Pasung Jiwa adalah buku Okky yang baru saja selesai saya baca. |
Membaca bukunya Okky Madasari itu selalu seru. Tragedi yang mendera para tokoh tak disangka-sangka alurnya, dan seringnya, ekstrim dari yang saya duga. Duh.
Kadang, saya merasa sebal sama Okky, betapa teganya ia menyeret para tokoh ke tragedi begitu mendalam dan menyiksa. Padahal, hampir semua tokohnya adalah mereka yang terpinggirkan: entah itu karena keluguan, keadaan ekonomi, kepercayaan yang berbeda dari mayoritas, dan ketakberdayaan melawan kekuasaan serta belenggu semu tapi kuat yang tercipta dari lingkungan sosialnya. Mereka butuh pertolongan.
Saya juga sebal kepada Okky, yang sesekali harapan diberikan pada tokohnya, tapi belum lama diajak terbang, para tokoh sudah ditenggelamkan lagi pada permasalahan.
Tapi saya tahu bahwa kesebalan saya itu tak perlu dikasihani. Saya memang perlu dibuat sebal. Saya harus sebal dan kalau bisa, benci dan terpercik hasrat untuk berontak. Mungkin, itulah yang diharapkan Okky. Pasalnya, tragedi ekstrim yang dialami para tokoh itu begitu nyata, dan memang benar-benar terjadi, dialami oleh beberapa manusia-manusia yang ada di Indonesia ini. Beritanya pun sering saya saksikan di media. Mungkin, karena berita media terlalu riuh, saya pun jadi acuh tak acuh. Tapi, Okky, melalui novel-novel fiksi tapi fakta yang dikemas dengan cerita narasi yang sangat apik ini, memberikan saya pengalaman sastrawi terhadap tragedi-tragedi itu. Saya jadi merasa akrab dengan para tokoh yang menjadi korban, bahkan saya bisa mengenalnya hingga suara hatinya. Ketika mereka geram, saya pun geram. Ketika mereka sedih, saya pun sedih. Ketika mereka tertindas dan berani merencanakan perlawanan, saya pun ikut berani menjadi pasukannya.
Novel-novel Okky, kerap berakhir kurang menyenangkan. Sekalipun happy ending, kisah bahagia di akhir ceritanya dibuat singkat dan cenderung buram.
Sekali lagi, barangkali, itu maunya Okky, yaitu agar saya seusai membaca bukunya, jadi melanjutkan harapan para tokohnya dan memperjuangkannya dengan modal keberanian dan kegigihan yang mereka warisi dari cerita.
Tiap kali rampung membaca novel Okky, pertanyaan (baca: perenungan) dalam kepala saya pun dimulai: sudah seberapa besarkah pengabdian saya terhadap kemanusiaan. Huhu. Maafkan saya, semesta.
Tidak ada komentar
Posting Komentar