12 April 2015

KARTU UCAPAN (cerpen dari serial Lupus: Sendal Jepit karangan Hilman)



MENJELANG Hari Valentine Gusur punya kesibukan baru. Setiap hari, sepulang sekolah dia selalu bikin sajak cinta. Kadang-kadang sampe larut malam. Sambil nongkrong di gardu ronda di depan gangnya, sambil menatap sinar bulan, dan sambil sesekali mencomot kue pancong bekal dari engkongnya, lahirlah berbiji-biji sajak cintanya. 

Besoknya Gusur mulai memasarkannya ke teman-teman di sekolah. 

Teman-teman banyak yang bingung. 

“Ini apa, Sur?” tanya Gito. 

“Ini sajak, Gito. Belilah. Murah meriah, kok. Lagi pula ini paten sajakku. Sajak cinta yang pantas kauberikan buat pacarmu di Hari Valentine ini.” 

Gusur memang jagoan berpromosi. Engkongnya dulu kan mantan penjual obat. Buktinya Gito termakan rayuan Gusur. Dan dengan khilaf lalu membeli sajak Gusur. 

Gusur kesenangan sampe rumah. Kemudian bikin sajak lagi. Sampe larut malam. Sampe engkongnya khawatir Gusur sakit. Kalo sakit kasian anak ini. dokter-dokter pada menolak untuk merawatnya. 

Waktu dibawa ke dokter umum, ada dokter umum yang segitu marahnya sama engkongnya Gusur. 

“Bapak menghina saya ya, saya kan bukan dokter hewan!” 

Tragisnya waktu dibawa ke dokter hewan, para dokter hewan pun minta maaf. 

“Wah, maaf sekali, Pak. Bukannya saya menolak. Tapi saya belum pernah menangani dinosaurus.” 

Akhirnya Gusur diobati dengan ramu-ramuan tradisional oleh engkongnya sendiri. Untung sembuh. 

Tapi kalo sakit lagi gimana? Itu makanya engkongnya Gusur ketakutan setengah mati, lalu membujuk-bujuk Gusur supaya lekas tidur. Tapi Gusur menolak dengan alasan demi kemajuan karier. Begitu juga di sekolah. Waktu Lupus secara basa-basi menasihati Gusur agar jangan tidur terlalu malam, eh, Lupus malah diajak kerja sama. 

“Pokoknya asyiklah, Pus, kita bakal mengeruk untung besar. Aku melihat prospek cerah dari usaha ini,” bujuk Gusur segitu semangatnya. 

Lupus cuma diam. Dan bagi Gusur diam berarti setuju. Gusur langsung menyusun pembagian kerja. 

“Aku bertugas bikin sajak, dan kamu ilustrasinya ya, Pus.” 

Lupus manggut-manggut. 

Gusur ternyata punya selera dagang yang lumayan. Kalo lagi kepepet, dia suka jual-jual barang. Tapi kali ini Gusur punya rencana membuat kartu Valentine. Makanya dia ngajak kerja sama Lupus. Soalnya udah berapa lama ini lupus lagi getol-getolnya belajar ngegambar. Eh, nggak dikira bakat gambar lupus lumayan juga. Gambarnya bagus-bagus. Terutama dalam hal menggambar yang rumit-rumit. Misalnya, benang kusut. 

Apa salahnya kalo bakat gambar itu dimanfaatkan oleh Gusur. Apalagi setelah tau maksudnya, Lupus juga kelihatan senang. Wah, pasti bakalan klop deh. Soalnya sajak Gusur butut banget. Jangan ada orang yang ngerti. Abis suka ngaco-ngaco gitu. Sementara cara gambar lupus juga suka seenaknya. Pokoknya lumayan jelek deh. 

Jadilah mereka bekerja sama.


***
Hari itu Lupus membeli beberapa lembar kertas jeruk dengan warna-warna mencolok, cat air, dan spidol. Gayanya udah kayak ibu-ibu yang belanja untuk persiapan sebulan. Tas belanjaannya penuh dengan barang-barang yang dibelinya. Untung ada Lulu yang menemani ke toko. Walau Lupus kesel dengan ulah Lulu yang merengek minta dibeliin coklat. 

Sesampai di rumah, Lupus masih punya kerjaan menggunting-gunting kertas jeruk jadi potongan kecil-kecil sebesar kartu pos. Banyak juga hasilnya. Ada kira-kira seratus lembar. 

