(ditulis untuk Nirmana Award, dimuat di Market Plus Magz)
Penggunaan desain dalam komunikasi ditandai dengan munculnya mesin cetak Guttenberg pada pertengahan abad 15. Setelah itu, revolusi industri pun membuat perkembangan teknik cetak dan duplikasi semakin genjar. Alhasil, media komunikasi non-verbal seperti poster dan selebaran digandrungi. Dari situlah kebutuhan akan desain grafis pun kian dirasakan guna menciptakan bentuk komunikasi visual yang efektif dan tepat sasaran.
Hingga pada awal abad 19 Perang Dunia pecah menjadi muara konflik kepentingan masyarakat dari revolusi industri. Di situasi Perang Dunia ini lah desain grafis mulai banyak digunakan untuk oleh para penguasa untuk menyebarkan doktrin-doktrin kepada masyarakatnya. Ya, selain senapan dan dinamit, desain pun menjadi senjata. Peluru yang dilontarkannya berupa poster-poster propaganda yang menyerang serta memanipulasi ruang pikiran rakyat luas.
Salah satu poster propaganda yang terkenal di era itu adalah poster karya James Montgomery Flagg. Poster tersebut bergambar diri James tengah menunjuk ke arah depan. Ia memakai pakaian khas Presiden Abraham Lincoln serta memakai topi bercorak bendera Amerika Serikat. Headline pada poster itu adalah “I Want You For U.S Army”. Isi poster itu adalah seruan kepada pemuda-pemuda Amerika Serikat untuk bergabung di pasukan militer. Dari poster itu pun akhirnya banyak pemuda yang mendaftarkan diri untuk gabung di militer.
Masih banyak bentuk propaganda lainnya yang banyak disebar pada perang saat itu. Tak hanya yang mengangkat isu militer dan politik. Selain untuk mengiklankan produk-produk komersil, poster dan publikasi yang mengangkat isu sosial dan kemanusiaan pun banyak terlihat mewarnai tiap dinding kota.
Hal ini secara tegas menjadi bukti bahwa desain mempunyai kekuatan untuk membawa perubahan. Melalui desain, materi visual bisa menjadi suatu bentuk komunikasi yang memiliki dampak signifikan. Desain, sebagaimana fungsi dasarnya, adalah alat untuk memecahkan masalah, untuk menghasilkan sebuah fungsi baru dari suatu hal sehingga bisa digunakan untuk mencapai tujuan.
Pada ranah komersial atau bisnis, desain komunikasi visual digunakan untuk memersuasi khalayak untuk membeli produk yang ditawarkan. Sementara di ranah sosial dan kemanusiaan, desain dapat digunakan untuk menyebarkan asupan positif kepada masyakarat luas yang hasil akhirnya adalah suatu pergerakan dan atau perubahan.
Berpijak pada gagasan tersebut, jauh setelah Perang Dunia berakhir, sepasang suami istri yang merasakan ada suatu ketimpangan yang terjadi di tanah Indonesia ini pun menggagas sebuah gerakan dengan menjadikan desain komunikasi visual sebagai motornya.
Adalah Iwan dan Indah Esjepe, dua praktisi dunia komunikasi dan kreatif, yang mengusung suatu gerakan yang mencoba untuk mengarahkan persepsi serta pemikiran rakyat Indonesia ke arah yang positif. Mereka berdua sepakat untuk mengatakan bahwa Indonesia sedang dalam situasi terpuruk entah itu situasi pemerintahnya mau pun keadaan rakyatnya yang kian kehilangan rasa kecintaan kepada negerinya sendiri. “Keadaan Indonesia memang terpuruk. Indonesia memang menyedihkan, tapi kalau terus bersedih tidak akan membawa perubahan. Indonesia harus bertindak,” ungkap Iwan menjelaskan.
“Kami capek melihat berita negatif yang selalu disiarkan media. dari pada marah-marah lebih baik kita beraksi. Karena kami basic-nya komunikasi, maka kami pun berpikir untuk membuat campaign,” Indah menambahkan.
Ya, berawal dari kemarahan, akhirnya mereka melancarkan gerakan yang diberi nama Indonesia Bertindak ini. Campaign awal yang digagas ialah menyebarkan propaganda Travel Warning: Indonesia Dangerously Beautifull. Propaganda yang disebar dalam bentuk stiker dan T Shirt itu bermaksud untuk mengubah persepsi masyarakat internasional tentang keadaan alam Indonesia “Saat itu isu bencana alam kerap disebarkan oleh media, hasilnya wisatawan jadi enggan datang ke sini. Melalui campaign ini kami ingin memberi tahu kalau keindahan alam Indonesia itu luar biasa. Indonesia memang bahaya, bahaya indahnya,” ujar Iwan.
