23 Juni 2012

Getting Far For Another Reason (+bonus Mixtape)


Peribahasa berkata bahwa terkadang gajah yang ada di pelupuk mata bisa tak terlihat, sementara semut yang di seberang lautan bisa tampak.  Saya nggak begitu tertarik dengan arti yang ditawarkan oleh buku-buku pelajaran yang mengaitkan peribahasa ini dengan kemunafikan kita dalam melihat mana kebenaran dan kesalahan. Apalagi kalau mengingat gajah yang dipilih menjadi metafora dari kesalahan. Padahal kan gajah itu binatang yang – kalau menurut film kartun -  adalah binatang baik dan lucu. Haha.

Ketika saya tiba-tiba mengingat peribahasa ini pun justru saya nggak ingat dengan apa makna umumnya itu. Perspektif yang dipandang oleh renungan saya justru tertuju pada konsep jauh dan dekat. Lucu yah, bisa-bisanya  gajah yang besar dan dekat tapi nggak terasa keberadaannya. Sementara semut yang mini dan nyaris nihil nan jauh di sana justru bisa begitu intim dengan pandangan mata kita yang terbatas. Saya pun jadi bertanya, apa benar dekat bisa membuat kita menjadi intim dan menjauh bisa membuat kita lupa?


Mengenai hal ini, saya jadi ingat cerita seorang kawan saat ia sedang berlibur ke benua seberang yang konon jauh lebih indah dan teratur di banding Indonesia. Dari rangkaian cerita yang ia kirimkan lewat email, ia sempat berkata kalau saat jauh dari Indonesia seperti saat itu, justru bikin ia sadar betapa ia cinta dengan tanah air ini “apa yang mengalir di darah nggak bisa dibohongin,” sebutnya.
               
Cerita serupa juga datang dari seorang traveler cantik yang pernah didaulat menjadi Putri Indonesia di tahun 2005, Nadine Chandrawinata. Beberapa waktu lalu saya berkesempatan mewawancara dia soal pengalamannya bertualang liburan. Sejak ia memulai hobi bertualang menantang adrenalinnya di tahun 2005, sudah banyak tempat yang dijelajahinya. Baik dalam maupun luar negeri. Kota maupun alam terbuka. Tak hanya keindahan bawah laut yang ia sudah selami, puncak Himalaya di Nepal sana pun sudah ia daki. Nggak heran rasanya kalau saat bercerita tentang pengalamannya itu, ia sangat berapi-api dan banyak terselip ungkapan-ungkapan filosofis.

Lucunya, Nadine pun berkata bahwa  terlalu sering mengenyam keindahan-keindahan alam membuat ia lupa seperti apakah keindahan itu sebenarnya. Di saat berada di alam indah yang jauh dari rumahnya itu pun Nadine justru merasa sangat rindu dan butuh untuk merasakan hiruk-pikuk Jakarta. “Gue suka kangen sama macet dan panasnya Jakarta kalau lagi lama berada di alam terbuka,” repet Nadine.

Setelah diam beberapa saat sejak ia mengatakan itu, Nadine pun seolah menemukan kalimat yang bisa menyimpulkan esensi yang ia rasakan itu “Gue nggak bakal tahu betapa nikmatnya pulang kalau gue nggak berangkat pergi ke tempat yang jauh dan lama,” kira-kira begitulah yang disebut Nadine.

Kita baru tahu persis apa arti pulang setelah kita tahu juga artinya pergi.

Dalam keseharian, menjauh memang kerap diartikan sebagai suatu keadaan yang nggak melulu enak. Menjauh sama dengan merentang jarak antar ruang dan waktu. Memangkas kemungkinan untuk berinteraksi secara langsung. Bahkan parahnya lagi, mereduksi memori dan perasaan. Betapa pun teknologi sudah memberikan penawarnya, tetap saja esensinya kerap semu.

Dulu, kira-kira lima-enam bulan lalu. Saya memutuskan hengkang dan berpindah tempat kerja. Bukan cuma keakraban serta kehangatan suasana kantor di rumah tak bertingkat di kisaran Menteng saja yang saya jauhi, tetapi juga seperangkat ihwal yang biasa saya giati selama menulis sesuai bidang majalah tempat saya kerja itu: seni.

