10 Juni 2013

#4 Transkrip Wawancara RU Images dan Yudhi Soerjoatmojo

Saya mengenal Yudhi Soerjoatmojo pertama kali yaitu saat mengerjakan skripsi, awal 2011 lalu, saya menemukan artikelnya tentang sejarah perkembangan fotografi di Indonesia dengan tajuk  The Challenge of Space: Photography in Indonesia 1841-1999. Tak disangka, tak lama setelah lulus, sekitar Oktober 2011, Yudhi yang konon sudah lama nggak muncul di dunia fotografi hadir sebagai pembicara di acara gelaran National Geographic. Saya pun menghadirinya. Kalau tak salah ingat, Yudhi berbicara tentang bagaimana fotografi bisa membawa perubahan.  

Menariknya, ternyata setelah sesi seminar selesai Yudhi diwawancara oleh RU Images, kemudian video wawancaranya diunggah di situsnya. Pewawancaranya adalah Rony Zakaria dan Okky Ardya. Saya suka wawancara itu. Pertanyaan dari pewancara begitu matang dan kontekstual. Omongan Yudhi terdengar santai tapi tegas. Bahan pembicaraannya juga banyak sekali, pertanyaan yang singkat pun dijawabnya dengan cerita panjang.  Bayangkan saja, wawancara 20 menititu  ketika saya ketik menjadi tulisan sepanjang tujuh halaman. Tak heran, Yudhi memang pelaku fotografi yang sudah sejak lama giat mengamati (secara kritis) fotografi di Indonesia. Karena saya suka dan butuh wawancara ini, maka saya pun terdorong untuk membuatkan transkripnya. Agar bisa lebih mudah dan lebih cermat disimak. 

Seluruh pernyataan Yudhi penting adanya. Ia berbicara tentang Galeri Fotografi Jurnalistik Antara yang dibangunnya, perkembangan foto jurnalistik, dan yang paling saya suka, tentang pencapaian yang sudah diraih fotografi Indonesia dan tentang apa yang dibutuhkan oleh ekosistem fotografi di sini. 

Transkrip yang saya buat di sini memang jauh dari sempurna. Ada sedikit bagian yang tidak saya catat dengan baik, bahkan ada yang saya tidak tahu. Tapi saya berusaha sebaik mungkin dalam membuatnya. Oia, demi memudahkan, saya melakukan penyesuaian dialog lisan menjadi dialog tulis. Kalau menemukan kejanggalan dan kesalahan, tolong kabari saya yah. 

Nah, sebelum kita baca tulisan ini, mari kita ucapkan terima kasih kepada tim RUImages yang sudah melakukan semua ini. 

Bersama Oscar Motuloh Anda terlibat menjadi tulang punggung Galeri Foto Jurnalistik Antara pada awal-awal pendiriannya pada tahun 90-an. Apa tantangan mengelola sebuah galeri foto di Indonesia saat itu?

Galeri foto jurnalistik Antara merupakan galeri jurnalistik pertama di Indonesia. Tantangannya banyak sekali. Pertama-tama adalah tidak adanya role model bagaimana galeri itu beroperasi dan berfungsi. Seluruhnya—konsep dll.—harus kita bangun dari nol. Selain itu juga bahwa galeri-galeri yang ada saat itu banyak sekali galeri yang bersifat komersial: menjual lukisan—umumnya sih lukisan yah, bahkan patung saat itu masih sangat sedikit sekali dijual: Patung, instalasi. Jadi kami tidak bisa beroperasi seperti mereka. Kami mandatnya adalah nonprofit jadi harus menciptakan cara untuk menciptakan audiens, menciptakan komunitas, menciptakan program. 

Dan kendala-kendala lainnya adalah dari sisi pendanaan. Karena dalam hal ini LKBN Antara sudah memberikan fasilitas galerinya termasuk menyediakan gaji saya dan tim tapi tidak ada dana khusus untuk membuat program. Jadi tantangannya adalah bagaimana membuat program yang akan menarik komunitas sementara kami tidak punya uang untuk membuat program. Itu benar-benar jadi tantangan yang besar. Kami  terletak di daerah yang historis dan indah (Pasar Baru, Jakarta) tetapi bukan kawasan yang anak-anak muda akan main, misalnya, akan biasa main ke sana. Jadi cukup banyak tantangan. 

