Ini sangat sering terjadi. Saya kesasar di perjalanan. Tapi ada beberapa hal sih yang menyebabkan semua ini bisa terjadi. Pertama, karena memang saya ingin mencoba jalan baru. Kedua karena tidak sengaja. Yang sering terjadi adalah gabungan dari keduanya, saya memilih untuk mencoba jalan baru lalu tidak sengaja tersasar. haha.
Sebelumnya, perlu dicatat juga kalau sebenarnya memori saya tentang rute ke tempat-tempat yang jarang saya kunjungi memang rada payah. Apalagi untuk menuju tempat-tempat di kawasan yang memiliki suasana yang nyaris sama di setiap jalannya. Daerah Menteng dan daerah Pasar Baru, Bandung, misalnya. Ditambah lagi kalau tempat yang saya tuju itu berada di jalan satu arah. Beuh. Hampir selalu pasti, saya butuh satu-dua kali untuk muter-muter. Menuju ke Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, contohnya. Walau saya sudah beberapa kali ke situ sejak SMA. Sampai sekarang saya nggak pernah menuju ke situ dengan jalan yang sama. Selalu beda-beda karena lupa. haha…
Tapi entah kenapa terkadang saya justru menikmati ketersesatan itu. Saya merasakan sebuah keseruan dalam mencari jalan baru untuk mencapai tujuan. Ketika biasanya saya lewat belokan yang di sana, maka saya akan mencoba belokan sebelumnya. Ketika saya biasanya melewati jalan raya, saya menantang diri untuk berbelok masuk ke gang-gang atau jalan kecil. Saya selalu percaya bahwa jalan-jalan dan gang yang ada di kota itu pasti bersimpangan.
Selain karena jalan-jalan kecil atau gang (jalanan di daerah pemukiman) itu lebih sepi, nyaman dan banyak hal seru yang bisa diperhatikan menjadi alasan saya untuk melewatinya. Mencari jalan baru itu selalu seru. Menebak-nebak ke mana belokan yang akan saya lalui itu akan membawa saya. Saat saya mencari jalan, saya seperti mencipta radar dan peta dalam pikiran. Saya akan menggambarkan denah kasar daerah tersebut, lalu menentukan koordinat tempat yang akan dituju dan perkiraan jarak dari tempat saya berada. Dari situ lah bisa ditentukan arahnya. Ya, arah menjadi hal penting yang harus kita tahu. Jadi, walau pun jalannya belok-belok saya akan memilih belokan yang mengantarkan ke arah tersebut.
Kalau ternyata saya bingung dan lagi males mikir pun saya bisa mengikuti angkot yang lewat jalan itu. Kalau ternyata nggak ada angkot ya saya ikuti jalan yang banyak dilalui kendaraan. Kalau nggak banyak kendaraan juga, saya biasanya memperhatikan warna aspalnya. Biasanya aspal yang sering dilalui orang itu warnanya lebih muda daripada yang jarang dilalui. Dan kita sama-sama tahu dong, jalan yang sering dilalui itu pasti berujung pada jalan besar.
Dan tahu kah kamu, tiap kali saya berhasil melewati teka-teki jalan dan bertemu jalan yang sudah saya akrab saya akan mengepalkan tangan sambil berteriak “Wohoo”. tapi kadang teriaknya sih dalem hati aja. haha.
Berbicara tentang jalan-jalan gini, saya jadi inget masa kecil. Saya senang banget bersepeda sama teman-teman melewati kampung-kampung untuk main ke komplek-komplek sebelah. Tiap kali ada di antara kami yang nemu jalan baru pasti suka norak dan pamer “woy, gua dong nemu jalan baru,” kira-kira begitu lah.
lalu apa ada keuntungan dari kesasar ini?
Banyak, sob. Yang saya rasakan sih, saya jadi nggak terlalu panik kalau tiba-tiba jalan yang biasa saya lalui sedang tidak bisa dilewati atau lagi macet parah. Karena saya yakin banyak jalan lain.
Pencetus idiom “banyak jalan menuju Roma” pun saya yakin kalau dia sering kesasar juga. Karena mana mungkin dia tahu kalau untuk ke Roma itu banyak pilihan jalannya kalau dia tidak mencobanya sendiri.
Setiap kali kita Sholat pasti kita membaca surat Al-fatihah. Disitu ada ayat yang berisi doa, “Ihdina Shirothol Mustaqim” yang artinya adalah tunjukkan lah saya jalan yang lurus. Dalam menjalani hidup, trek yang lurus memang bikin mudah. Tapi setelah merasakan serunya tersesat maka di luar doa dalam sholat itu, sesekali saya akan memodifikasi doa itu jadi “Tunjukkan lah saya jalan yang seru”.
Karena ternyata hidup terlalu lurus itu nggak seru, kawan. Pun kadang membahayakan, kalau jalannya lurus dan tanpa rintangan, kita bakal ngebut-ngebutan. Selain bisa berakibat celaka, tak jarang berakhir jadi sombong karena bisa sampai tujuan lebih dulu. Nah, kalau cari yang berkelok-kelok kita bakal menemukan banyak hal yang seru yang bisa di pelajari. Pelajaran-pelajaran itu lah menjadi harta karun yang jauh lebih berharga ketimbang sampai lebih cepat.
:)
Coba angkat tangan siapa yang pernah dibonceng sama saya trus nyasar?
5 komentar
KEREN.
hahaha kampret. nih ini nih gw pernah ngerasain.. tapi seru emang ketika ternyata jalan asal masuk sampai tujuan. hahaha
*ngacung ... hehehe ... tapi waktu itu gue yg bikin lu kesasar karena gua selalu sok tau jalan =p
berproses dengan nyasar :D
the art of getting lost
Posting Komentar