17 Juli 2013

Bertemu Ali Topan di Blok M, Akhirnya


Tiap kali mengunjungi toko buku loak di mana pun dan kapan pun, satu judul yang selalu tanyakan  keberadaannya adalah buku Ali Topan karangan Teguh Esha. Pelacakan sudah saya lakukan sejak lama. Sejak saya rampung membaca dua novelnya saat SMA--delapan tahun lalu-- saya selalu berharap suatu kali ingin memiliki bukunya (walau sekarang ini juga sebenarnya saya punya versi PDFnya Hehehe). Saat itu buku yang saya baca adalah milik kawan, Kindi namanya. Hingga akhirnya, Sabtu kemarin, ketika menemani pacar ke tempat buku-buku bekas di lantai dasar Blok M Square saya bertemu Ali Topan. 

Saya tak percaya ketika si Abang penjaja mengiyakan pertanyaan. "Ali Topan? ada. Tunggu sebentar yah barangnya nggak di sini," ujar si Abang enteng. Pikir saya, ah paling dia salah mengerti dan buku yang akan diambilnya itu bukan Ali Topan. Maklum, tiap kali saya datang ke toko buku loak, para penjajanya selalu hanya bisa mengira-ngira keberadaannya. "Oh, itu mah adanya di toko ini, De", "Sebentarnya kayaknya saya pernah punya" dan jawaban-jawaban lainnya yang intinya mah dia nggak punya. 

Selang beberapa menit si Abang kembali ke kiosnya, dan menyerahkan sebuah buku berukuran kantong berbalut plastik yang warna kertasnya terlihat sudah kian mencokelat. Itu benar-benar buku Ali Topan. Ada sosok cowok berrambut gondrong, mengenakan jaket jins dan celana cutbray sedang berdiri nyender, gulungan koran diselipkan di celananya. Itu adalah Ali Topan. Judul yang tertera adalah Ali Topan Detektip Partikelir. Setahu saya judul itu adalah novelnya yang versi awal. Dua judul yang saya baca saat SMA sudah berjudul Ali Topan Anak Jalanan dan Ali Topan Wartawan Jalanan. Nah, si Ali Topan Detektip Partikelir adalah versi terdahulunya dari Ali Topan Wartawan Jalanan. 

Bagian backcover buku juga sangat menarik. Sepertinya tulisan yang tertera adalah potongan cerita dari isi buku. Yang menarik hati saya adalah penggunaan bahasa prokem di situ. Begitu khas novel Ali Topan. 

Tapi sial, harga yang ditawarkan si Abang cukup tinggi. Rp 150.000, tak sebanding dengan kesiapan uang saya saat itu. Jadilah saya batal membawanya pulang. Hasrat memiliki harus dikekang sementara dan terpaksa dipuaskan hanya dengan memfotonya dan mencatat nomor kontak si Abang, biar kalau tiba-tiba saya ada rezeki bisa saya beli itu buku. Lucunya, si Abang enggan membiarkan saya memfoto buku tersebut. Tiap kali saya siaga dengan kamera hape, dia terlihat sigap lalu mengambil buku itu dari tangan saya. Untungnya, saya tetap sempat memotretnya. 

Ada Apa Dengan Ali Topan? 

Ada beberapa alasan kenapa saya suka novel Ali Topan. Pertama, ceritanya sangat dengan kehidupan saya, apalagi karena saya pertama kali membacanya saat SMA. Tokoh Ali Topan juga adalah seorang remaja SMA. Dia sekolah di SMA di Bulungan yang sekarang jadi SMA 6. Di buku pertamanya, banyak di ceritakan tentang pergulatan batinnya sebagai pemilik jiwa bebas dan pemberontak yang memiliki keluarga bermasalah. Kisah percintaan Ali Topan dengan Anna Karerina juga terhalang karena dirinya yang dicap berandal oleh keluarga Anna. Namun, dibalik jiwa pemberontaknya itu Ali Topan juga memancarkan karisma tersendiri. Mengenai hal ini ada satu potongan kalimat dari Ali Topan Wartawan Jalanan yang cocok untuk mendeskripsikan sosok Ali Topan
Anak muda kali ini punya keistimewaan, fisik maupun pembawaanya. Gayanya urakan, tapi daya tarik pribadi yang terpancar dari sepasang mata magnetis dan kata-kata tangkas-tegas yang mengalir dari mulut berbibir acuh tak acuh itu sangat mempesona. Akan banyak gadis remaja dan wanita setengah tua yang akan jatuh hati dan mabuk kepayang kepada anak muda KONTEMPORER ini.
"Bicaranya polos, tongkronganya mantep,pakaianya serampangan, tapi tak mengurangi ketampanan wajahnya."ujar sekretaris yang diam-diam berharap anak itu sering datang ke kantornya.
Sedikit banyak karakter Ali Topan yang dituliskan di situ saya sadur untuk dijadikan konsep diri. Haha. 

Nah, yang paling saya suka dari Ali Topan adalah penggambaran situasi pergaulan anak muda di Jakarta era 80an yang begitu detil diceritakan. Ali Topan banyak bergaul di kisaran Jakarta Selatan. Bahkan sejak ia lulus SMA ia memilih keluar dari rumah dan tinggal di GOR Bulungan. Bagi saya, novel ini sekaligus mengakrabkan saya dengan bahasa-bahasa slang yang ada di Jakarta, seperti bahasa prokem dan bahasa walikan (bahasa terbalik). Tokoh-tokoh di dalam novel sering banget menggunakan bahasa-bahasa tersebut. Bahkan di bagian belakang buku, dilampirkan juga kamus bahasa prokem. Kita jadi bisa tahu asal-usul terciptanya serta rumus pembuatan bahasanya. Tak berlebihan rasanya kalau novel Ali Topan disebut sebagai novel penanda zaman. 

Gaya penulisan Teguh Esha di novel ini juga saya suka. Hal yang sama saya rasakan ketika membaca Tetralogi Buru-nya Pramoedya. Pemilihan kata serta susunan kalimatnya sangat khas. Coba saja amati kutipan di atas. Pasti kalian juga akan setuju. 

Yaaaah, entah deh di kemudian hari akan ada kesempatan lagi atau nggak untuk saya berjumpa lagi dengan Ali Topan di toko buku. Tapi, saya punya sedikit kabar baik. Kindi yang memang dekat dengan keluarga si pengarang Ali Topan, beberapa bulan lalu bercerita. Katanya, Teguh Esha punya rencana untuk menerbitkan ulang novelnya. Yeah, semoga lancar jaya loh jinawi seluruh prosesnya. haha. 

... 

info tambahan. sebenarnya di tahun 2008 lalu Teguh Esha mengeluarkan lagi novel Ali Topan, judulnya Alexandra dan Ali Topan. Alexandra yang dimaksud di sana adalah Alexandra si pembalap gokart wanita yang ternama itu. Saya membacanya, tapi entah gimana sensasinya tak sama dengan dua novel pendahulunya. Lebih terasa seperti novel pesanan. 


1 komentar

bisotisme.com mengatakan...

mahal aja 150rebu, tapi kolektible sih gan

Posting Komentar

© blogrr
Maira Gall