Selama menjadi kurator di Galeri Foto Jurnalistik Antara, pameran apa yang paling berkesan? 

Saya sekitar lima tahun di Antara, (dari) Januari 1994 saya keluar Desember 1999. Setiap tahun kita rata-rata bikin sepuluh pameran. Mana yang paling impresi? yang paling mendebarkan tentunya yang pertama. Tapi yang paling impresif semuanya, saya rasa semua menarik. Semuanya menantang, semuanya berbeda. Karena ketika saya menjadi kurator, galeri ini, Galeri Foto Jurnalistik Antara, harus mejadi lembaga yang berbeda dari media cetak. Walau pun namanya Galeri foto jurnalistik, tidak semestinya dia sekedar memamerkan karya-karya dari teman-teman di media cetak. Pertama, karena teman-teman itu sudah punya wadah, (yaitu) medianya. 

Kedua, sebetulnya—ya ini memang tipikal saya—selalu bertanya memangnya galeri foto jurnalistik itu adalah foto eksklusif atau foto jurnalistik itu bisa luas, bisa mencakup sesuatu yang lebih inklusif dan tidak eksklusif. Jadi selama saya enam tahun di sana, ada karya-karya yang bahkan fotografer berbakat selama ini tidak dianggap sebagai foto jurnalis. Dan setelah itu tidak dianggap sebagai foto jurnalis tapi orang bisa menganggap kalau apa yang dia buat itu sebetulnya bisa dianggap sebagai karya fotografi jurnalistik. Salah satu contohnya adalah ketika kami memamerkan di tahun 2004 kami memamerkan karyanya fotografer Roy Genggam, fotografer iklan, komersial berdampingan dengan karya almarhum Donny Metri yang adalah foto jurnalis di majalah Tempo pada saat itu. Donny Metri membuat, memamerkan karya-karya tentang penyelamatan orangutan di Kalimantan Selatan, yang merupakan bagian dari  assingment-nya waktu masih di majalah Tempo ketika saya masih menjadi redaktur foto, tapi (fotonya) dikembangkan lagi. 

Sementara Roy Genggam membuat foto tentang gajah, tapi semua gajahnya itu mainan, patung, dll. Yang diset di studionya dengan lampu pencahayaan yang bagus. Tapi saya melihat semangat Donny dan Roy itu sama. Mereka sama-sama peduli dengan nasib satwa liar kita. Cuma kalau Roy Genggam melakukannya dengan pendekatan dan teknik dari fotografi komersial, Donny  menggunakan pendekatan fotografi pers. Yang satu (fotonya) berwarna yang satu hitam putih. Yang satu pergi ke lapangan  yang satu studio. Tapi esensinya sama. 

Apakah sering terjadi perdebatan atau kontroversi dalam kebijakan kuratorial pameran selama berada di Galeri Foto Jurnalistik Antara? 

Oh sering. Itu menjadi bagian dan konsekuensi dari kebijakan kuratorial saya. Pada saat saya masih menjadi kurator di Galeri Antara saya memang mempunyai kebijakan, keterbukaan, sikap kritis terhadap foto jurnalistik itu sendiri. Mempertanyakan apa sih foto jurnalistik. Esensinya, loh, bukan bentuknya. Jadi jangan kita ikut, terhanyut oleh bentuknya. "Fotografi (jurnalistik) tuh yang begini… yang di koran." loh yang di media saja banyak bentuknya bagaimana kita bisa menyatakan yang ini iya yang itu tidak. Karena dulu saja saat saya mulai—ketika generasi saya lagi asik dengan foto esai—banyak yang menentang itu. “Kok fotonya begini sih, ya kan maunya seperti yang ini dong. Harus berwarna pula.” Tapi kita maunya hitam putih kok, dan ada alasannya kenapa hitam putih. Jadi, itu saja jadi perdebatan. 

