17 Januari 2013

Hari ke-15: Risky in Randomland


Selasa 15 Januari 2013 Hujan menularkan secara deras salah satu sifat utamanya ke Jakarta dan pastinya, hidup saya: penuh ketakterdugaan. Sulit disangka-sangka. Sudah sejak dini harinya, diri jadi begitu tak menentu. Awalnya saya senang hujan turun, karena udara sejuknya bisa ngelonin saya tidur nyenyak. Tapi, paginya, hujan justru melabrak saya. Mengharuskan saya bangun jauh lebih awal dan berangkat jam enam pagi, menggunakan mobil agar bisa bareng dengan kakak, adik dan ibu saya. 

Seperti yang bisa ditebak, hujan di Jakarta itu tak pernah sespesial yang dituliskan para penyair. Ada beberapa petaka yang dibawa. Kali ini adalah banjir hebat di beberapa titik. Sialnya, konsentrasi banjir kali ini berada di sekeliling Ciledug, daerah rumah saya. Seluruh jalur untuk menuju sentra Jakarta dikepung banjir. 

Setelah satu jam berjalan, kami hanya bisa menempuh jarak 500 m dari rumah. Kami pun berdebat, mempertimbangkan jalur selain jalur baratnya Jakarta yang kami pilih ini. Akhirnya, kami putar arah. Jalur Ciledug – Kebayoran Lama kami coba ambil. Taraaa! Kesemrawutan lalu lintas yang lebih hebat pun menyambut kami sejak mobil mulai memasuki jalur tersebut. 

Walau tahu kalau keterlambatan kami ke kantor akan dimaklumi, kami tak mau menyerah. Perdebatan kecil pun terjadi lagi setelah satu jam kami habiskan lagi untuk jarak tempuh yang nggak lebih dari 500 m (lagi).  Hasilnya, kami sepakat untuk naik angkutan umum. Kakak dan adik turun dari mobil dan jalan kaki terlebih dahulu untuk mencoba menyusuri ujung kemacetan, sementara ibu memili memutar balik menuju rest area Tol Karang Tengah, tempat biasa ia naik bis menuju kantor setiap harinya. Sementara saya, memilih pulang terlebih dahulu. Mengistirahatkan kaki, sarapan, menelpon pacar, sambil membuat rencana yang lebih matang. 

Saya menyiapkan motor, lalu kembali ke jalur Ciledug – Kebayoran. Pikir saya, dengan motor, kemacetan tetap bisa diakali. Tapi ternyata saya salah, ada orang yang bilang, banjirnya sangat tinggi, ada titik yang tinggi banjirnya sepaha, ada juga yang tingginya “sesespion motor,” menurutnya. FANTASTIS! Saya pun memutar arah, dan mengikuti jejak ibu. Menuju rest area. Motor saya parkirkan di penitipan motor (Ya, karena rest area sudah menjadi ‘terminal bis’, banyak pekerja yang memilih untuk naik angkutan umum tapi untuk menuju sana, mereka naik motor/sepeda. Jadi, banyak warga setempat yang menyulap halaman rumahnya jadi penitipan motor). Saya pun naik bis menuju Blok M. Saat itu sudah pukul 09:30.  

Benar kata ibu, jalur sini cukup stabil lalu lintasnya. Bahkan saat saya baru naik bis, ibu mengabari kalau dia sudah sampai kantor. Butuh waktu dua jam untuk saya tiba di kantor (Cipete) lewat jalur ini. lumayan. Seenggaknya bisa sampai kantor sebelum jam makan siang. :p 

Saya  menyimpulkan, di saat hujan dan macet seperti itu, tak jarang alasan kita tetap berkendaraan pribadi adalah karena merasa tertantang. Pengguna motor tertantang selap-selip lalu lintas dan melewati air menggenang bersenjatakan jas hujan, pengguna mobil tertarik untuk berrekreasi melewati kemacetan sambil mendengarkan radio dan bersejuk-sejuk ria di depan AC. Padahal, di kala banjir, angkutan umum, terutama bis, adalah pilihan yang paling tepat. 

Perkara hujan di pagi itu pun selesai … 
… tapi hari belum berakhir, kelanjutannya masih terjadi. 

Sore harinya, seusai jam kerja, hujan turun lagi. Padahal saya punya janji untuk menghadiri sebuah acara di TIM, Cikini. Acara dijadwalkan mulai jam tujuh malam, sementara saya belum tahu persis baiknya menggunakan angkot apa untuk menuju Cikini. Seorang teman mengusulkan untuk naik ke arah pejaten dan lanjut naik bis P 20. Katanya sih bisa langsung turun di TIM. 

Tapi, hati saya berkata lain. Saya tertantang untuk menjajal jalur angkutan umum yang saya percaya itu benar: ke arah Blok M, lalu naik Transjakarta, turun di Bank Indonesia dan lanjut naik bis ke arah Senen. Turun di TIM. 

