10 April 2011

Trophy atau Partner

Beberapa waktu ini saya lagi sering mendengar selentingan tentang pencapaian seorang kawan pria mengenai calon pasangan atau pun pasangannya. Mereka yang belum memiliki pasangan menyebutkan  sederetan kriteria yang harus dimiliki oleh pasangannya nanti.  “Duh, coba gua punya cewek krudungan dan pake behel” atau “Cewek gua nanti harus cantik!” Yang sudah memiliki pasangan pun begitu, menceritakan betapa pasangannya itu sangat sesuai dengan kriteria yang sudah ditetapkan. “Nggak apa-apa lah gua begini, yang penting cewe gua cantik, iya nggak?!”

Nah, yang bikin saya bertanya ialah mengapa kriteria kita dalam melihat seseorang itu sama, yaitu urusan penampilan.  Pun kriteria penampilan itu sudah ditetapkan  sebelumnya, cantik, berkerudung, kurus tinggi,  berbehel, rambut lurus. Sebuah idealisasi hasil konstruksi sosial. Memang udah nggak bisa dipungkiri lagi sih penampilan memang menjadi daya tarik tersendiri, tapi kenapa harus penampilan yang menjadi hal yang disebutkan pertama ketika membicarakan kriteria pasangan?! Dari mata turun ke hati? ah menurut saya itu adalah pembenaran universal kita saja. Lalu mengapa penampilan ideal yang seperti itu yang harus dijadikan kriteria. Padahal manusia itu adalah makhluk yang aktif mampu membentuk pemaknaannya sendiri mengenai realita. Tapi mengapa kita terjebak dalam streotipe dalam memandang lawan jenis?!


Dan ternyata bukan cuma masalah penampilan aja. Beberapa selentingan yang saya dengar lagi menunjukkan kalau latar belakang si pasangan juga jadi kriteria utama. Entah itu latar belakang agama, pekerjaan, atau pun keluarga. Istilah bibit, bebet dan bobot begitu mendominasi pikiran kita dalam  mencari pasangan. Padahal kalau dipikir-pikir, dalam suatu hubungan kan yang dibutuhkan bukan  hal-hal itu. Apakah kecantikan pasangan menjamin kelanggengan hubungan? Sepertinya tidak. Kecantikan hanya menjadi stimulus indera pelihat kita yang membangkitkan hasrat seksual atau ketertarikan.  

           Saya jadi ingat dengan suatu hmm, sebut saja teori,  yang saya temukan di novel jaman SMA, judulnya Beauty Case, sebenernya itu novel chiclit gitu. Saya membacanya berdasarkan rekomendasi temen  dan setelah saya baca ceritanya universal kok.  Bukan untuk wanita saja (Hahaha, pembenaran). Di novel itu disebutkan bahwa ada dua pemaknaan  seseorang menjalin hubungan dengan pasangannya, pertama pasangan sebagai trophy. Kedua, pasangan sebagai partner. Seseorang yang memaknai pasangannya sebagai trophy pasti mencari pasangan bisa meningkatkan citra. Berjalan bersamanya membuat kita seperti berkeliling membawa piala. Nah, kalau yang partner itu memaknai pasangannya sebagai orang yang click, saling melengkapi dan asik diajak  susah-senang.  

      Beberapa waktu kemarin saya ikut kuliah umum mengenai konsumerisme.  Dalam kuliah itu konsumerisme diartikan sebagai situasi dimana individu memilih suatu benda bukan karena nilai gunanya, melainkan citra serta ilusi yang didapat dari benda tersebut. Kita, manusia, selalu memiliki keinginan dan kebutuhan. kedua hal itu lah yang terkadang sungguh semu perbedaannya. Saling tumpang tindih. Keinginan itu lebih bersifat psikologis, sementara kebutuhan adalah sesuatu yang bersifat material dan biologis. Dalam kajian konsumerisme, keinginan dimanipulasi sedemikian rupa melalui serangkaian kegiatan sehingga menjadi terasa seperti sebuah kebutuhan. Dan konsumerisme itu tidak bisa lepas dari peran kapitalisme. Kapitalisme lah sang manipulator itu. Menciptakan kesadaran palsu dalam benak tiap individu untuk mencapai keuntungan bagi dirinya. Di sini, kecantikan atau pun idealisasi wanita atau pria misalnya adalah bagian dari kesadaran palsu hasil bentukan kapitalisme.