Pada saat saya berada di Galeri Antara saya bilang: ini adalah ruang tiga dimensi, media cetak adalah ruang dua dimensi. Di ruang tiga dimensi ini tidak bisa dari yang ruang dua dimensi main dipindahkan saja. Harus ada yang lain, dimensi ketiganya apa, harus ada dialog, ada keterbukaan, bahkan kalau perlu fotografinya sendiri di pamerkan secara tiga dimensi karena bukan di koran atau majalah. Bisa dalam bentuk instalasi. Dan pada tahun-tahun 1997 mulai muncul karya-karya seperti itu. Mulai ada keberanian untuk bikin karya kolase, karya montase, instalasi dll. yang menciptakan perdebatan luar biasa antara saya dan saudara Erik Prasetya pada saat itu. Dan menurut saya perdebatan itu cukup seru dan menarik. 

Banyak festival fotografi bermunculan di Asia, seperti di Kamboja, China, Singapura dan Bangladesh. Seberapa perlukah sebuah festival foto untuk perkembanan fotografi di suatu negara? 

Festival seperti itu kan, festival apa pun termasuk fotografi, itu sangat penting. Karena itu memberikan kesempatan bagi satu kota, bukan hanya satu galeri atau bukan satu komunitas tertentu, tapi satu kota, untuk bisa menikmati. Problem terbesar dalam dunia kesenian kita bukan hanya di fotografi, bahwa yang datang ke ruang-ruang seni adalah orang-orang yang mengerti seni tertarik pada seni, masyarakat pada umumnya jarang sekali melihat seni. Walaupun ada upaya  untuk menaruh pameran foto di mal, misalnya, seberapa tertarik sih orang-orang. Paling lihat-lihat, satu dua orang tertarik tapi selebihnya “Saya ke sini bukan untuk ini kok, saya mau mau belanja, saya buru-buru takut salesnya habis.” segala macam lah, kira-kira seperti itu. Jadi sulit memang. 

Kebetulan saya pernah tinggal di Paris. Paris punya bulan foto, sangat menarik. bulan foto itu membuat atau mendorong masyarakat umum bukan hanya untuk melihat foto tetapi juga untuk berkeliling kota. Karena, saya pernah melihat pameran foto Sebastian Salgado di sebuah perpustakaan. Kalau tidak ada pameran itu saya nggak akan datang ke situ. Saya melihat karyanya satu fotografer yang lain di sebuah galeri yang kecil yang saya belum pernah dengar sebelumnya. Jadi, journey-nya. Perjalanan fisik ke sana kemari. Naik bus, naik metro, itu saja sudah mendebarkan. Apalagi ketika “ah ketemu galerinya,” “oh di situ toh galerinya” “Oh ini karyanya”. Itu penting menurut saya. Bukan hanya untuk fotografinya tetapi untuk kotanya. 

Dalam esai anda The Challenge of Space: Photography in Indonesia, 1841-1999, disebutkan bahwa diperlukan fotografer-fotografer yang terdidik secara formal sebagai salah satu fondasi fotografi Indonesia. Apakah hal itu sudah tercapai? 

Sebagian. Artinya, lahirnya generasi baru di dunia fotografi itu sudah terjadi sejak galeri antara mempunya program workshop. Sejak IKJ membuka jurusan fotografi, sejak ISI membuka jurusan Fotografi. Artinya, dulu untuk menjadi fotografer itu nggak ada sekolahnya, nggak ada trainingnya. Either kamu berbakat dari sananya, kemudian punya keberuntungan bisa mendapat peminjam kamera kemudian beruntung bisa latihan dan bertemu orang di media atau orang mengatakan “eh fotomu bagus, join yuk di perusahaanku.” Akan sangat susah masuk menjadi fotografer professional. Dan dari satu generasi ke generasi berikutnya itu jauh sekali. Dari almarhum Kartono Ryadi yang dulu jadi pentolannya di Kompas ke generasinya Julian Sihombing itu memakan waktu 25 tahun. Itu di tengah-tengahnya masih ada fotografer lain. Tapi yang kalau kita bicara mereka yang menonjol itu 25 tahun. Dari generasi Julian Sihombing ke Edi Hasbi sudah lebih dekat. 5-10 tahun tapi masih cukup lama. Ketika Galeri Antara itu muncul, IKJ muncul, ISI muncul, setiap tahun ada generasi baru, tentu tidak semuanya "jadi". Minimal dari orang yang ikut pendidikan itu 10, 20 orang akan menjadi fotografer. Dan itu sekarang sekarang semakin cepat. Apalagi dengan kemudahan mendapatkan kamera. Tapi secara pendidikan setiap tahun Galeri Antara minimal menghasilkan 20 lulusan, IKJ 15-20 lulusan demikian pula dengan ISI. 