Lupus lagi sibuk menghitung-hitung duit yang bakal didapat kalo satu kartu dijual dengan harga dua ratus perak, ketika Gusur datang dengan tergopoh-gopoh. 

“Bagaimana dengan tugas-tugasmu, Pus, selesai?” 

“Yah, dikit lagi, Sur. Sedang kamu sendiri gimana?” 

“Ada beberapa sajak yang sudah kutulis, Pus. Langsung saja kau salin di kertas jeruk itu. Besok aku sudah bisa memasarkannya di sekolah. Aku yakin produksi kita pasti laku, Pus. Soalnya orisinil. Asal kamu gambarnya yang bagus, Pus.” 

Lupus menerima sajak dari Gusur. 

“Wah, lumayan juga sajakmu, Sur. Tapi bacanya dari kiri atau dari kanan nih?” tanya Lupus setelah mengamat-amati sajak Gusur. 

“Kamu ini gimana sih, ya dari atas dong seperti baisanya.” 

“Bukan dari bawah?” 

“Itu bisa juga. Kamu kok tanya-tanya melulu. Ayolah lekas dikerjakan. Waktu adalah uang, Pus.” 

Lupus lalu mulai menyalin sajak Gusur ke atas kertas jeruk dengan spidol warna. Tulisannya dibagus-bagusin. Tentu tak lupa diberi gambar-gambar yang menurut Lupus bagus. Tapi lucunya banyak gambar yang nggak sesuai dengan isi sajak. Misalnya, Lupus seenaknya ngegambar orang lagi main bola atau nyuci celana untuk sajak cinta yang menggebu-gebu. Padahal mereka lagi membuat kartu Valentine. 

“Kok tidak melukis bunga saja, Pus. Itu kan lebih cocok dan puitis,” Gusur menyarankan. 

“Ah, bunga udah terlalu sering. Kamu tenang aja deh, Sur. Pokoknya tau bagus.” 

Dan Lupus lalu menggambar kompor. 

***

Anak-anak berkerumun di pinggir lapangan basket. Tepatnya di bawah pohon mangga yang rindang. Ada apa? Ternyata mereka lagi ngerubutin Gusur, yang tanpa malu-malu menggelar dagangannya di sekolah. Beberapa lembar kartu Valentine dipajang di atas sehelai kertas koran. Lagaknya benar-benar nyamain pedagang kaki lima yang udah profesional. 

Makin lama kerumunan makin banyak aja. Ada Nyit-Nyit, Meta, Ita, Utari, Aji, dan tentu Fifi Alone yang selalu memanfaatkan momen seperti itu untuk pamer penampilan. Kebanyakan anak-anak memang pada penasaran. Soalnya pagi-pagi begini jarang-jarang ada anak mau ngumpul di satu tempat. Itulah yang dimanfaatkan oleh Gusur. Dengan semangat ’45 dia mulai kaok-kaok mempromosikan dagangannya. 

“Ayo, mumpung Valentine masi seminggu lagi, belilah kartu valentine buatan aku dan Lupus untuk diberikan kepada orang yang kausayangi. Harganya murah, cuma dua ratus. Ada sajak. Ada gambar-gambar yang lucu. Siapa beli, ditanggung tiada rugi. Siapa tiada beli, tau sendiri ya! Ini kartu bukan sembarang kartu, kartu Valentine yang penuh mutu. Ayo, siapa beli. Mumpung belum kehabisan. Mumpung aku masih ada di sini.” 

Lupus yang memandang dari kejauhan cuma cekikikan. Begonya, banyak juga anak-anak yang tertarik dengan kecapnya Gusur. Mereka mulai mengamati secara lebih saksama. Eh, boleh juga. Aji lalu membeli satu. Disusul Fifi dan yang lainnya. Boim yang kurang dalam soal sajak-menyajak, ikut-ikutan berminat. Untuk kemudian ngutang selembar. Gusur mendelik sewot. 

“Boleh ngutang asal bayar!” bentaknya. 

“Masa sama temen sendiri nggak percaya sih, Sur.” 

Gusur merenung sejenak. 

“Ya sudah, cepat kamu ambil. Dan bayar secepatnya!” 

Boim lalu memilih kartu dengan gambar kuda lumping. 

