Sudah berapa minggu ini kamar saya di rumah penuh dengan barang –barang pindahan dari kamar kosan. Kamar saya yang berukuran 3,5x 3,5 m ini hanya tersisa ruang kosong seperempatnya saja. Nggak cuma bikin penuh, tapi juga bikin kamar berantakan. Sebutan kapal pecah sepertinya masih kurang, ‘kota sehabis tsunami’ mungkin sedikit lebih tepat untuk mendeskripsikan keadaan di sini. Seperti sampah yang terbawa ombak dan terhempas di pantai, barang-barang di kamar saya berserakan begitu saja.
…
Saya merasakan jelas sebuah ironi dalam berpindah. Ada duka dan cita yang lengket tidak bisa dipisahkan, seperti dua sisi uang kepingan. Di satu sisi perpindahan ini adalah sesuatu yang patut dibanggakan, saya berpindah karena saya telah menyelesaikan satu misi besar. Satu jenjang tantangan hidup sudah saya lewati. Akhir Mei kemarin, saya diwisuda. Itu artinya dengan resmi saya dinyatakan lulus dari segala macam urusan kuliah. Misi di bidang akademi selesai. Hmm, setidaknya saya sudah sampai ke tingkatan dasar dan yang paling umum. Saya akhirnya mendapat gelar sarjana. Bapak, ibu, kakak, adik, semua terlihat senang, memberi selamat. Lalu, seperti halnya sekolah, ketika kita berhasil menyelasaikan suatu tingkat, kita berhak untuk naik kelas. Hore!!
Upacara wisuda tadi itu sekaligus menjadi aba-aba untuk saya segera hengkang dari tanah pasundan (Bandung-Jatinangor tepatnya). Di saat bersamaan, bapak kos juga mengingatkan kalau sewa kos saya jatuh tempo pada Agustus 2011. Semakin tegas lah perpindahan ini pasti terjadi. Tapi tunggu dulu, di antara Mei menuju Agustus ada 30 hari milik bulan Juni dan 31 hari milik bulan Juli. Saya punya waktu dua bulan hingga saya kamar kos yang sudah saya huni lima tahun itu benar-benar bukan atas nama saya lagi. Oke, saya manfaatkan rentang waktu itu dengan berpuas-puas main di sana, sambil sedikit menyicil pindahan barang. Kata sedikit di sini perlu ditekankan. Karena begitu lah adanya. Sebenarnya bisa saja saya pindahan dalam satu waktu. Tapi saya memilih untuk pelan-pelan saja. Tidak sekaligus semua barang langsung saya bawa ke rumah.
Dan di sini lah kesedihan itu berada.
Ahh, sebenarnya dia menyebar di mana-mana. Dia melekat erat di tembok putih kamar kos yang penuh dengan stiker dan cecoretan. Dia bercampur pada udara sejuk yang menina-bobokkan diri yang letih menjalani hari. Dia adalah debu-debu halus yang selalu ada di rumah asri di mana saya bisa merasa nyaman dan senang menghabiskan berhari-hari di situ, tanpa keluar. Dia terpatri pada rasa persaudaraan belasan anak yang berada dalam satu atap yang tumbuh bersama bertahun-tahun. Dia, kesedihan itu, adalah sebentuk kenyamanan yang tidak (atau belum) saya dapatkan di sini. Di tempat baru ini.
Ya, satu lagi ironi, hal yang sebelumnya menjadi hal yang menyenangkan bisa menjadi sesuatu yang mengharukan. Hal yang sebelumnya kita sayangi menjelma jadi sesuatu yang melukai.
Mungkin begini lah hidup, banyak resiko yang harus kita hadapi terlebih dahulu untuk bisa melanjutkannya. Awalnya perpindahan ini saya anggap hal yang enteng, tapi ternyata ini sangat berat, lebih berat daripada barbel 10 kilo untuk 4 set yang diangkat oleh anak yang baru pertama kali fitnes. Lebih berat daripada mengangkat jemuran saat badai menerjang. Lebih berat dari ngangkat telpon yang berdering di tengah malam ketika kita sendirian, pun padahal telpon itu sedang mati kehabisan batere.
Seorang kawan pernah berkata, ketika kita sudah sangat mencintai sesuatu, tidak ada hal yang akan memberatkan hati untuk kita lakukan kepadanya, kecuali satu hal, yaitu melepaskannya. Ahh, saya benci keadaan ini, terlebih lagi saya adalah tipe orang yang jika sudah suka sama sesuatu saya akan terus menjaganya, apa pun yang terjadi pada sesuatu itu.Saya selalu menambal lubang pada celana jins yang nyaman saya pakai, walau pada kenyataannya penampilan akan rusak jika saya memakainya. Mengenai kosan ini, sebenernya ini adalah kosan yang terletak jauh dari mana-mana. Saya cukup terasing dari pergaulanteman-teman sejurusan yang umumnya ngekos di daerah dekat kampus. Selain itu, karena di daerah sini jarang ada pedagang, jadi untuk mencari makan kami perlu turun ke pusat keramaian yang berjarak 1 km. Tapi berhubung saya sudah merasa nyaman dengan keadaan di sini, saya memilih untuk tidak pindah-pindah kos. Saya menghabiskan waktu 5 tahun di sana. dari awal kuliah hingga lulus.
Betapa menjadi orang yang mudah setia itu tidak selalu menguntungkan.
Oke, akhirnya setelah melalui beberapa tahap pindahan saya sudah berada di sini, di kamar 3,5x3,5 m2 di rumah saya. Sebenarnya, keadaan ini belum bisa dibilang sepenuhnya berpindah, karena saya hanya kembali ke titik nol, saya hanya pulang, kembali ke markas sambil menunggu misi baru. Tapi karena secara harfiah saya memang beralih dari satu tempat ke tempat lain, ya nggak apa-apa lah ini disebut berpindah.