Selain fotografer yang kompeten dan berkualitas apakah kualitas seorang editor foto juga sama pentingnya dalam perkembangan fotografi kita? 

Pertama, banyak media yang tidak mempunyai editor foto. Kedua, tidak selalu editor foto yang ada pada saat itu adalah orang-orang yang pernah bekerja sebagai fotografer atau menyukai fotografi. Hanya bahwa dia lebih senior, atau yang terjadi di media–saya tidak tahu sekarang apakah situasinya kurang lebih sama—banyak yang berasal dari wartawan tulis. Kenapa? Karena wartawan tulis—jaman dulu, sekarang saya tidak tahu—dianggap lebih cerdas, lebih prestius, lebih pintar, lebih tahu, dibanding wartawan foto. Minimal itu pada zaman saya itu yang kami hadapi. Lucunya, ketika saya menjadi redaktur di Tempo—saya di Tempo tidak menjadi fotografer walaupun saya memotret, saya di Tempo itu memulai karier saya itu sebagai reporter, penulis, tapi karena saya bisa motret dan saya mengerti foto dan sebelumnya saya bekerja sebagai fotografer ya mereka kemudian merekrut saya ketika redaktur fotonya pindah ke tempat lain—lucunya, ada beberapa redaktur (redaktur tulis) lain yang mengatakan “ya ini kan menjadi redaktur foto karena dia wartawan tulis”

Apa yang harus dipunyai seorang editor foto?

Redaktur foto harus mengerti fotografi, dia tidak harus menjadi fotografer yang hebat. Tapi ia harus mengerti fotografi, dia harus mengerti yang khas dari fotografi, fotografi adalah bahasa tersendiri dari bahasa tulis, ada hal-hal tertentu yang kita harus pahami. Memahami bahasa fotografi itu tidak mentang-mentang anda mengerti bahasa tulis anda bisa mengerti bahasa fotografi. Itu sesuatu yang lain lagi. Seperti yang tadi saya katakan, fotografi itu dua dimensi, di sisi jurnalistik tulis, anda bisa mengatakan harus memenuhi prinsip 5W 1H. Tapi bisakah foto jurnalistik memenuhi prinsip 5 W 1 H, tidak akan pernah. Tidak pernah suatu foto pun yang menggambarkan tentang SBY pun tidak akan pernah anda bisa memenuhi prinsip 5W 1H. Anda bisa mengatakan “Oh ini SBY.” itu kalau anda orang Indonesia dan and baca berita dan anda tidak buta huruf, ya kalau ada orang Afrika atau Amerika yang bahkan tidak tahu Indonesia itu di mana, bagaimana bisa mengatakan kalau itu adalah SBY, atau itu adalah Susilo Bambang Yudhoyono, presiden Indonesia. Tidak mungkin, kecuali Anda menulis di bawahnya, “Presiden RI SBY sedang memberikan intruksi tentang Gayus atau segala macam,” harus ada tulisannya kan. Dan karena itulah kadang-kadang wartawan menganggap remeh pada fotografi. Nah, seorang redaktur foto yang baik harus memahami kelemahan itu. Pertama-tama dia harus bukan mengatakan bahwa fotografi itu satu karya seribu kata. Itu yang menurut saya membuat persoalan menjadi runyam. Karena ada tuntutan. “Fotolu mesti bicara doong! Katanya satu foto itu seribu kata.” Eh siapa bilang. Menurut saya redaktur foto yang baik adalah harus bisa memahami kekurangan dan kelemahan fotografi itu sendiri. Dari situlah baru dia berpikir bagaimana dia bisa membuat ini jadi lebih berbicara. Dengan cara apa, dengan pendekatan apa. Apakah ini persoalan teknis, komposisi, konten atau apa pun. 

