16 Agustus 2014

Lebaran 2014. Lebaran Serba Pertama



Lebaran tahun ini serba pertama. Karena keluarga kami belum lagi punya mobil maka kami naik kereta. Ya, sepanjang sejarah berlebaran sejak saya lahir, tahun ini adalah kali pertama saya merasakan mudik naik kereta.

Sebenarnya bisa saja kami menumpang bus atau menumpang kendaraan pribadi milik saudara. Tapi karena si papah sebelumnya udah nyoba naik kereta ke kampung kami, Maja, Rangkas Bitung, dan papah sangat terkesan sekali dengan kenikmatan berkereta maka kami pun digoda untuk menjajalnya juga. Bukan cuma keluarga saya ternyata, dua keluarga lain yang tinggal di Jakarta pun ikut menjajal naik kereta. Mobil mereka titipkan di stasiun Palmerah. Sementara keluarga saya naik dari stasiun Sudimara, sekitar 15 KM dari rumah. 

Untuk sampai ke stasiun Maja, tak perlu waktu lebih dari sejam. Asiknya, turun dari stasiun Maja kami cukup berjalan kaki saja untuk mencapai rumah Abah dan Ibu (kakek-Nenek saya yang sudah almarhum). Asiknya lagi, kereta lowong sekali. Kami tak perlu merasakan bersesak-sesakan seperti yang kerap diberitakan tv di kereta-kereta mudik. 

Seperti tahun-tahun sebelumnya ritual lebaran di Maja adalah makan siang bersama-ziarah ke makam abah dan Ibu, makan-makan lagi, main petasan, saweran dan bagi-bagi 'persenan'. Tak banyak waktu yang kami habiskan di halal bihalal hari pertama lebaran itu. Sampai di Maja pukul 11.00, pukul 15.30 kami sudah  menumpang mobil Uwa'berangkat menuju Serang, ke kampung halamannya Mamah. 

Mamah dan Rinda, adik saya duduk di bangku kereta menuju Maja. Kereta yang berharga tiket Rp 8.000 ini sepi. Enak deh pokoknya. Sekadar perbandingan, jika kami naik bus. Ongkos yang dikeluarkan bisa mencapai Rp 30.000 per kepala


Suasana stasiun Maja setibanya kami di sana. O ya, saya baru tahu  loh ternyata saudara saya yang lain menumpang kereta yang sama. Hanya beda gerbong.  



Rumah Abah dan Ibu ini luas sekali. Dulu, rumah ini lebih panjang dan luas, tapi bangunan yang dulu membentuk huruf U itu sekarang ditebas salah satu sisinya. Di belakang rumah itu masih ada kebun yang luasnya selapangan futsal deh kira-kira. Karena (sangat) dekat stasiun, lahan rumah kami ini akan dijadikan tempat penitipan motor. Maklum, Maja dan masyarakatnya sekarang mulai banyak yang bekerja di Jakarta. 


Secuplik bagian dalam rumah. Masih terpajang kumpulan foto keluarga dari tahun ke tahun.


Mang Atip. Salah satu orang kepercayaan keluarga. Ia sedang memantau kebun belakang rumah sambil bercerita tentang sumur yang dulu biasa kami gunakan, serta pohon-pohon rambutan yang dulu begitu lebat dan menghasilkan


Keponakan saya (anak sepupu) ini bernama Pian. Sejak melihat saya memegang kamera dia antusias sekali bertanya gimana caranya memotret. Sejak itu, kamera digital saya disandera oleh si Spiderboy ini.


Dan ya, kemudian kamera saya pun digilir oleh krucil-krucil ini. 




Lebaran tanpa anak kecil dan petasan itu hambar rasanya. Setidaknya di keluarga kami. Dua hal itulah yang bikin lebaran jadi meriah. Dengan begitu pun, para orang dewasa macam saya bisa ikut mencicipi bermain-main. Tanpa ada anak kecil, ya kita gengsi lah. Haha. 



Di lebaran kemarin, ada banyak keluarga yang nggak hadir. Tapi kalau dilihat difoto udah kayak foto keluarga lengkap yah. Haha. Keluarga Papah memang keluarga besar. Delapan bersaudara dan salah satu kakaknya ada yang punya 11 anak. 

Plastik yang entah gimana ceritanya bisa berbentuk hati. Terselip di pagar rumah. Semoga rumah ini selalu diselipkan cinta di setiap sudutnya, bagaimana pun jadinya nanti. 


bersambung.... 


---
Di posting ini, seluruh foto diambil dengan kamera analog. #cieanalog 


Tidak ada komentar

Posting Komentar

© blogrr
Maira Gall