24 Agustus 2012

Pariwisata Ke Pulau Pari




Jika kota diibaratkan sebagai rumah, maka ia mesti membutuhkan taman belakang yang terpisah dari ruang kerja, bahkan ruang keluarga,  sebagai tempat para penghuninya mencicipi udara segar dan meretas kebosanan dengan pemandangan alam. Beruntungnya, Jakarta termasuk kategori rumah yang ideal. Jauh di utaranya, rumah Jakarta dianugerahi ‘taman belakang’ yang super indah oleh Sang Arsitek. Tak cuma hijau tanaman yang bisa kita cicipi, sebentang luas laut biru nan jernih, pantai berpasir putih lembut dan udara segar hembusan angin sepoy siap  jadi sepaket wahana rekreasi di gugusan taman Kepulauan Seribu. Pulau Pari adalah salah satu petak tamannya yang saya kunjungi kemarin, Rabu-Kamis, 22-23 Agustus 2012.   

Lewat pintu utara Jakarta yang berlabel Muara Angke, kita bisa menumpang kapal-kapal kayu dengan ongkos Rp 26-30 ribu. Tak butuh waktu lama, cukup dengan satu jam setengah kita sudah bisa mendaratkan langkah pertama di surga dunia seluas 94,57 hektar yang menjadi bagian dari kecamatan Kepulauan Seribu Selatan itu.

 





Nuansa Desa KKN rasa FTV

Pak Iyan, warga setempat yang kami utus sebagai tour-guide dan penyedia tempat tinggal beserta akomodasinya pun menyambut setibanya kami di sana. Enam sepeda mini berkeranjang depan disuguhkan kepada. Tanpa perlu dikomando, kami pun langsung mengambil dan mengayuhnya. Menyusuri deretan rumah tak bertingkat yang tersusun rapih dan asri, menuju rumah Pak Iyan.  

Untuk kita yang semasa kuliah mengikuti program KKN (Kuliah Kerja Nyata), saya jamin suasana Pulau Pari akan memutar balik memori kita. Nuansanya sangat mirip, apalagi dengan desa tempat saya KKN di Jampang Kulon, Sukabumi sana. Saking merasa miripnya, di awal-awal kedatangan saya acap kali menyapa warga dengan bahasa Sunda. Haha. Padahal di sana, bahasa elu-gua lah yang dipakai.

Suasana desa nan asri, sepeda mini dan pertemuan masyarakat urban dan sub-urban. Kita pemirsa setia SCTV di jam-jam pulang kuliah siang pasti sepakat kalau situasi tersebut persis seperti yang sering ditampilkan di FTV. Haha. Jadi, tak heran kalau saya pun jadi berkhayal kedatangan gadis pujaan hati, berbocengan naik sepeda dan malu-malu bercerita tentang perasaan. Pulang bawa jodoh!


We are friend in the ship. Yes we're in friendship. Perkenalkan, ini adalah teman-teman saya. Empat di antaranya adalah kawan dari redaksi tempat saya kerja. (dari kanan ke kiri: Lilyk, Adhi, Rian dan Nanda). Nah, yang paling kanan itu adalah sohib sehari-hari saya. Namanya Hira..
  





Mengintip laut di siang bolong, menyapa perawan di kala senja.
Rangkaian acara sudah diagendakan oleh Nanda, teman saya yang mengutus dirinya sendiri sebagai komandan upacara perayaan libur lebaran ini. Snorkeling adalah hal pertama yang dijadwalkan seselesainya kami mencicipi es buah welcoming drink, dan merapihkan barang bawaan di rumah. Tak lupa, saya pun menyiapkan alat pemotong ruang dan waktu untuk dibawa: kamera analog dengan tiga roll film ASA 100-200 dan kamera pocket kelas prosumer.

Lengkap dengan rompi pelampung, google, dan sepatu katak kami naik ke kapal, mengarah ke tengah laut yang entah di mana. Kalau saja yang kami naiki adalah banana boat atau perahu arung jeram, maka kami akan dijatuhkan dengan sengaja atas nama keseruan. Tapi ini bukan. Kegiatan yang kami lakukan adalah snorkeling. Perahu berhenti di tengah laut. Lalu kami menceburkan diri ke sana. Merangkak di permukaan, mencelupkan wajah ke dalam air, mengintip isi hati laut. Kalau kalian iseng, kalian juga bisa membuktikan ungkapan ‘’dalamnya lautan bisa diukur, tapi hati orang siapa yang tahu’’. Silahkan selami itu laut, dan ukur kedalamannya. Niscaya kalian akan lebih memilih untuk membelek mayat di RS Cipto dan mengukur hati manusia dengan penggaris gopean yang beli di warung.

Tapi, andaikan laut itu manusia, maka hatinya selalu riang pastinya. Warna-warni ikan selalu menghidupi birunya. Sinar matahari yang malu-malu bertamu ke kedalamannya membuat hati laut hangat adanya.

Tak lama, akhirnya saya tahu, ternyata tengah laut itu adalah bagian dari jalan  kami ke Pulau Tikus. Jangan tanya kenapa namanya begitu, saya tidak tahu dan tidak sempat bertanya karena saat melihatnya dari jauh sudah terlanjur dimabuk oleh pemandangan yang aduhai. Pasir putih dan mengkilap yang memantulkan cahaya matahari, pepohonan yang menjalar di sekujur tubuhnya yang kecil itu, serta karang beserta ranting-ranting pohon mati yang menjadi gapura yang menyambut tiap pengunjung. Sontak kami pun turun dari perahu dan menghampirinya. Tapi sial, keindahan itu hanya terasa dari kejauhan, Pulau Tikus ini jauh-genic. Ternyata banyak sekali sampah bertaburan, kotor, persis seperti tikus. Untungnya, tikus ini adalah tikus putih yang masih lucu untuk dipelihara. Hehehe. Jadi kita masih bisa mengabaikan kotornya dan menikmati sisa keindahannya. Tak banyak ritual yang bisa kita lakukan di sana kecuali mengoleksi kerang dan mendokumentasikan memori alias berfoto.




