19 Oktober 2011

Keisengan Tuhan

Tuhan memang suka iseng. Entah kenapa. Mentang-mentang Dia Tuhan. Dia bisa melakukan segalanya, bisa mengetahui segalanya, dan Dia adalah penguasa alam ini, Dia adalah entitas yang Maha paling deh pokoknya. Jadi, kalau pun Dia iseng, keisengan itu nggak bisa disebut sebagai kesalahan. Itu adalah hak Tuhan yang paling istimewa.

Tuhan memang iseng. Apalagi Dia punya malaikat yang bisa diutus ke bumi dengan wujud apa pun. Dia menyuruh kita beriman kepadaNya, walau Dia Maha Gaib. termasuk mengimani bahwa apa pun hal pemberianNya adalah selalu berujung berkah.

Salah satu keisengan Tuhan ialah Dia sering sekali mengirimi kita bingkisan yang misterius. Pun mendadak. Malaikat yang mewujud dalam bentuk keseharian kita diutus menjadi aktor-aktor yang memainkan skenarioNya dalam proses penerimaan bingkisan itu.


Namanya juga manusia yang kalah daya, maka bingkisan itu mau nggak mau kita terima. Sulit untuk ditolak. Bahkan dengan sangat halus, Tuhan menghipnotis kita, tanpa sadar kita sudah menerima bingkisan itu.

Isengnya lagi, kita tidak pernah bisa dengan mudahnya membuka dan mengetahui isinya. Tuhan selalu membungkusnya dengan berlapis-lapis kertas kado. Ketika lapisan pertama kita buka, kita akan menemui lapisan pembungkus lagi dan lagi. Nah, di tiap lapisannya itu, Tuhan selalu iseng juga, kadang kertas kado yang digunakan gambarnya menyeramkan. Bisa berupa visualisasi memori buruk masa lalu, keretakan rumah tangga, bencana alam, hukuman penjara dari hakim dunia, fitnah, putus cinta, dll.

Dan, karena Dia adalah Tuhan, mustahil kalau kertas kado itu sama seperti kertas kado buatan manusia.
Kertas kadonya itu virtual, interaktif, 4 Dimensi deh pokoknya. Simulator di Dufan itu kayaknya masih kurang untuk menggambarkannya, mungkin permainan Jumanji lebih sedikit mirip. Jadi tiap kali kita membuka lapisan pembungkusnya, gambar yang ditampilkan berubah jadi hidup. Entah mana yang benar, kita yang tersirap ke dalam dunia yang ada di kertas kado itu atau situasi dunia kertas kado itu yang menyeruak ke luar dan menjadi latar kehidupan kita si penerima.

Kita yang mendapati gambar bencana alam ya mau nggak mau harus menerimanya, sebelum akhirnya kita bisa membuka lapis berikutnya. Bahkan kematian pun tak jarang menjadi gambar yang tersaji dalam bungkusan kado itu. Kita harus mati dan kalau kita masih penasaran, ya melanjutkan membuka bingkisan itunya di alam lain sana.

Lucunya, kita para manusia, jadi suka mengikuti keisengan Tuhan ini. Manusia yang berada lebih tinggi dan punya kuasa di antara sesamanya bakal melalukan hal nyaris serupa seperti yang dilakukan Tuhan. Dia mengirimi lawannya dengan bingkisan serupa dengan bingkisan Tuhan.

Sebenarnya ini adalah hal yang wajar terjadi, asal masih dalam konteks yang positif. Seperti seorang anggota pramuka yang ingin mendapat gelar harus menerima bingkisan dari seniornya yang dibungkus berlapis-lapis kertas kado bergambarkan tantangan-tantangan. Berkemah di hutan dan jauh dari orangtua, hapalan sandi morse, ditakut-takuti saat jurit malam, serta latihan fisik yang berat misalnya. Kebanggan serta prestasi positif tentulah menjadi isi bingkisan itu.

Nah, kalau manusia yang punya ego tinggi dan jiwanya disewakan setengahnya kepada iblis yang ikut-ikutan ngasih bingkisan? Sudah ketebak gimana nggak enaknya. Di sini lah biasanya Tuhan semakin iseng. Kita diberi keisengan berganda, di salah satu lapisan bingkisan dari Tuhan kita dipertemukan dengan manusia iblis itu. Sehingga, lapisan-lapisan berikutnya disabotase oleh si manusia iblis untuk memenangkan kepentingannya.

Kita dipermainkannya. Mereka berlaga seperti Tuhan, merasa paling bisa menentukan mana yang baik mana yang salah. Manusia-manusia iblis itu sesekali membawa-bawa nama hukum dan birokrasi, untuk sekedar terlihat berwibawa mungkin. 