Desain propaganda ini terbilang sangat sederhana. Hanya rangkaian teks dengan jenis font balok dan besar lalu dibubuhi peta Indonesia di antaranya. Namun, hasil paduan kemampuan mengolah kata yang dimiliki Iwan dan skill desain grafis Indah ini menghasilkan efek yang luar biasa.
“Antara copy dan desain saling mendukung. Kita tidak membutuhkan desain yang hingar-bingar, karena ini bukan sekedar desain melainkan movement. Yang kita cari adalah impact,” jelas Iwan.
Kita pasti sepakat untuk menyebut bahwa permainan kata di sini menjadi kuncinya. Mereka memutar balik persepsi kata dangerous yang biasanya berkonotasi negatif dan destruktrif menjadi hal positif yang memiliki kadar berlebih dan sangat memukau.
Tak butuh waktu lama untuk melihat impact yang diharapkan. Selang beberapa bulan setelah awal gerakan, terasa benar banyak perubahan, apalagi untuk melancarkan aksinya ini Iwan banyak dibantu oleh berbagai pihak “Setelah itu banyak yang tertarik untuk ikut menyebarkan stiker, termasuk orang-orang Indonesia yang ada di luar negeri,” kata Iwan. Pastinya, sektor pariwisata Indonesia pun kembali sehat dengan kembalinya anggapan positif dari masyarakat luas.
Tak berhenti di situ, Indonesia Bertindak pun terus mencari solusi dari permasalahan lainnya yang sedang menerpa bangsa Indonesia ini. Melalui penyebaran stiker “Kecerdasan Tanpa Etika Tidaklah Elok” misalnya, Indonesia Bertindak bermaksud mendidik masyarakat untuk menggunakan kecerdasan serta intelektualitasnya untuk hal yang bermanfaat bukan malah digunakan untuk menipu seperti yang dilakukan oleh para pejabat-pejabat negara yang korup.
Bersamaan dengan Indonesia Bertindak, gerakan-gerakan serupa yang ingin mendongkrak nasionalisme bangsa lewat komunikasi visual pun satu per satu muncul. Seperti gerakan Hiduplah Indonesia Raya, Kementerian Desain Republik Indonesia dan Gantibaju.com yang mengusung kaos-kaos yang menyuarakan semangat kecintaan terhadap Indonesia.
Melihat fenomena ini pun Iwan merasakan betul peningkatan nasionalisme masyarakat “Dulu untuk mengajak orang untuk pakai baju bergambar burung garuda itu susah sekali. Orang lebih memilih baju dengan gambar mick jagger dan lidah meletnya. Tapi lihat sekarang , sudah banyak banget distro-distro yang menjual baju-baju bertema nasionalisme. Artinya kita sudah berubah,” ungkap Iwan
Desain sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Maka, begitu pula lah seorang desainer, yang harus bisa membawa manfaat bagi lingkungan sekitarnya. Jika perusahaan-perusahaan besar selalu menyisihkan keuntungannya untuk membuat rangkaian program Corporate Social Responsibility, maka seorang desainer pun mesti menyumbangkan daya kreasinya untuk mencipta bentuk komunikasi visual yang membawa efek positif bagi masyarakat.
Iwan, sebagai seorang yang sudah 20 tahun menggeluti dunia kreatif pun menyatakan betapa pentingnya bagi para desainer untuk melakukan aksi sosial “Desainer itu nggak hanya bikin karya untuk dirinya sendiri. Desainer akan semakin tinggi nilainya ketika bisa berdampak untuk orang lain secara sosial. Buatlah desain yang bisa mengajak orang untuk tergerak melakukan hal positif,” tegas Iwan.
Pastinya, dengan melakukan aksi sosial ini, desain dan kehidupan pun akan semakin bersinergi. Saling membawa keuntungan.
“Setidaknya, ayo sisihkan 10 % hasil yang kamu dapat dari kegiatan komersil untuk gerakan sosial. Niscaya kita akan menikmati bukan hanya uang tapi juga kebahagiaan,” Iwan SJP
Tidak ada komentar
Posting Komentar