Selain itu yang dibutuhkan oleh dunia fotografi adalah lebih banyak adanya kritikus fotografi. Kita tidak punya penulis fotografi. Saya sudah lama tidak nulis, begitu saya tidak nulis siapa yang menulis, nggak ada juga yang nulis. Dulu saya rajin nulis, lalu saya kira sudah cukup waktunya tidak perlu menulis. Siapa sih yang menulis, kalau tidak Firman Ichsan, Oscar Motuloh, Seno Gumira kadang-kadang kalau dia lagi ada waktu atau lagi tertarik sama fotografi. Dan yang kredibel yah maksudnya. Mereka yang saya sebut kalau mereka menulis memang ada argumentasinya mereka memang membaca mereka tahu sendiri dunianya. Tapi yang lain-lain, ya banyak yang asal-asalan, banyak yang plagiat pula. 

Jadi peran kritikus fotografi sangat dibutuhkan? 

Perlu sih perlu. persoalannya adalah seberapa penting sih masyarakat melihat, menganggap fotografi. Perlu sebagai apa? sebagai barang seni, barang informasi, hiburan atau apa pun. Sebenarnya itu yang perlu dipertanyakan. Fotografi itu bisa menjadi apa saja sih sebetulnya. “oh saya perlu fotografi karena saya butuh bikin foto untuk passport.”. Tapi itu butuhnya satu kali lima tahun dan itu fotonya gitu saja, tidak perlu diapa-apain. “Saya butuh karena saya pingin tahu letusan gunung berapi di Jogja seperti apa, Jogja jadi seperti apa.” Itu sebagai informasi “saya butuh foto pacar saya, istri saya, atau anak saya.” Itu jadi bagian dari memori “Saya butuh karena saya suka karyanya August Sander atau Ansel Adam, Eugene Smith, Cartier Bresson, saya ingin memilikinya karena saya mengapresiasi itu.” Itu yang belum ada. Yang lain-lainnya sih udah ada: sebagai souvenir, kenang-kenangan, kebutuhan administrasi, kebutuhan informasi, itu sudah ada. Yang belum ada adalah sebagai karya seni. Ada beberapa seniman atau fotografer Indonesia yang karyanya sekarang mulai dibeli, mulai dikoleksi, tapi jumlahnya masih sedikit. Jumlah kolektor foto masih sedikit, saya belum tahu persis jumlahnya, tapi tampaknya masih terlalu sedikit. Dan cenderung ke karya fotografi yang artistik, tapi karya-karya jurnalistik seperti Oscar pun belum benar-benar dikoleksi oleh kolektor dalam jumlah yang cukup signifikan. Dan menurut saya itu adalah antara lain peran galeri-galeri, seperti Antara, yang mesti mendorong ke arah sana. Karena dari sisi—sori rada mengkritik—dari pembangunan wacana saya rasa sudah cukup. Wacana dalam arti fotografi itu penting bisa merubah dunia dan segala macam. Yang dibutuhkan adalah level berikutnya bisa nggak sih orang menghargai itu, tidak sekedar datang menghadiri pameran dan memuji tetapi “Aku ingin memilikinya, aku ingin menghargainya, saya menganggap ini sebagai investasi, saya yakin bahwa karyanya Oscar Motuloh sepuluh tahun kemudian itu akan berkali-kali lipat nilainya” itu yang dibutuhkan.