           Konsep konsumerisme ini  sangat relevan dengan motivasi kita dalam mencari pasangan seperti yang disebut dalam novel Beauty Case itu. Dalam menjalin hubungan sebenarnya nilai guna atau kebutuhan yang kita cari ialah untuk mendapatkan kenyaman, perasaan saling mencintai dan saling menyayangi. Sementara penampilan serta status sosial itu hanyalah hasrat psikologis kita. Penampilan, status sosial, atau pun kemapanan pasangan adalah sekumpulan ilusi yang membawa berbagai citra kepada kita. Penampilan, status sosial atau pun kemapanan itu sudah menjadi sebuah idealisasi pasangan hidup. Tapi ilusi-ilusi hasrat itu kita sudah dimanipulasi, dikonstruksi secara sosial sebagai sebuah kebutuhan dalam mencari pasangan hidup. Sementara kebutuhan sebenarnya, yaitu mendapatkan kenyaman, perasaan saling mencintai dan saling menyayangi serta partner berkehidupan menjadi samar-samar, menjadi sesuatu yang sepertinya dinomorduakan. Sesuatu yang sepertinya pasti dan atau bisa  didapat jika kita sudah mendapatkan penampilan, status sosial atau pun kemapanan. Sama saja ketika kita membeli handphone, namun kita lebih melihat citra apakah yang bisa kita dapat dari handphone itu daripada fitur-fitur yang bisa bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan kita.

          Seseorang itu bukan sesuatu yang bisa diukur secara kuantitatif, berdasarkan patokan-patokan baku yang dibuat manusia sendiri. Misalnya, orang cantik pasti baik, cewek berjilbab pasti agamis, orang dengan jabatan tinggi pasti makmur.  Pernyataan-pernyataan seperti itu terlalu diskriminatif menurut saya. Coba pikirkan apa yang dirasakan oleh wanita-wanita yang tidak memiliki penampilan sesuai dengan kriteria  stereotipe ‘cantik’ tersebut. Padahal ia merasa ia memiliki hati yang baik dan layak untuk dijadikan pasangan.  Atau pun mengenai wanita tidak berjijlbab yang selalu dicap sebagai wanita bebas dan lebih serampangan padahal sebenarnya dia lebih beragama dan taat pada pasangannya dibanding mereka yang berjilbab. Sementara semua pria selalu bercerita padanya kalau ia mendambakan wanita yang cantik.

        Kita membutuhkan mendekatan yang lebih alamiah lagi dalam menentukan ideal atau tidaknya seseorang. Kita boleh berasumsi, memiliki hipotesis mengenai baik tidaknya seseorang tetapi asumsi-asumsi itu harus fleksibel, dapat menyesuaikan dengan fakta-fakta yang kita temukan.

          Kalau menurut saya, sebenarnya dari hati yang paling dalamnya,kita, kaum pria itu nggak butuh wanita yang benar-benar cantik. Pasti kita menyebutkan itu sebagai kriteria utamanya dalam mencari pasangan karena itulah kriteria yang ia tahu dan harus  disebutkan biar ia tidak dibilang menyimpang. Masa cowok nggak suka wanita cantik.  Padahal yah, kalau menurut saya, yang membuat seseorang wanita itu cantik adalah pasangannya.

        Coba tanya lagi pada diri kita sendiri, apakah pasangan atau calon pasangan kita ini sudah sesuai dengan kebutuhan untuk dapat dijadikan sebagai partner atau jangan-jangan kita hanya menganggapnya sebagai piala, sebagai pajangan yang meningkatkan citra kita.  Mari kita berpikir lebih adil lagi dalam memandang manusia. Terutama wanita. :)


Sekian.
Ditulis sejak Maret 2011. 
 ..

oh iya, Di sini saya bukan ngekick lho, cuma meragukan, mempertanyakan. Penggunaan kata ganti kita sepertinya dapat mengartikan bahwa saya pun termasuk sebagai subjek yang terlibat.

2 komentar

baghendra mengatakan...

perasaan kemaren "ditulis sejak februari" kok berubah ki? (apa gw yang salah liat)

"kalau menurut saya, yang membuat seseorang wanita itu cantik adalah pasangannya", gw suka quotes ini nih, mantap...

terlalurisky mengatakan...

iya di ganti dra. setelah di pkir ternyata Maret yng bner....

Posting Komentar

© blogrr
Maira Gall