22 Februari 2012

Ketika Jakarta Pesta Senirupa


Jika dipersonifikasikan, Jakarta itu seperti orang kaya baru, ingin memiliki semua hal yang sebelumnya hanya menjadi mimpi, hal-hal yang menjadi indikasi kota besar mengacu ke negara-negara maju. Puluhan juta kendaraan bermotor didatangkan, ribuan gedung asal di’beli’, ratusan mal dijejalkan diseluruh penjuru kota.

Sebagai ibukota, Jakarta akhirnya berhasil menjadi kota impian bagi masyarakat seluruh Indonesia. Sebagai orang kaya baru pun Jakarta tidak mau sombong dengan menolak tamu. Semua lapisan masyarakat dipersilakan untuk sekedar mampir atau tinggal selamanya.

Nyaris semua ruang di Jakarta diisi oleh para pendatang. Kini, penduduknya bisa mencapai 9 juta orang. Sialnya, Peningkatan kekayaan tidak diiringi dengan pengembangan pemerintahnya. Alhasil, kemajemukan di Jakarta yang saling berkelidan ini memendam banyak problema. Jakarta sudah mencapai titik maksimum yang jika dibiarkan lebih lama lagi akan meledak dan binasa.

Gelaran Jakarta Biennale #14 yang resmi dibuka pada 15 Desember 2011 mencoba merespon kekacauan kota ini dengan mengangkat tema Maximum City: Survive or Escape?. Serangkaian pameran serta pertunjukan seni rupa digelar menyebar di beberapa tempat di Jakarta. Tak hanya di galeri, Jakarta Biennale pun selalu menghadirkan karya-karya di ruang publik.
Bertempat di Galeri Nasional, sejumlah karya seni dengan subtema Violence and Resistance dipamerkan sepanjang 15 Desember – 15 Januari 2012. Secara garis besar, karya-karya di pameran ini bisa menampilkan sindiran – baik halus maupun sarkas – untuk sebuah kota yang padat seperti Jakarta, dan solusi alias cara-cara untuk menyikapi keberantakan kota.

Yudhi Sulistyo, misalnya, menampilkan sebuah tank besar yang sangat menyerupai bentuk dan ukuran aslinya. Tapi dibalik imaji kokoh dan perkasanya, ternyata tank tersebut bukan dibuat dari besi dan baja melainkan dari gabus, sebuah materi yang lembek dan mudah dihancurkan. Tank ini sama hal nya dengan Jakarta yang ingin dilihat sebagai kota kaya, tetapi isinya miskin seada-adanya.

Seperti biasa, Jakarta Biennale #14 ini pun mengundang artis-artis luar negeri untuk turut memajang karya. Ai Wei Wei salah satunya, ia menampilkan kursi-kursi yang tersusun menyatu. Konon, ini adalah kali pertama karya Ai Wei Wei tampil di Indonesia.

Karya Lyra Garcelino pun sangat menarik perhatian. Simpel namun memancing banyak interpretasi. Sebuah ruang denagn tangga tinggi yang menjulang yang disorot lampu redup hingga menimbulkan bayangan panjang dan besar dibawahnya. Karya yang jika diterjemahkan ke Indonesia berarti “Seberapa Dlaam Lautan, Seberapa Tinggi Langit,” ini seperti sebuah puisi.

Menyapa Publik Lebih Akrab
Seperti yang sudah disebutkan, Jakarta Biennale #14 kali ini banyak menampilkan karya-karya di ruang publik. Di taman Ayodya, Barito, Jakarta Selatan misalnya, ditampilkan lukisan-lukisan potret berukuran besar gubahan komunitas Wedha Potrait Art project, komunitas yang digagas oleh Wedha Abdul Rasyid, ilustrator yang dikenal dengan karya pop art-nya

Menariknya, karya lukis potret ini menampilkan orang-orang yang berada di sekitar Ayodya. Dari mulai tukang parkir, penjual minuman, hingga komunitas pengamen. Karya ini menjawab keresahan para masyarakat biasa yang sebenarnya memiliki pengaruh terhadap lingkungannya.

Bentuk apresiasi terhadap masyakarat yang terpinggirkan pun dilakukan oleh kelompok seni Ambitex. Mereka membuat sebuah instalasi mainan anak di ruang terbuka, tepatnya di kolong jembatan Ancol, Jakarta Utara. Mereka membuat besi-besi kotak penuh warna bernama Bakdang alias Jebak Kandang. Sejak kali pertama mainan ini dipasang anak-anak di sana sangat senang bermain.

Mainan anak pun menjadi tema yang diangkat pada karya-karya di Taman Menteng, Jakarta Pusat. Kelompok desainer Arthura menampilkan tiga mainan tradisional jakarta dalam ukuran besar dan dibuat dari rotan. Tiga mainan yang tergabung dalam karya yang berjudul “Let’s Fly to The Past” ini adalah yoyo, dorongan burung-burungan dan gasing. Melihat karya ini ditengah kesibukan kota lalu-lintas Jakarta tentunya membuat kita akan mengenang masa kecil kita yang menyenangkan.

Seni pertunjukan pun menjadi ragam sajian Jakarta Biennale di Taman Impian Jaya Ancol, satu contohnya adalah aksi “The Dress – Sebuah Penampilan Gaun Merah Panjang” yang merupakan aksi kolaborasi antara Julie Laffin (USA) dan Ivana Stojakovic (Serbia). Ivana melakukan aksi tidur selama satu jam dengan menggunakan gaun merah sepanjang 8 meter. Gaun tersebut dibentangkan ke atas dan diikat. Sementara sang artis tergeletak tidur di sebuah stage kecil. Pertunjukan ini, seperti yang disebutkan oleh Julie Laffin saat ditemui Far, adalah bentuk suara wanita tentang tekanan stereotipikasi masyarakat akannya. Sepanjang aksi tidur itu diputar rekaman suara yang berisi kalimat-kalimat yang menyatakan situasi berlebih.

Keberadaan seni di ruang publik tentunya membawa suatu suasana baru bagi para masyakarat. Mereka bisa dengan mudah melihat karya seni rupa yang biasanya hanya ditaruh di galeri atau museum, itu pun aksesnya terbatas. Pastinya, hal ini akan meningkatkan literasi masyarakat terhadap seni rupa. Terbukti, selama berlangsungnya acara – pada aksi The Dress misalnya -  masyarakat luas menyaksikan dengan antusias.

Selain itu, karena yang direspon oleh karya-karya seni ini adalah fenomena yang terdekat dengan masyakarat sekitarnya. Masyarakat pun merasakan benar manfaat dan fungsinya. Melalui seni rupa juga, masyarakat diajak untuk melihat fenomena yang mungkin tidak disadari telah terjadi di sekitar.

Melihat kemeriahan ajang kali ini, rasanya pantas untuk menyebut bahwa Jakarta Biennale #14 sukses membuat Jakarta berpesta seni rupa.



*Ditulis untuk Far Magazine , 22 Februari 2012

Tidak ada komentar

Posting Komentar

© blogrr
Maira Gall