***

Di kamarnya Aji mengelem sampul amplop dengan hati-hati. Sebuah amplop yang berisi kartu Valentine dengan warna pink. Malam sudah larut. Dan Aji masih mengelu-elus amplop itu. Kadang-kadang menciumnya dengan penuh perasaan. Soalnya kartu Valentine itu bisa berarti hidup dan mati untuk Aji. Udah lama Aji naksir Sarita, cewek yang tinggal di Kompleks Kehakiman. Bapaknya tukang jaga pintu kantor pengadilan. Bukan jaksa. Tapi biar gitu Aji sempat harap-harap cemas meneunggu uluran cinta Sarita.  Anaknya kece kok, sekece Sylvester Stallone. Maka di Hari Valentine ini Aji bela-belain ngirim kartu yang dibeli dari Gusur buat Sarita. Siapa tau diterima. 

Esoknya ketika matahari terbit, Aji bergegas mandi. Sebelum ke sekolah, ia menyempatkan diri ke kantor pos dulu. Di kantor pos ia ketemu Gito yang juga mau mengeposkan surat. 

“Na, ketauan ngirim kartu Valentine!” tuduh Gito tiba-tiba. 

Aji geragapan. Ia jadi malu karena ketangkap basah. 

“Lha, kamu sendiri mau ngapain, Git?” tanya Aji. 

“Sama kok sama kamu. Sama-sama ngirim kartu Valentine.” 

“Ah, sialan lu!” maki Aji. 

Mereka lalu mengeposkan suratnya. Aji sempat melirik surat Gito yang dikirim buat Meta. 

“He, sejak kapan Gito naksir Meta?” batin Aji. 

Di tempat yang berbeda, siangnya selagi istirahat, Anto tergopoh-gopoh lari ke bis surat yang ada di depan sekolah. Ia buru-buru memasukkan amplop yang sejak tadi dipegangnya. 

“Dua hari lagi pasti sampai. Dan dua hari lagi Svida akan tau bahwa aku begitu menyayanginya,” Anto bergumam. Kemudian ia kembali masuk kelas, bergabung dengan rekan-rekan yang lain. Di kelas ia sempat melirik Svida. Di mata Anto hari itu Svida jadi kelihatan kece sekali. Pantas Anto begitu mabuk kepayang. Karena Anto takut ngomong langsung bahwa ia suka sama Svida, terpaksalah kartu Valentine jadi perantara. 

Dan hari-hari belakangan ini, anak-anak memang banyak yang aktif pergi ke kantor pos. Mereka masing-masing tentu punya orang yang disayanginya. Nah, di Hari Valentine inilah kesempatan yang paling pas untuk menyatakan rasa sayang itu. 

***

Plung! Fifi memasukkan kartu Valentine ke dalam kotak surat. Kebetulan rumahnya dekat dengan kantor pos. Jadi sepulang sekolah, dengan gampangnya ia mampir ke situ. Matanya berinar-binar membayangkan kartu Valentine-nya dibawa oleh pak pos, untuk kemudian diserahkan kepada seorang cowok yang selama ini dikaguminya. Ih, Fifi benar-benar budak cinta deh. Sering kali dia naksir cowok, tapi gagal melulu. Padahal orangnya lumayan kece. Mungkin banyak cowok yang jadi kurang simpati sama Fifi, kecuali Gusur, lantaran sifatnya yang galak. Udah gitu Fifi orangnya juga suka pamer. Tapi untunglah bukan pamer paha. 

Sedang sama cowok yang satu ini Fifi kelihatannya serius. Abis orangnya indo sih. Jadi keren gitu. Walau namanya rada ngepas, Gino, tapi penampilannya meyakinkan. Bokapnya Gino adalah orang Indonesia yang belajar di Ceko, dan kemudian kawin sama orang sono. Memang untuk yang beginian selera Fifi nomor satu. Buktinya Gusur, satu-satunya cowok yang naksir berat sama Fifi, ditendangnya dengan ikhlas, hanya karena Gusur nggak kece. Fifi, semoga di Hari valentine kali ini kamu dapet cowok yang kamu sukai seperti halnya Nyit-Nyit. 



Lho? Iya, diam-diam ternyata Nyit-Nyit juga punya idola. Buktinya hari itu ia bela-belain ke kantor pos untuk mengeposkan kartu Valentinenya. Buat Boim, ya? Ih, amit-amit. Ngimpi aja juga ogah ngirim kartu Valentine ke Boim. Soalnya cowok yang samar-samar ditaksir Nyit-Nyit adalah Eddy. Ia anak Merah Putih juga, cuma beda kelas. Eddy anak kelas tiga. Jago basket. Jago matematika. Tapi bukan ayam jago. Itu makanya Nyit-Nyit naksir berat. Seberat taksiran Ruri ke Bambang. 

