Ada suatu waktu ketika kita merasa diri sudah terlalu penuh. Perasaan gundah imbas perjalanan aktivitas sehari-hari, pikiran tentang misteri masa depan, serta hal-hal kalut lainnya bertumpuk, berjejal di dalam. Ketika saat itu datang maka hal yang paling tepat untuk dilakukan adalah membuka ruang untuk dunia luar. Membersihkan ventilasi pikiran yang sudah terlalu berdebu, sehingga respirasi udara menjadi lancar adanya. Atau sekalian kita berlari berhamburan keluar.
Melalui EP yang bertajuk Room For The Outside ini, Lipstik Lipsing menawarkan pertunjukan musikal yang siap membuat penontonnya tenang sekaligus berkecamuk. Sebuah ironi dalam penyembuhan diri. Menutup mata sepertinya akan menjadi pilihan selain memasang pandangan kosong, membiarkan diri hidup dalam dunia di dalam alam pikiran. Gelap namun bisa saja penuh warna, tergantung bagaimana imajinasi.
Oke, mari kita mulai. Room For The Outside sekaligus menjadi judul untuk lagu pembuka album. Dentingan-dentingan halus minus vokal sepanjang dua setengah menit mengiringi sesi pendinginan. Seperti hari yang dimulai dengan fajar yang dingin. Mengantar saya ke gerbang depan dengan sangat pelan-pelan.
Pintu terbuka, dan satu langkah kaki akan membuat saya benar-benar ada di luar. Ya, saatnya berlari, tetap dengan mata yang tertutup tapi. Langsung berlari. Tanpa perlu basa-basi berjalan di tempat atau jalan cepat. Sebuah ekspresi yang terlalu dini memang, tapi begitu lah semestinya. Kini, giliran lagu Early Express yang menjadi latar. Memori tentang perpisahan akan dipanggil ulang ke hadapan. Suatu rasa akan menjadi sia-sia ketika itu telat dikatakan. Kereta keburu berangkat. Tidak mungkin berhenti. Bisa saja kita melompat dan melawan nyali. Tapi buat apa kalau ternyata ini tidak perlu dipaksakan.
Saatnya memperlambat langkah, beri kesempatan untuk melilhat-lihat keadaan sekitar. Waw, ternyata saya tidak sendiri, ada seseorang yang ikut berlari bersama. Sambil menyanyikan Puertorico kami pun berjalan. Sesekali saya bercerita tentang pengalaman berjalan tanpa arah. Pun dalam kesepian. Kosong. Sementara ia kerap membuka topik mengenai masa depan. Jelas, saya tidak punya banyak kata untuk menjawabnya. Bukan malah merendahkan dia malah banyak memberi motivasi:
“Loneliness is no excuse nothing else to be accused.
Don’t give up keep trying. Don’t leave it up to nothing.
Emptiness is seems unfair, but lately maybe we don’t care,”
Ungkapan yang begitu syahdu. Betapa ruginya saya yang telah lama larut dalam suatu penderitaan atas sepi. Padahal sepi atau tidak itu hanyalah tentang persepsi. Toh, ternyata kita tidak pernah benar-benar sendiri. Diri kita pun terdiri dari milyaran sel yang saling berteman.
“Loneliness is no excuse nothing else to be accused.
Don’t give up keep trying. Don’t leave it up to nothing.
Emptiness is seems unfair, but lately maybe we don’t care,”
Setelah 3 menit 32 detik saya dan orang itu bercerita tiba lah kami dipersimpangan. Kami berbeda arah. Maka perpisahlah kami. Namun lirik-lirik yang dinyanyikannya masih terus mengiang. Apalagi ketika lagu Rebirth diputar. Kita akan merasa seperti baru lahir kembali ketika pelan-pelan dapat melihat hidup berubah. Ketika kita bisa melihat wajah kita di langit. Cahaya penuntun perjalanan pun sudah terlihat. Saatnya kita mengambil hal-hal yang tertingal.
Kecepatan berlari bertambah sedikit ketika ada taman yang terlihat. Tiba-tiba saya butuh duduk. Kalau bisa dibawah pohon-pohon rindang. Yang teduh seperti muka gadis yang ada jauh di sana. Haha. Hmm, kenapa tiba-tiba kepikiran dia. Ini pasti ulah Suburban Love yang sedang beputar. walau pun kisahnya klise tapi liriknya cukup menyentuh. Seperti suara hati insan yang tidak sampai kasihnya. Pun orang yang dicintanya itu nyaris abstrak, belum pernah tatap muka langsung. Seperti ada jarak yang membentang ada si saya dan si dia. Seperti ada hirarki darinya kepada saya. Dia berkuasa. Semena-mena. Setumpuk kasih hasil rodi dia abaikan begitu saja. Ahh..
i don’t know where you come from, what yo made from
Something whisper me so good, how could you send me a pack of lies.
we could make it simple, why you always set me in trouble.
This is your game, you never let me find the rules.
i tried to play this one and i loose my self for nothing.
I wonder if you know suddenly you changed my mind.
I wonder why you go, i can’t believe what we’ve become now.
I wonder if you know suddenly you make me drown.
I wonder why you go, i only got my self to blame.
Perjalanan selesai. Saya sudah kembali ke titik awal. Saya tiba pada sebuah kesimpulan: membuka pikiran tak melulu membuat jernih. Ada sejumlah kotoran-kotoran yang memuat memori tentang mimpi. itulah gumpalan limbah dari harapan yang tidak sempat terlaksana. Doa yang sudah kadaluarsa minta dikabulkan oleh Tuhan.
Dengan perlahan musik yang diisi dentingan-dentingan melodi sederhana serta gerungan gitar berdistorsi yang menyusul memenuhi kepala. Musik-musik monoton terus mengulang-ulang. Mencoba menghipnotis diri. Mencoba untuk mengelabui mimpi. Dan berkata: If Only We Could Choose Our Own Happiness.
….
Room for The Outside adalah EP pertama dari band asal Semarang, Lipstik Lipsing yang dirilis pada tahun 2009. Grass Root Playlist-nya BerisikRadio.com adalah tempat saya pertama kali mendapatkan single Early Express. Setelah lagu satu itu berkali-kali berputar di playlist akhirnya saya menemukan CD album mereka di sebuah distro di Jakarta. Lipstik Lipsing mengusung musik-musik yang santai namun sentimentil. Kalian yang penasaran, coba mampir ke myspace.com/lipstiklipsing . Lagu-lagu mereka bisa diunduh dengan cuma-cuma. Lalu coba deh kalian setel album ini sambil duduk-duduk di teras, bawa serta secangkir teh dengan gula dua sendok kecil dan buku catatan harian. Suasana kontemplatif namun tenang bukan galau akan membuat imajinasi dan memori kita menari-nari pelan.
2 komentar
" ....Mencoba untuk mengelabui mimpi. Dan berkata: If Only We Could Choose Our Own Happiness."
Indeed, we can always choose our own happiness =)
yah. itu kan kata Lagunya, De. musik-musik kayak gini memang penuh depresi.. pret ah
Posting Komentar