Berdiam manis entah di mana pun. bahkan di tengah kericuhan hidup. Pulpen dan kertas sebenarnya adalah dua alat yang paling tepat untuk menemani, kalau saja saya sendiri atau minimal nggak ada orang yang tau apa yang saya mau tulis. Ada semacam cermin di tempat saya menaruh tatapan, menyebabkan saya punya teman untuk berdialog. Segala macam hal kami diskusikan, dari yang sepele sampai yang filosofis. Ternyata saya banyak mau tau juga saat itu, skeptis terhadap banyak hal. seperti pada psikologi seseorang, cinta, seni, masa depan, sampai masalah Tuhan. Absurd memang, tapi saya menikmatinya,
Hingga datang ketika waktu memanggil saya untuk bermetamorfosis. Karena ternyata saya lebih sering berlarut-larut bahkan hanyut dalam kecemasan, perasaan yang melankoli, atau pun kebuntuan pikiran. Maka saya tinggalkan kebiasaan itu, mengalihkan perhatian tiap ada undangan diskusi. Lalu memilih untuk meremehkan, menutupinya dengan bersenang-senang. Ah, setelah 2-3 tahun, sekarang saya justru merindu. Merasa butuh. Lebih baik pikiran buntu tapi jadi banyak tahu daripada kosong tak berarah. Lebih baik cemas sesaat tapi jadi waspada daripada lupa dan berlalu.
Kini saya berrencana untuk sering-sering mengadakan pertemuan lagi, untuk berdialog dengan diri sendiri. yang lebih berisi, tidak melulu melankoli, dan menghasilkan solusi.
Tidak ada komentar
Posting Komentar