Apa Ruri ngirim kartu Valentine juga ke Bamabgang? Kalo nggak percaya, lihatlah. Hari ini Ruri ada di kantor pos. Tentu buat mengeposkan kartu Valentine. Sementara di tempat yang berbeda, Lupus juga sedang mengeposkan kartu Valentine buat Poppi. 

Masih ada lagi kok makhluk lain yang juga ikut-ikutan memeriahkan hari Valentine ini dengan mengirimkan kartu. Ya, namanya juga hari kasih sayang. Hari ketika kita bisa bebas mengungkapkan rasa sayang kita buat seseorang. Tak terkecuali Gusur yang tetap nekat mengirimkan kartu Valentine buat Fifi, meski cintanya selalu ditolak. 

“Mo ke mana, Im? Tu motor mo Abang pake. Jangan lama-lama!” teriak kakaknya Boim di rumah ketika Boim menculik motoronya yang sedang diparkir di garasai. 

“Nggak lama kok. Cuma ke kantor pos doang!” sambut Boim. 

Boim lalu ngeloyor pergi ke kantor pos. tujuannya mengeposkan kartu Valentine buat Nyit-Nyit.

***

Sarita mengernyitkan kening. Di tangannya selembar kartu Valentine berwarna pink. Itu kartu memang pemberian Aji yang udah sampai. Sarita sebenernya udah mengenal Aji. Tapi Sarita benar-benar nggak nyangka bakal dapat pernyataan sayang dari Aji. Sarita memang nggak punya perasaan apa-apa sama Aji. Biasa aja kok. Sarita sendiri udah punya kecengan anak pejabat yang sekarang lagi kuliah di LA. Baru tiga hari yang lalu Sarita mengirimkan kartu Valentine buatnya. Meski Sarita tau itu bakal percuma. Soalnya Sarita tau bener kalo anak pejabat itu nggak punya perasaan istimewa buat Sarita. Lha, anak pejabat itu lagi ngejar-ngerja Rina yang udah ketauan naksir berat sama Lupus. Rina selalu menerima kartu Valentine darinya. 

Nasib Sarita kalo dipikir-pikir ampir mirip dengan Gusur, yang saat ini kartu Valentine-nya lagi dibanting dan diinjek-injek oleh Fifi. Fifi nampaknya mangkel banget dapat kartu Valentine dari Gusur. Apa enaknya? Padahal di tempat lain kartu Valentine Fifi juga lagi dicuekin sama Gino. Gino nggak mengerling sedikit pun, apalagi membacanya. Gino kan udah punya pacar yang jauh lebih kece dari Fifi. 

“Paidi, tolong bakarin kartu ini. Ngeri ngeliatnya!” teriak Nyit-Nyit menyuruh pemabantunya Paidi tergopoh-gopoh ke arah Nyit-Nyit. 

“Baik, Non!” 
Tak lama kemudian Paidi sudah memabakar kartu Valentine pemeberian Boim buat Nyit-Nyit. Tapi apakah Nyit-Nyit tau kalo kartu Valentine-nya juga mengalami nasih serupa di tangan Eddy? Nah, padahal Eddy ini pernah ditolak sama Utari. Bahkan sampai sekarang pun Eddy masih mengejar-ngejarnya. Utari tengah memegang kartu Valentine pemberian Eddy yang siap dicampakkannya ke bak sampah. 

Svida lagi sibuk mencari ganjel buat meja belajarnya yang oleng, ketika pembantunya datang memberikan amplop yang baru didapatnya dari pak pos. Svida mengamati sejenak setelah menerima amplop itu dari tangan pembantunya. 

“Nah, kebetulan,” gumam Svida setelah tau amplop itu berisi kartu Valentine dari Anto. Kartu Valentine itu pun langsung buat ganjel meja belajar Svida. 

Ih, padahal Anto baru aja membuang kartu Valentine pemberian Yeti, cewek kelas satu yang naksir berat sama dia. 

Gito juga dapet kartu Valentine dari seorang cewek tetangganya. Tapi, yah apa boleh buat. Gito menerima kartu Valentine  itu tanpa perasaan khusus. Hambar. Dingin. Kayaknya ini sih bukan salah Gito. Taksir-taksiran model gitu mana bisa diatur. Dan kartu Valentine pemberian si cewek akhirnya terbengkalai begitu aja di tumpukan koran-koran bekas. 