Mengenai barang-barang yang berantakan seperti yang saya sebutkan di awal, satu alasan besar mengapa barang-barang itu saya biarkan berserakan adalah karena kamar saya belum siap menampungnya. Tidak ada tempat untuk menaruhnya. Lemari yang ada sudah penuh. Rak-rak buku juga. Saya butuh lemari baru. Artinya, walau pun saya sudah harus berpindah, tapi saya belum sepenuhnya siap.
Sialnya tak hanya kesiapan lahiriah yang belum saya punya, kurangnya kesiapan batin atau psikis pun membuat saya jadi seperti pesakitan. Terpenjara dalam sepi. Tak hanya rindu tentang udara sejuk yang meninabobokan, persaudaraan belasan anak, serta rumah asri yang membuat betah, yang minta diladeni kedatangannya. Sekomplotan rasa cemas juga sering kali datang menjenguk, tanpa diundang. Mereka selalu membawa isu-isu yang sangat tidak menarik. Mereka banyak bercerita, awalnya terasa seperti dongeng ibu sebelum tidur tapi lama-lama cerita jadi berubah arahnya. Dengan berkeroyokan, mereka bercerita tentang kemungkinan-kemungkinan negatif dan destruktif yang akan terjadi pada kamar saya dulu. Dongeng sebelum tidur pun berubah jadi mimpi buruk yang terasa benar kalau itu adalah kenyataan yang dibumbui drama. Menakutkan.
Sebenarnya saya masih bisa kembali ke sana. Toh, diam-diam saya membawa pulang kunci duplikat kamar sehingga saya bisa kembali untuk sekedar mengecek keadaan kamar, atau bahkan bisa menginap jika ternyata si penghuni baru sedang tidak di tempat. Tapi saya memilih untuk menghilangkan kunci duplikat tersebut. Saya lempar ke arah yang asal sehingga sulit ditemukan. Saya tidak boleh mengambil hak si penghuni baru itu. Pun hal ini membuat saya tidak larut-larut dalam kenangan.
Hingga akhirnya, ibu mengajak saya ke tukang kayu. Kepadanya saya dibantu merancang sebuah lemari besar. Kayu jati dipilihkan ibu untuk menjadi bahannya. “biar kuat dan tahan lama,’’ katanya.
Tiga minggu berselang, lemari pun datang, pelan-pelan barang-barang pindahan itu saya susun di lemari itu. Dengan sangat pelan-pelan rapihkan barang-barang itu. Pertama, saya bongkar keluar barang-barang yang ada di dus. kalian perlu tahu. Ternyata barang-barang pindahan saya banyak banget. Bukan hanya yang terlihat berserakan saja, karena ternyata di dalam dus masih ada perintilan-perintilan. Kecil dan remeh, tapi sayang untuk dibuang.Lantas, barang-barang yang dimuntahkan dus-dus itu saya pilah-pilah dan di kategorikan. Dan kalian harus tahu. Bagian paling sulit pada bagian ini adalah ketika kita menemukan benda yang menyimpan kenangan. Di sini lah kedewasaan diuji. Tsaah. Saya harus bisa berbesar hati untuk tidak meladeni kenangan itu lalu memilih kenangan mana yang harus saya pertahankan, kenangan mana yang harus masih saya ikhlaskan untuk menjadi sampah. Untuk dibuang.
oke, setelah itu dengan sangat pelan-pelan saya menyusun barang-barang itu di lemari. Saat merancang disain, saya berpesan kepada si tukang kayu untuk membuatkan ruang berkaca di bagian atasnya. Tempat itu saya khususkan untuk menampung barang-barang yang paling saya sukai dan paling saya jaga. Pasti kalian sudah sama-sama tahu benda apakah itu. hehe.
Buku-buku non-fiksi saya susun dibagian atas rak, di bawah bagian yang berkaca. Setelahnya, saya jejerkan buku-buku fiksi: novel, komik, dan buku-buku kumpulan cerpen. Lalu barang-barang lainnya saya tempatnya di bawah, kertas-kertas surat, foto-foto dan cecoretan saya taruh di laci.
Akhirnya, keberantakkan sudah mulai mendapat tempatnya.
Tapi tunggu dulu, lemari itu hanya sanggup untuk menampung keberantakkan yang berwujud. lalu mau dialamatkan kemanakah objek-objek tak berwujud ini: rasa rindu, ketulusan, persahabatan, dan perasaan-perasaan lainnya? Semua ini belum sepenuhnya mendapat tempat baru.
Hmm, sepertinya saya perlu mencari tukang kayu lagi, untuk merancang ruang baru guna menampung semua hal-hal tak berwujud itu. Sedikit bocoran, setidaknya saya sudah punya nama tempat dimana ruangan itu dibangun. Saya hanya perlu memantapkan rancangannya dan mencari material yang lebih kuat dari jati agar menjadi ruang yang seperti kata ibu “biar kuat dan tahan lama.”
Agustus, 2011.
3 komentar
jatinangor biarpun dulu dihina-hina sekarang dipuja-puja
kemarin-kemarin lagi kangen banget sama jatinangor
abis baca tulisan lo, bener-bener pengen balik ke jatinangor
aaaarrrrgggghhhhh (T.T)
ki si fafi gosip tuh, gue cuma nyuci 2 rol padahal haha, eh 3 sih, satunya punya adek gue
Hidup anak kostan!!
You are abso-100%-lutely not alone, Risky. Nice share thou.
Posting Komentar