Usai snorkeling dan berplesir ke pulau tikus kami pulang ke rumah. Saat itu adalah pukul satu siang. Hari begitu bolongnya sehingga seluruh sinar matahari bisa masuk menyerang begitu saja. Itulah mengapa tidur siang menjadi perlindungan yang kami pilih. Hingga akhirnya, di pukul empat sore, saya terbangun dan menyesal. Liburan kok tidur. Dengan terburu-buru, saya pun mengambil sepeda, menyusul Hira, sohib yang sangat piawai dalam hal berlibur, ke Pasir Perawan, pantai bagian barat ujung Pulau Pari.
   
“Mirip Pulau Sempu ya, ki,” itu adalah kata sambutan Hira setibanya saya di sana. Saya pun mengiyakannya. “iya, private dan jernih banget yah. Setengahnya Pulau Sempu lah, Ra,” jawab saya. Seperti halnya perawan, pantai ini memang sangat menggoda untuk dijamah tiap inchi keindahannya. Tak hanya pemuda saja yang suka, anak-anak, ibu-ibu, bapak-bapak pun begitu riang bermain. Ada sebidang lahan yang disulap menjadi lapangan bola dan voli, area air tak berombak dan cetek tempat bocah-bocah main banjir-banjiran, dan sampan-sampan yang menepi siap untuk disewa mengelilingi kawasan perairan. Kami pun menjajalnya. Menyewa dua perahu untuk menjauh sedikit dari tepi menghampiri matahari yang akan pergi tenggelam dari cakrawala. 
    
Tak puas hanya menyapa di kala senja, malam harinya pun kami kembali ke Pasir Perawan. Keindahan visual yang tertutupi gelap malam ternyata masih bisa diimbangi oleh angin sepoy yang menemani obrolan hangat kami. Apalagi semangkuk indomi dan kelapa muda yang menjadi cemilan kami melangkahi waktu hingga lewat pukul sembilan.
   
“Asal muasal nama perawan ini adalah dari cerita seorang gadis perawan yang menghilang saat ia kabur ke sini. Dulu, daerah ini isinya pepohonan, baru dua tahu lalu dipangkas dan dijadikan objek wisata,” Pak Iyan pun ikut meramaikan suasana dengan cerita-ceritanya.
   
Tidur nyenyak pun menjadi hadiah Tuhan sepulangnya kami mengencani si Perawan. Tak ada mimpi hingga kami serentak bangun di pukul lima pagi demi menyambut matahari yang datang.
   
Menggelar red carpet matahari hingga ke Padang Lamun
   
Bukit Matahari, tak jauh dari dermaga tempat kapal-kapal berlabuh menjadi tujuan kami. Sepetak jalan berpondasi karang seoalah menjadi red carpet yang manjadi jalan untuk matahari bangkit disambut kami, para pemujanya.
   
Terpaksa puas dengan warna matahari yang muram itu, kami pun hengkang menuju barat pulau. Menyusuri rumah-rumah warga lagi, lalu masuk ke jalan setapak yang didampingi ilang-ilalang di kanan-kirinya. Sejurus kemudian, tiba lah kami di Padang Lamun. Tak begitu jelas tempat apakah itu, ada halaman air yang ditumbuhi tanaman – sepertinya bakau – dan jalanan seperti setapak di Bukit Matahari. Tak jauh di seberang sana, kita bisa melihat tepian pulau tetangga yang sepertinya sedang sibuk dibanguni resort.
   
Cukup banyak menit yang kami habiskan di sana untuk bermain-main. Mengeksplor biota tepi pantai, menertawakan sampah-sampah yang ajaib ragamnya: dari mulai kasur, botol obat kuat, sandal, hingga celana dalam bisa kita temui nyangkut di karang atau tenggelam di air. Pastinya, ritual berfoto pun kami lakukan atas nama keabadian memori dan perasaan senang.

Tepat pukul sepuluh pagi, setelah untuk berpamitan ke Pasir Perawan, saya dan rombongan pun naik ke kapal pulang. Kali ini kami duduk di tingkat dasar, tidak di tingkat dua seperti saat di kapal berangkat. Alhasil, guncangan kapal pun begitu pekat tarasa. Dipadu dengan hawa gerah yang membahana, guncangan itu sukses mengundang mabuk laut di tubuh ikut meramaikan acara. Hahaha…

Mungkin wajar saya jadi mabuk. Terlalu banyak kesenangan yang saya teguk di sana. Biar imbang, mungkin perlu dimuntahkan beberapa. :D

"Karena semua aliran air, akan berujung ke laut" kutipan dari film Perahu Kertas.
"Karena semua aliran air, akan berujung ke laut" Kutipan dari film Perahu Kertas. :D

   

2 komentar

Anonim mengatakan...

kok gw ganteng di foto2 lo sih hahaha

Golda Regina Purba mengatakan...

Hais, enak kali liburannya kak Riski >,<

Posting Komentar

© blogrr
Maira Gall