Apakah fotografer Indonesia yang berkarakter dalam karyanya? 
Ada satu dua fotografer yang punya karakter tetapi justru tidak tempat. Salah satunya adalah yang sekarang saya tidak yakin dia masih motret atau tidak: Muhamad Iqbal. Tapi menurut saya di tahun-tahun terakhir sebelum dia menghilang dia menghasilkan  beberapa karya foto yang menurut saya berkarakter dan tadinya ada harapan dari saya bahwa bukan orang yang akan mengikuti gayanya tetapi orang kemudian akan berpikir “Ternyata bisa begitu yah, berarti saya bisa membuat karya saya seperti itu dong.” Nah menurut saya itu yang hilang. Sempat terpercik terus hilang. Saya beberapa kali berbicara dengan Muhamad Iqbal bahwa betapa frustasinya dia di lingkungan fotografernya karena dia merasa tidak diterima dengan karya-karya yang dia buat. 

Jadi ruang yang tersedia masih kurang untuk fotografer? 
Kurang. Kurang banyak sekarang kalau kita bicara tentang galeri yang galeri fotografi tinggal Galeri Antara yang survive. Oktagon masih ada, tapi galerinya sudah tidak beroperasi lagi setahu saya. Saya sudah lama sekali tidak terima undangan. Kemudian galerinya punyanya Deniek Sukarya juga sudah tidak ada. Saya sendiri juga galeri I See juga sudah tidak beroperasi. Jadi satu-satunya yang bertahan hidup, sustain adalah Galeri Antara. Dan itu sangat disayangkan. Sebetulnya sih itu tidak masalah seandainya museum dan galeri lain itu juga mengundang dan memamerkan dan bahkan kalau perlu, kalau seperti di Amerika dan Eropa, mereka membeli karya fotografi itu. Bahkan ketika kita melihat praktek seperti di ... ketika museum membeli karya seniman, entah itu fotografer atau bukan, maka seniman itu mendapatkan stamp of approval dan itu jadi membuat namanya dan harganya juga jadi naik. Di Indonesia kan belum terjadi seperti itu. Kurang di situ, kurang juga di kritikus, dan juga kurang di kurator. Karena kalau kita ngomong kurator fotografi juga tidak ada ya paling itu-itu lagi. Firman Ichsan, Oscar, saya nggak tahu siapa lagi yang bisa saya anggap sebagai kurator.

Jadi kuncinya adalah menghasilkan orang-orang dalam lingkup fotografi diluar fotografer itu sendiri seperti contohnya kurator?
Bisa tapi persoalannya kan bukan sekedar mengeluarkan output yang memproduksi, orang-orang baru, apakah fotografer atau kurator, tapi seluruh ekosistemnya harus ada. Ekosistemnya ya itu tadi, harus ada consumer, pembeli, kolektor, harus ada wadah galeri, berarti harus ada yang mendanai galeri itu. Harus ada komunitasnya. Harus ada cukup banyak ragam jenis kerjaan, sehingga fotografer itu nggak hanya bertumpu pada satu tapi bisa hidup dari yang lain-lain. Jadi misalya, dia seorang footgrafer jurnalistik, dia menerima assignment dan segala macam tapi dia juga menerima royaltinya misalkan dari foto-fotonya yang dimuat. Kemudian dia bisa hidup karena diundang oleh sebuah museum atau koleksinya dibeli oleh museum, jadi sumber penghasilannya nggak cuma satu tapi ada dua, tiga atau empat. Kemudian ada penerbit yang mengatakan “Ini aku mau menerbitkan bukumu, royaltinya sekian, bukumu dijual sekian.” ada beberapa sumber yang diandalkan sebagai nafkah. Sekarang ini kan tidak. 

