31 Oktober 2015

Ditinggal Pak Raden



Kamis (29/10) malam kemarin, Sundea (Dea) dan saya ngobrol di WhatsApp. Dea meminta kontak manajernya Pak Raden, Mas Chus namanya. Ada kawan Dea yang ingin mengajak Pak Raden gabung di suatu program. Setelahnya, saya dan Dea membahas soal unyil, arsip filmnya, PFN, dan dilanjut cerita Dea tentang masa kecilnya yang tinggal nggak jauh dari kawasan PFN berada, Kampung Melayu.

Jum'at (30/10) malam kemarin, saya dapat kabar dari Bob, kawan ngekos dulu di Jatinangor. Udah lama kami nggak bertukar kabar. Dan tak disangka, sekali-kalinya berkabar, kabar yang dibagi Bob kali itu adalah kabar meninggalnya Pak Raden. Saya nggak percaya. Mana mungkin bisa seajaib ini, baru semalam saya membahasnya, kini beliau sudah tiada. Kepada Bob, saya tanyakan sumber informasinya. Katanya, ia dapat dari redakturnya yang ikut menjenguk ke RS Pelni. Kabar duka ini memang benar adanya.

Saya langsung mengabari Dea. Tak bisa panjang-panjang. Cuma satu kalimat dan satu emoticon penanda sedih. Menyampaikan duka itu nggak gampang ternyata.

Saya jadi mengenang-kenang. Kisaran 2011-2012, cukup sering 'main' bareng Pak Raden dan mas Chus, yang paling diingat ada empat. Pertama, saat pak Raden merayakan ulang tahunnya yang ke-79. Saya dan teman-teman FAR magazine datang mengunjunginya, atas undangan dari Mas Chus.

Kedua, saat menemani Dea mewawancara pak Raden untuk blognya, Salamatahari. Ketiga, saat pak Raden ikut serta mengisi acara di acaranya Card to Post. Beliau jadi pembicara. Pun Beliau turut menggambar kartu pos. Dengan kursi roda, ia datang. Tetap terlihat gagah dengan kostumnya. Keempat, saat Pak Raden diajak main ke ruangrupa untuk nimbrung corat-coret bareng teman-teman Gambar Selaw (Galaw). Saya nggak bisa gambar, tapi melihat beliau menggambar dari dekat adalah suatu kesenangan tersendiri. Bener deh, bikin seneng banget. Tiap kali muncul ke publik, pria bernama asli Drs Suyadi ini selalu totalitas menjadi Pak Raden. Bahkan, ketika sedang berpakaian biasa dan ada seseorang mengajaknya berfoto, beliau menawarkan diri untuk berbusana dulu, atau seenggaknya berpose persis seperti gaya pak Raden. Seolah lupa dengan kondisi fisiknya yang tua.

Saya kian mengidolainya. Sosok dengan karya melangit dan pribadi membumi kayak beliau adalah sosok yang udah pasti jadi idola saya, sih. Semacem ngingetin, gue pengen harus bisa jadi orang yang kayak gitu. 

Di pertemuan pertama saya dan beliau, saat perayaan ultahnya ke-79, beliau sempat bercerita kepada kami tentang perasaannya ketika ada yang membeli karyanya. Katanya, "Tiap kali lukisan laku rasanya itu seperti lagunya Anang, Separuh Jiwaku Pergi. Perasaan senangnya itu cuma saat dapet uang saja, selebihnya sedih. Lukisan yang biasanya tiap hari bisa saya lihat di rumah tiba-tiba nggak ada," begitulah ungkap pria yang bercita-cita ingin memiliki studio kartu seperti idolanya, Walt Disney, ini. 

Mengharukan sekali, pemirsa! Betapa dekatnya dia dengan karya-karyanya. Dan betapa sepenuh hatinya dia dalam berkesenian.

Kini, tak cuma separuh jiwanya yang pergi, jiwa Pak Raden sudah meninggalkan kita seutuhnya.

Selamat jalan, Pak. Terima kasih sudah berkarya, menghibur anak-anak, menularkan semangat berkarya.  Terima kasih untuk semua-mua-mua-mua-muanya. Salam ceria selalu! :(:







Tidak ada komentar

Posting Komentar

© blogrr
Maira Gall