13 Juni 2014

#Pencermat: Laki-Laki Tidak Boleh Meminta: Tanda Tanya atau Tanda Seru?


"Laki-laki itu tidak boleh menuntut," tegas Pidi Baiq yang sedang berbicara mengenai novel terbarunya di sebuah acara bedah buku, Dilan. Dia adalah Dilanku Tahun 90an. Lewat novel yang bercerita tentang kisah cinta masa SMA antara laki-laki gagah tetapi nyeleneh bernama Dilan dengan Milea, seorang siswi baru di sekolahnya Dilan itu  Pidi Baiq memang terasa betul ingin turut mengonstruksi karakter cowok ideal, terutama cowok dewasa muda, dalam keseharian. 

Saya suka sekali dengan novel Dilan ini. Saya juga setuju dengan konsep laki-laki ideal yang dikejawantahkan Pidi Baiq pada tokoh Dilan: berjiwa rebel, kritis, cerdas, pembela keadilan, penyayang wanita, dan punya kadar romantisme yang pas sekaligus unik. Tapi kok ucapan Pidi Baiq yang juga merujuk ke tokoh Dilan satu itu terasa janggal yah. Bikin tertegun. Apa iya, laki-laki tidak boleh menuntut? kenapa? apa yang salah jika laki-laki menuntut (wanita)? Masa sih, Pidi Baiq yang melalui tokoh Dilang sekaligus saya anggap memperjuangkan kesetaraan gender itu tetap memelihara pemikiran bahwa laki-laki itu hanya boleh memberi, tak baik jika menerima? 

Kata-kata Pidi Baiq itu mau tak mau mengingatkan saya pada novel Pengakuan Eks Parasit Lajang gubahan Ayu Utami. Di novel yang berisi tentang gagasan serta pengalaman seksualitas Ayu Utami itu ada bagian cerita yang mengandung pemikirian persis seperti pemikiran Pidi Baiq tadi. Dalam suatu scene, tokoh utama yang bernama A (wanita) sedang berbelanja di sebuah supermarket bersama pacarnya, Nik. Di sana, Nik iseng minta dibelikan cokelat oleh A. Tapi A justru memarahi permintaa simpel tersebut. Kata A, laki-laki itu tidak boleh meminta. Perempuan boleh memberi, tapi laki-laki tidak boleh meminta. Sebenernya saya lupa-lupa ingat sih, tapi seingat saya, di scene itu tokoh A serius betul berkata seperti itu. Seperti ungkapan dari hati yang paling dalam. 

Padahal, tokoh A itu diceritakan sangat benci dengan pemarjinalan wanita karena budaya patriarki. Ia juga sebal dengan pengekangan seksualitas wanita, terutama pemikiran bahwa keperawanan wanita harus dijaga sementara keperjakaan pria tidak (setidaknya jarang dipermasalahkan di masyarakat). 

"Ada yang tidak beres dengan nilai-nilai masyarakat. Lelaki dibebani tuntutan tidak proporsional untuk menjadi lebih dari perempuan. Dan perempuan diberi tuntutan tak adil untuk merendahkan diri demi menjaga ego lelaki. Sampai hari ini aku masih mengatakannya: itu sungguh tidak benar dan tidak adil.” tulis Ayu Utami sebagai suara dari tokoh A. Dari situ, yang saya tangkap adalah bahwa tokoh A adalah si pejuang kesetaraan gender. 

Nah, saya bingung. Mengapa bagi si pejuang kesetaraan gender pun masih ada pemikiran bahwa laki-laki tidak boleh meminta dan menuntut kepada wanita. Apakah dengan begitu laki-laki memarjinalkan wanita juga? Atau ini hanyalah pengecualian, bahwa walaupun pria harus menggagap dirinya sejajar dengan wanita, tetapi pria harus terus menjadi si kuat yang bisa terus memberi dan tak boleh membuat wanita berjuang untuk memenuhi keinginannya?  

Kalau begitu, hubungan pria-wanita itu mestinya bersifat satu arah dong? pria mesti mencinta tanpa pamrih. 

Saya masih belum bisa menemukan jawaban yang bisa saya ecamkan. Tapi setidaknya semasih mencari, saya anggap saja tawaran gagasan dari Pidi Baiq dan Ayu Utami itu satu pola dengan rumus mencintai negara dari John F Kennedy: Jangan tanya apa yang negara sudah berikan padamu, tapi tanyalah apa yang sudah kamu berikan untuk negara. (kata negara bisa kita ganti dengan subjek yang kita cinta). Kalau begitu sih, saya setuju, asalkan saya sudah yakin bahwa negara saya itu sudah punya cinta yang sama besar, minimal sebesar cinta saya atasnya. Hehe.

Menurut kalian gimana? ungkapan 'laki-laki tidak boleh meminta' perlu diberi tanda tanya, tanda seru... Hmm atau malah dicoret? 

......
Sedikit cerita tentang #Pencermat. Ini adalah program yang digagas demi mengembalikan semangat menulis di blog lagi. Karena berbagai alasan super klise imbas keseharian, saya, LodraAndraTito dan Dimas punya keresahan yang sama: kami jadi jarang nulis dan merasa butuh kembali rutin menulis. Alasannya beragam: biar nggak tumpul, agar bisa 'hidup', memenuhi hasrat berbagi dan tentunya, mengalahkan rasa malas.

Satu kali dalam seminggu, kami berkomitmen untuk menulis dan mempublish-nya di blog masing-masing. Jika ada yang telat atau absen menulis, maka ia wajib mentraktir kami makan. Hehe. Karena kami memilih Jumat sebagai hari terbitnya tulisan, maka program ini pun kami beri nama Pencermat, yang merupakan kependekan dari pencerita Jumat.


(gambar: huffingtonpost.fr )

1 komentar

Mohammad baghendra lodra mengatakan...

laki-laki itu boleh meminta, kalau perempuan menolak malah dosa, denger-denger sih gitu klo udah suami-istri terutama terkait #jatah, hehe...

Posting Komentar

© blogrr
Maira Gall