saya suka baca novel, Pak," saya menjawab.

"Saya punya cerita menarik. Bisa mas jadikan novel kalau mau."

Kalian pasti pernah menumpang ojek yang hobi bercerita. Tanpa perlu dipancing, ia akan mencari celah untuk melancarkan hobinya. Pak Ulama salah satunya

Sepanjang jalan ia nyerocos. Walau saya males menanggapi, saya dengerin betul ceritanya. Di tengah-tengah cerita saya malah menguatkan ingatan demi bisa menuliskan lagi ceritanya itu. Kira-kira begini ceritanya:

"Cerita saya ini tentang cinta seja... eh, bukan cinta. Hmm. Apa, yah? Ya, sebutlah janji. Janji sejati. Jadi gini. Kalau semua orang kan ketika menikah itu mementingkan bibit bebet dan bobotnya, yah? Saya nggak. Sejak pertama kali tahu anjuran itu di kelas 4 SD, saya malah bertekad untuk melakukan sebaliknya. Saya berjanji ke diri saya sendiri untuk menikahi wanita yang justru, hmm, apa yah enaknya disebutnya. Ya, sebutlah perempuan yang rusak, yang bengkok.

"Kenapa begitu, karena kalau nyari yang sesuai bibit, bebet, bobotnya, nggak ada tantangan. Pun, saya mau jadi orang yang berguna. Bawa manfaat untuk orang lain. Dan alhamdulillah cita-cita saya itu terwujud.

"Saya nggak pernah pacaran ya dari kecil. Pengennya langsung nikah. Dan bener saja, saya akhirnya menikah perempuan yang 'rusak'. Saya bertekad untuk meluruskannya. Saya punya anak.
Tapi, setelah lama menikah, akhirnya saya baru merasakan jatuh cinta saat ketemu dengan cewek yang bernama Dewi. Dia cantik. Datang dari luar kota. Saya jatuh cinta ke dia. Kalau ke istri saya ini, ya saya sayang saja. Tidak cinta. Sejak kecil saya tidak pernah jatuh cinta kecuali ke si Dewi ini.

"Cerita saya ini, Mas, film Ayat-ayat Cinta, mah, lewat. Bener, deh.

"Saya lalu ngajak nikah si Dewi ini. Saya sudah bilang juga ke istri, dan dia udah ngebolehin. Tapi Dewinya yang ternyata nggak mau dimadu. Dia mau menikah sama saya tapi sebagai istri satu-satunya.

"Sementara saya, nggak mau menceraikan istri saya. Saya sudah berjanji untuk setia.

"Tapi kemudian, saya tetap kontak-kontak sama Dewi. Saya bahkan yang mencarikan dia suami. Saya jodohkan. Saya ini selain jadi ustad, juga sering menjodohkan orang-orang. Banyak yang sudah menikah. Saya juga suka bantu suami-istri yang mau cerai, mas.

"O ya, mas, istri saya ini dulunya juga pernah hampir selingkuh. Dua kali. Saya suruh dia milih. Mau sama cowok itu atau sama saya, dia milih sama saya. Yaudah, saya tetep setia.

"Dewi, sekarang sedang hamil. Dan tiap kali ngidam yang dia hubungi bukan suaminya, melainkan saya. Saya nggak apa-apa. Nggak sakit hati juga. Cinta, kan, nggak mesti memiliki.

"Ya mungkin sekarang saya nggak bisa sama Dewi, tapi nanti di akhirat pasti bisa bersama. Iya nggak mas?

Gimana mas, cocok kan untuk ditulis jadi buku? Saya nggak apa-apa kalau mas mau nulisin. Di aplikasi itu ada nomor saya, kalau mas mau nelpon ngajak cerita-cerita lagi."

Saya menyimak ceritanya itu dan menanggapinya sesekali. Saking asiknya ia bercerita, saya sampai menegur: "Pak, sekarang fokus jalan dulu yah. Jadi pelan banget ini jalannya."

"Oh, iya mas."

Ngeeeeeng. 

Tidak ada komentar

Posting Komentar

© blogrr
Maira Gall