Sekarang anda lebih berkutat dengan industry kreatif dan tidak spesifik pada fotografi lagi. Mengapa?
Saya merasa bahwa persoalannya kita hanya berkutat pada sekitar  bahwa kita harus menghasilkan lebih banyak fotografer baru, harus mendorong orang itu lebih kreatif lagi, saya soalnya udah nggak di situ. Masalah adalah persoalan tadi itu loh: konsumennya mana. Dan ekosistem yang akan membantu si pencipta ini ketemu dengan pembelinya itu mana. Makanya saya jadi sangat tertarik dengan kreatif. Lima tahun terakhir saya lebih sering berkutat di isu seputar industri kreatif. Jadi nggak spesifik di bidang fotografi, ya di musik bisa. Tapi bukan berarti saya mendalami musik tapi lebih pada bagaimana sih indusitrinya, bagaiman kendalanya, apa sih tantangan dan kesempatan-kesempatannya. Kebijkan-kebijakan apa aja sih yang seharusnya ada tapi tidak ada. Siapa saja entrepreneur yang sudah melakukan itu tapi tidak dihargai dan tidak dijustifikasi. Jadi bagi saya persoalannya sudah bukan lagi sekedar menghasilkan generasi fotografi baru. Mendorong untuk jadi kreatif lagi, itu sudah berjalan. 

Apa yang anda bisa katakan untuk para pelaku dan pecinta fotografi di Indonesia? 
Coba melihat di luar duniamu. Coba melihat di luar hal-hal yang teknis. Fotografi, komposisi, dan segala macam. Coba lihat ke yang lebih real, bukan lebih real, tapi coba melihat persoalan ini dengan keluar dari kotak  dan melihat lebih luas dan pahamilah bahwa sekedar punya talent, skill, sekedar bisa bikin foto bagus tidak akan membuat anda sukses sebagai fotografer. Harus ada komponen-komponen lain gitu, lho. Dan kalau memang ada punya bakat di bidang itu, menjadi entrepreneur, kurator, kritikus, art dealer, maka jadilah. Jangan terpaku untuk menjadi fotografernya. Karena sudah banyak fotografer yang kita butuhkan adalah enterpreneur-nya, kurator, kritikus, pemilik galeri, orang yang bisa menggerakkan konsumer untuk mulai menghargai fotografi di luar wacana tapi juga dengan uangnya untuk menghargai itu. 

Saya tidak mengatakan semua-muanya diselesaikan dengan uang tapi ya bandingkanlah dengan seni lukis. Jelas, walau ada kontroversi bahwa harganya digoreng-goreng tapi tetap jelas mereka bisa hidup dari menjual lukisan. Di fotografi itu masih problem. Dan kalau saya bicara membeli karya fotografi itu bukan berarti membeli karya yang harganya satu milyar, bukan, bahkan membeli small print 8x10 cm. Mulai dari koleksi kecil-kecilan, harganya mungkin cuma satu juta atau satu juta setengah udah dapet karyanya Oscar Motuloh tapi 8 x 10 cm. Atau karyanya Erik Prasetya atau siapa. Itu udah bagus. Tapi juga tidak cukup kan membeli itu. Itu harus tetap dibangun, momentum itu harus tetap dibangung, ini karyanya Erik yang 1,5 juta harganya sekarang 10 tahun lagi harganya 10 juta . 

***
Jangan lupa mampir ke RU Images juga yah. Banyak artikel dan wawancara dengan fotografer lainnya yang perlu banget kita simak. Siapa tahu juga dengan kita banyak mampir ke RU Images, mereka jadi pengin aktif lagi. hehe. 

4 komentar

Anonim mengatakan...

Ralat namanya bro, yang bener Deniek Sukarya bukan Benny Sukarya.

terlalurisky mengatakan...

@Putusayoga: Sip, thanks, Mas... Benny Sukarya sudah saya ganti jadi Deniek Sukarya. :D

leo putra adi iriantoro mengatakan...

Atikel tentang 'Fotografi' yang anda tulis sangat menarik dan bagus.

Kita juga punya artikel mengenai 'Fotografi', silahkan dikunjungi dan dibaca , berikut linknya



http://fotografi.blog.gunadarma.ac.id/?p=3494


terima kasih

semoga bermanfaat

leo putra adi iriantoro mengatakan...

Atikel tentang 'Fotografi' yang anda tulis sangat menarik dan bagus.
Kita juga punya artikel mengenai 'Fotografi', silahkan dikunjungi dan dibaca , berikut linknya

http://fotografi.blog.gunadarma.ac.id/?p=3494

terima kasih
semoga bermanfaat

Posting Komentar

© blogrr
Maira Gall