25 Agustus 2015

Berbahasa Inggris


Saya punya dua ratus tiga puluh juta ribu delapan milyar ratus alasan mengapa saya nggak membiasakan diri berbahasa Inggris. Salah satu alasan yang paling sering saya ucapkan--senggaknya pada diri saya sendiri--adalah karena saya lebih ekspresif dengan bahasa Indonesia: saya bisa memainkan kata-katanya, saya lebih bisa mengeksplor kosa kata, saya lebih bisa merangkai kalimatnya. Alasan itu diperkuat karena memang saya bekerja menulis. Terus menerus menulis bahasa Indonesia ya sekalian jadi ajang latihan, kan?

“Buat apa jago bahasa asing, kalau nulis bahasa Indonesia aja nggak gape.” Saya juga kerap berkilah begitu. Apalagi kalau mengingat betapa kita sangat hati-hati dengan grammar ketika berbahasa Inggris, namun selalu abai dengan EYD ketika berbaha Indonesia. Kita hati-hati dengan ketepatan penggunaan was, were; have, had; atau in, on, misalnya; namun bisa dengan sangat enteng menulis ‘dijakarta’ atau ‘di buang’, dan membiarkan kesalahan logika kalimat  “ngambil ATM” begitu saja. Mana boleh (mesin) ATM diambil. Kita bisa dipenjara. Kalau ngambil uang di ATM, itu baru dipersilakan.

Ya, betul, saya terlihat seperti menjadikan kesetiaan bahasa Indonesia (dan penggunaan EYD) sebagai tameng untuk urung berbahasa Inggris

Tuntutan bahasa Inggris adalah konsekuensi dari globalisasi. Apalagi sekarang ini internet sudah jadi pintu kemana saja, bisa membawa kita bertemu siapa saja dari penjuru dunia. Bahasa Inggris adalah modal utama kita untuk nggak merasa asing.

Benar saja, kini muncul kalangan anak-anak yang berbahasa pertama bahasa Inggris. Mereka disekolahkan di tempat yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantarnya. Bahkan sejak TK (atau malah Playgroup?) Di rumah, di acara kumpul keluarga, di taman bermain, atau di mal, mereka cas cis cus berbahasa Inggris.

Tak perlu tepat grammar, yang penting fasih, itu sudah membuat orangtua mereka bangga. Pertama, bangga karena yakin anak-anaknya akan sukses berkiprah di kancah dunia yang serba terbuka ini kelak. Kedua, ya karena anaknya berbahasa Inggris. Elit.

Saya pun kemudian menemukan fakta bahwa ada kalangan remaja yang urung membaca majalah lokal hanya karena majalahnya berbahasa Indonesia. “Lebih terbiasa dengan bahasa Inggris. Kadang suka nggak nangkep sepenuhnya maksud isi tulisan,” kata kawan saya, seorang siswa SMA Internasional.

Pada titik tertentu temuan-temuan itu bikin saya malah nyinyir sama bahasa Inggris dan bikin tambah merasa perlu untuk mendalami bahasa Indonesia saja. Menjadi penjaga bahasa Indonesia. Menjadi pahlawan bahasa Indonesia. Duileh!

Tapi, setelah dipikir-pikir, bukan kemampuan berbahasa Inggrisnya yang perlu saya hindari. Melainkan kesadaran-kesadaran semu yang menggiring saya pada perasaan ekskulif ketika pandai berbahasa Inggris dan kesadaran mantap menganggap bahwa Eropa dan negara-negara barat lainnya adalah panutan sejati. 

Selain itu, saya juga menyadari adanya satu alasan lagi mengapa saya urung berbahasa Inggris. Kalau alasan-alasan di atas terkesan idealis, yang satu ini realistis: saya malas berlatih yang juga beriringan dengan ketakutan (baca: malu) kalau salah grammar. Haha!

Sungguh saya pasti akan merugi membiarkan kemalasan dan ketakutan berlatih ini mengurung saya. Apalagi sekarang ini saya punya cita-cita baru yang mensyaratkan kecakapan berbahasa internasional. Saya perlu belajar, dan tak mungkin saya ikut kursus. Sudah terlalu sering saya menghamburkan uang untuk kursus bahasa Inggris. Kali ini saya memilih jalur otodidak.

Tahukah kamu langkah yang saya untuk membiasakan diri berbahasa Inggris? Sejauh ini sudah dua yang saya coba. Pertama, ikut mengucapakan dialog pada film yang naskahnya bisa say abaca lewat subtitle, dan daftar Postcrossing. Walau hanya lewat kartu pos, saya pasti akan terbiasa berinteraksi dengan orang asing, dengan bahasa Inggris. Semoga harus berhasil

-Hari ke-5 30 Hari Bercerita-

Merekomendasikan kalian untuk  membaca artikel ini: 



1 komentar

Anonim mengatakan...

Duh, sama banget alasannya untuk terus pakai Bahasa Indonesia! Hahaha

Posting Komentar

© blogrr
Maira Gall