Lucunya, walau sudah mantap dengan alur tersebut. Tiba-tiba tombol shuffle pada otak terpencet, saya punya gagasan baru setelah melihat bis jurusan Blok M – Tanah Abang. Saya menduga, bis itu akan menyusuri jalan Sudirman dan saya bisa turun di Sarinah. Saya pun mengiyakan pikiran tersebut, rencana untuk turun di Blok M pun digagalkan. 

Taraaa! Ternyata asumsi saya salah total. Bis melaju ke arah Senayan, Slipi, Petamburan dan Karet. Saya kalut. Pengen turun dan nyari angkot lain, tapi males karena hujan deras. Akhirnya saya baru turun di Karet. Tanpa tahu akan lanjut ke Cikini naik apa. 

Seorang bapak mengusulkan naik kereta. Tapi saya ogah, karena stasiunnya jauh. Akhirnya saya, lagi-lagi secara random, memilih naik taksi. Tak peduli berapa jumlah uang yang saya kantongi, tak peduli ke arah mana si supir akan lewat jalan mana untuk menuju Cikini. 

Hebat! Tak butuh waktu lebih dari setengah jam, saya sudah bisa tiba di TIM. Ongkosnya pun masih bersahabat dengan kantong. Tuhan memang sedang iseng, nih. 

Tanpa ba bi bu, saya meluncur, menerobos gerimis, menuju Galeri Cipta II, tempat Pamera Foto Pak Raden yang harus saya kunjungi diselenggarakan. Nah, di acara ini, saya diajak untuk bercerita tentang gerakan Card to Post kepada para pengunjung. 

Coba tebak apa yang terjadi kali ini? Ya, betul, Tuhan lagi-lagi iseng. Suasana di lokasi sepi sekali. Terlihat hanya beberapa orang saja. Tak lebih dari lima. Termasuk dua orang kawan saya yang memang bertindak sebagai penyelenggara acara. 

“Ki, kayaknya gara-gara hujan gini, jadi nggak ada peserta nih,” itu adalah kalimat sapaan pertama teman saya. 

Saya jadi ingat, tadi pagi, di Gen FM, topik obrolan para penyiar adala momen ketika kita perjuang melewati hujan demi suatu hal. Beberapa pendengar yang merespon topik tersebut via SMS, Twitter dan telpon bercerita tentang perjuangannya menembus hujan yang susah payah, namun berujung pada suatu ‘kesia-siaan’. Rasanya, setelah kejadian ini, saya ingin ikut menelpon Gen FM dan ikut bercerita. Hahaha …  

Tak cukup di situ. Ibu tiba-tiba menelpon. Menanyakan saya pulangnya gimana, karena di daerah Ciledug banjir masih tetap eksis di mana-mana. Seketika itu, Tuhan menghadiahi sebuah pikiran yang ‘brilian’, saya pun bilang kalau saya nggak pulang. Akan numpang nginep di tempat teman. 

Padahal, saat menjawab saya belum menghubungi teman yang saya akan tumpangi kasurnya itu. Untungnya, Kindi, si teman saya itu, berbaik hati, bersedia kalau saya ikut menginap. Tapi tapi tapi, bukan di kos tempat biasa ia tinggal, melainkan di kantornya. Kebetulan saya memang sudah akrab dengan suasanan kantornya Kindi yang sederhana dan homie itu. Jadi saya nggak keberatan juga kalau nginep bareng Kindi di situ. 

Eits, kata ‘bareng Kindi’ di atas harus dihapus. Nyatanya, akhirnya, saya tidur sendiri di sana. Sementara Kindi pulang ke kosnya karena suatu alasan. Jadilah saya menginap di situ. Memecahkan ketidakpernahan saya numpang nginep karena urusan kantor, sekaligus menjadi orang pertama yang nginep di kantor Kindi. Takut? Awalnya sih begitu, tapi saya memilih nggak memikirkannya dan lebih memilih untuk menjawab rasa kantuk. 

Hingga Rabu, 16 Januari 2013, saya memulai hari dengan begitu sederhana. Bersih-bersih diri lalu berangkat ke kantor. Tepat jam 6 sore saya pulang, menuju rest area Karang Tengah, mengambil motor dan pulang ke rumah. Seperti halnya hujan deras yang mulai berhenti, ketidakpastian hidup saya pun mereda. 

Tapi, di antara randomnya hidup saya hari itu, ada satu hal yang pasti, pacar saya selalu menemani. :D 


Terima kasih Semesta! Hidup ini begitu seru! 

1 komentar

salamatahari mengatakan...

Wuidiii ... endingnya itu, Bro, yang penting, yg nemenin hahahaha ....

Posting Komentar

© blogrr
Maira Gall