13 September 2010

Mencari Iba di Jakarta

Barusan saja melintasi jalanan di Jakarta. Berjalan di dalam aquarium bermesin alias mobil. Sepertinya emang nggak pernah bisa lepas dari pengemis disetiap mobil-mobil berhenti, apalagi saat di lampu merah. Disitu lah tempat paling strategis untuk mengemis.
Hmm rasanya setelah banyak media massa mencari, lalu menemukan kenyataan yang mengagetkan tentang seperti apa pengemis sebenarnya. Terkuak bahwa ada beberapa pengemis yang akting. Ketauan seorang yang sebenernya tidak pincang dan memiliki kaki, namun ngesot dijalanan. Ada juga yang mengorganisir anak-anak kecil bahkan balita untuk memelas kepada kita, kaum berada.
siapa juga yang nggak ngerasa dikadalin setelah tau semua fakta tersebut. Mindset kita tentang pengemis langsung berubah. Pengemis tak lain seperti seorang penjahat yang melakukan penipuan. Pengemis itu sekelompok pengganggu pemandangan kota, di tengah keseharian kota yang indah, pengemis selalu memperlihatkan borok mereka. Mempertontonkan betapa dekilnya anak-anak pinggiran.
“Jangan dikasih, itu anak yang digendong anak sewaan tau, biar kita kasian aja.” “Ih, banyak tau pengemis-pengemis yang sebenernya kaya, bahkan punya mobil. Pengemis udah jadi profesi. Gilak yah.” Atau “Jangan dikasih, banyak pengemis yang ternyata pura-pura buntung. Lukanya sengaja nggak diobat-obatin biar bisa ngemis terus.” Coba ngaku siapa yang nggak perna ngomong atauu minimal mikir kayak gini. Nggak ada kan. Ini adalah bukti kalo persepsi kita tentang pengemis berubah, apalagi setelah dibenarkan dan didukung oleh media yang sering mengekspose kehidupan dibalik layar pengemis.
Tapi, barusan gua mikir, mungkin semua itu mereka lakukan karena “menimbulkan rasa iba di masyarakat kota itu susah.” Apalagi kita (masyarakat kota) sudah punya jawaban bersama untuk pembenaran “Siapa suruh datang ke kota, kalau nggak tau mau kerja apa”
Gua harus mulai belajar percaya kalo “mereka nggak akan ngemis kalau nggak punya alesan.” So, postive thinking aja ki..

2 komentar

Posting Komentar

© blogrr
Maira Gall