 Kalau di tiga-empat bulan pertama saya merasa kebal untuk nggak lagi duduk manis menyaksikan beragam kesenian yang walau nggak saya ngerti keseluruhan – tapi saya menikmati – di bulan keempat dan kelima saya seperti merasa ada puzzle yang hilang. Padahal dulu, menulis tentang seni sering terasa begitu sulit, apalagi daya interpretasi serta pengetahuan seni rupa saya   masih jongkok adanya. Apalagi saat mengunjungi pameran seni yang terlampau 'tinggi' yang kadang memaksa saya  untuk sok berkonsentrasi. Hasilnya, nggak jarang saya jadi bosan. Tapi sekarang, yang ada malah saya jadi rindu bukan kepalang.

“Justru kangen itu bisa ada ketika kita jauh kan,” Kali ini seorang kawan lain bercerita tentang cowok yang tiba-tiba menghubunginya setelah sekian lama menghilang dan menjauh darinya.

Keinginan adalah sinonim dari hasrat atau nafsu, sementara kebutuhan adalah hal yang mutlak harus kita penuhi.  Ketika semua keinginan jadi begitu samar dengan kebutuhan, maka kerinduan bisa jadi hakimnya. Karena rindu itu lahir dari kebutuhan untuk saling bertemu. Dan rindu itu lahir dari perkawinan jauhnya jarak dan lamanya waktu. Nah, dengan menjauh kita benar-benar bisa mengetahui keinginan mana yang sekaligus menjadi kebutuhan kita. Kita tahu ke manakah nafsu ini harus diburu.


Pantas saja kita nggak akan bisa melihat gajah yang ada di pelupuk mata, karena yang akan kita lihat hanyalah abu-abu. Itu pun pasti buram. Kita perlu menjauh barang satu atau dua langkah untuk bisa mengetahui bahwa abu-abu itu adalah warna dari kulit gajah. Lantas, ketika kita sudah tahu benda itu adalah gajah, kita pun bisa memilih untuk meneropong semut yang ada di seberang lautan.

Kadang, terlalu dekat dengan sesuatu membuat kita nggak tahu apakah (esensi) sebenarnya sesuatu itu. Seperti rangkaian kata yang berhimpitan terlalu dekat. Nggak akan mudah terbaca.

 Sekali pun sesuatu itu adalah kesukaan kita, terlalu larut melakukan hal yang itu-itu melulu ternyata bisa bikin kita jenuh dan begah. Kita butuh membuat jarak agar bisa membacanya lebih jelas. Kita perlu menjauh untuk melihat keseluruhan semesta. Setelah itu pun kita bisa memilih titik manakah yang paling menarik perhatian untuk kita singgahi. Untuk kita jadikan 'rumah'

===============================================

Bonus Mixtape

Donlot di sini


Taraa!! Saya datang bawa hadiah, lagi-lagi berupa kompilasi lagu alias mixtape. Pastinya, kali ini tema mixtapenya disesuaikan dengan posting ini. Tentang jarak dan menunggu.

Ada delapan lagu yang saya rajut untuk menemani kita entah itu saat pergi menjauhi sesuatu atas alasan yang positif atau saat perjalanan pulang ke 'objek' yang sudah kita anggap rumah. Dalam durasi kurang lebih setengah jam, kita bakal disuguhkan lagu-lagu yang minim vokal dan kaya  akan musik-musik minimalis. Tapi tenang, bukan berarti mixtape ini mengajak kita untuk galau. Musik-musik tanpa lirik yang saya pilih nuansanya lebih fun. Tapi tetap kontemplatif. Pokoknya asik deh untuk menemani kita sedikit menjauh dari realita, menyelami diri sambil menuliskan sendiri lirik untuk musik-musiknya. Haha.. enjoy!

Enjoy!

5 komentar

baghendra mengatakan...

lagi kenapa sih lo ki?, rindu ya?...
sama sapa?,haha...

terlalurisky mengatakan...

bhaha, kenapa harus siapa? bukan apa? :p

Karina Saputri mengatakan...

menit 7:21! anjrit gue suka bagian2 kayak gitu >.<

punya siapa ituuuuuu..eh btw ijin unduh gan :P seminggu ini dengerin mixtape ini terus :))

Candella Sardjito mengatakan...

sedang semacam random blogwalking, dan saya super suka tulisan ini! :D
maaf mengintip2 secara random ya ;)

SiapaSayaSiapaAnda mengatakan...

insting dasar baigan kerak...semua manusia
:)
ga pernah puas dan pemBosan.
hohoho...


macet terus, stres
bengong di hutan, stres
pulsa abis, stres
diteLponin majikan molo, stres
deadline kerjaan numpuk, stres
jadi pengangguran, stres


*halah*

Posting Komentar

© blogrr
Maira Gall