Kita diperdaya untuk bisa mengerti maksud jahatnya, kita dibuatnya untuk meladeni kejahatanya dengan cara yang baik. Setidaknya terlihat baik. Mereka terlihat diplomatis dengan bernaung Pancasila, ketika ditanya sila pertama apa, mereka tetap menjawab KeTuhanan Yang Maha Esa. Padahal hatinya menyalahkan, dan berteriak melalui raut wajah yang bengis. Katanya sila pertama adalah Keuangan Yang Maha Kuasa. Setelah itu, kita dipaksa untuk menjadikan isi dompet sebagai jawaban atas ungkapan sok heroik “Ya, kita bisa bantu, tapi sama-sama ngerti lah.”

Keparat!

Berbeda dengan Tuhan, keisengan manusia selalu bisa dipersalahkan. Jadi memaki-maki tidaklah mengapa. Sayang aja, manusia-manusia itu hanya bisa menyewakan jiwanya kepada iblis, bukan muka dan pribadinya sehingga kita tidak mudah mengidentifikasikannya dan kita pun jadi sungkan mengalamatkan caci maki karena merasa masih harus percaya kalau dia manusia, dan punya rasa kemanusiaan.

Dalam menghadapi bingkisan berganda ini kita harus penuh waspada. Hal yang utama adalah kita harus yakin sepenuh hati kalau bingkisan ini berasal dari Tuhan. Sebenarnya, kalau kita perhatikan dengan seksama, ketika bingkisan itu berisikan keisengan ganda maka salah satunya bisa kita singkirkan. Keisengan manusia itu hanya bingkisan yang lama-kelamaan akan menyusut kecilnya seiring kita membuka lapisan-lapisan pembungkusnya. Sementara bingkisan Tuhan akan tetap besar atau bahkan bertambah besar.

Sayang aja, yang sering terjadi adalah kita terlena oleh bujuk rayu si manusia iblis itu, sehingga kita termakan dalam keisengannya. Kita tersirap dalam dunia dalam kertas kadonya. Dan malah menghabiskan waktu di situ. Padahal bingkisan yang berlapis-lapis bungkusnya itu hanya berisi kotak kosong. Kotak kosong yang akan diisi oleh diri kita. Dan kita lah yang balik menjadi hadiah bagi mereka.

Nah, makanya kita harus yakin bahwa seiseng-isengnya Tuhan, niatnya selalu baik. Sulit memang menganggap kalau musibah itu selalu berujung berkah, tapi begitulah adanya. Kadang Tuhan ingin kita mencari dan menerjemahkan sendiri makna berkah itu. Implisit seperti kebanyakan karya seni rupa. Pun Sang Pengarangnya gaib. Kita tidak bisa langsung bertanya.

Namun, keimplisitan itu akan menjadi sesuatu yang menarik jika kita pelan-pelan mempelajarinya. Berlama-lama berada di dalam suatu lingkungan yang asing akan membuat kita belajar untuk adaptasi. Ketika satu per satu bahasaNya bisa kita terjemahkan, maka perjalanan membaca makna tiap lapis kertas kado akan menjadi candu karena kita selalu menemukan pelajaran-pelajaran baru. Senyum dan tawa girang pun akan selalu dengan puasnya kita ekspresikan karena kita  telah berhasil menemukan manis dalam gua yang berdinding pahit.

Oleh karena itu, Tuhan mengajari kita lebih dulu jurus dasar sekaligus pamungkasnya dalam menghadapi semua ini, jurus itu bernama keimanan. Dogma-dogma dasar tentang eksistensi serta kedigdayaanNya menjadi menu utama yang ia sampaikan melalui wakil-wakilNya. Selanjutnya, kita tidak dibiarkannya bertempur dengan tangan kosong. Ia mempersenjatakan kita dengan doa. Ia menyediakan pilihan bantuan yang tidak terbatas. Namun, senjata dan pilihan bantuan itu tidak akan bisa digunakan kalau kita belum punya keimanan.

Kita, manusia, sering kali mengumpamakan hidup ini seperti permainan. Mungkin, karena itu lah Tuhan juga ingin ikut terlibat dalam permainan ini. Dia selalu menyelipkan berkah di balik lilitan-lilitan bungkusan berkertas kado dengan gambar musibah. Dia menantang kita untuk menerima, membuka dan menelusurinya.

....
Untuk Papah




3 komentar

baghendra mengatakan...

cihuyy...

Anonim mengatakan...

DEMI TUHAN....bagus sekali......ini baru meresap ke otakku yang pas pasan ini...dengan key word lapisan hati...membawa saya ke blog ini...dan ini salah satu permainan Tuhan yang mengasyikan

Unknown mengatakan...

jujur ky... dari semua tulisan kamu yg saya suka, tulisan ini yg "paling" saya suka

kontemplasi dan penjabaran kamu menelaah sisi religius dari sebuah masalah dan eksistensi tuhan bikin tulisan ini menjadi cambuk buat siapapun.

keep posting! *saya penggemar blogmu :D

Posting Komentar

© blogrr
Maira Gall