Padahal kalo Gito tau apa yang tengah dilakukan Meta terhadap kartu Valentine kirimannya! Meta bener-bener menganggap Gito cuma teman biasa aja. Kenapa harus ada perasaan cinta? Kenapa harus ada perasaan ingin menyayangi? Sayang sebagai teman bolehlah. Tapi sayang sebagai pacar, nanti dulu. Maka tanpa perasaan berdosa, Meta mengempaskan kartu Valentine Gito ke bak sampah. Sementara di tempat yang berjarak 50 km dari tempat Meta tinggal, seorang pemuda sedang membakar kartu Valentine pemberian Meta. Tragis, ya? 

Dan kamu, Ruri, gimana kabarnya? 

“Ih, sedih deh. Katu Valentine gue dipulangin sama Bambang. Segitu sengitnya dia. Padahal disimpen aja kan nggak apa-apa. Sakit deh rasanya hati ini. Apalagi Bambang sempet ngata-ngatain Ruri, cewek murahan-lah. Cewek tukang gosiplah. Pokoknya sebel!” Ruri memaki-maki. Tapi rasa sayangya terhadap Bambang toh sulit pudar. Maka alangkah kagetnya, ketika tanpa sengaja Sri Sajita bercerita kepada Ruri baha dia dapat kriiman kartu Valentine dari Bambang. 

“Dengan senang hati saya tolak deh, Rur. Soalnya saya kan udah punya kecengan di Jawa!”  komentar Sri. 

Ruri cuma termenung. 

Di depan kandang burungnya Gusur juga termenung. Kenapa sampai Valentine udah lewat tiga hari belum ada juga yang ngirim kartu ucapan buat dia? 

“Tak adakah yang menyayangiku di dunia ini?” tangisnya dalam hati. 

“Iya, Sur, saya juga, rasanya hidup saya sia-sia. Rasanya nggak ada lagi orang yang sayang sama saya. Saya nggak dapat kartu Valentine dari siapa pun,” keluh Boim yang ikut-ikutan nongkrong di depan kandang burung. 

Di rumahnya Lupus cekikikan ngeledekin Lulu. Lupus girang banget ngeliat Lulu lagi sedih. 

“Udah deh, Lu, nggak usah dipikirin. Dia emang orangnya gitu,” ejek Lupus. 

Lulu makin cemberut. 

“Masa dari segitu banyaknya kartu Valentine buat saya, nggak satu pun yang datang dari Andi. Padahal saya udah dengan tulus ngirim ke dia,” Lulu memaki-maki. 

Lupus tambah cekikikan. 

Tapi sebenarnya cekikan Lupus cuma untuk mengobati hatinya yang kecewa. Lupus mendapat selentingan Poppi lagi naksir cowok bernama Sambas. Entah siapa dia. Yang jelas Poppi sempat ngirim kartu Valentine buat Sambas. Toh Lupus sebenarnya nggak perlu kecewa bener, karena di mejanya tergeletak kartu Valentine dari Rina. Tapi gimana, Lupus udah terlanjut mati rasa dengan Rina. 

“Emang banyak orang yang cuma bisa menyayangi,” Lupus sok berfilsafat. 

Sementara di depan kandang burung Gusur tengah terjadi kegaduhan kecil. 

“Sedih tinggal sedih, Im. Tapi utangmu padaku tetap harus kaubayar. Mana! Soalnya aku dan Lupus mengalami rugi!” bentak Gusur. 

Boim gelagapan. 


=======



Saya menyalin cerita pendek ini karena saya suka. Selain karena kocak, menurut saya cerita pendek penanda jaman ini dengan serunya bercerita tentang budaya kirim-kiriman kartu ucapan lewat pos pada remaja tahun 90an awal. Maklum, si saya lagi pengin bikin tulisan besar tentang kartu pos. :D 

Cerpen dikarang oleh Hilman, dimuat pada serial Lupus: Sendal Jepit yang pertama kali terbit 1989. Buku yang saya baca adalah cetakan kesebelas yang terbit pada Desember 2003. 






1 komentar

Uniek Kaswarganti mengatakan...

Mas nya angkatan tahun berapa ya koq bacaannya Lupus *sembunyiin ktp ndiri :)
Sebenarnya kirim2an kartu tuh asyik loh... jadi ngehargain effort yg bikin gitu dibandingin sekedar bbm / wa / sms dan sebagainya.

Posting Komentar

© blogrr
Maira Gall