Saya sepakat dengan apa yang ditulis oleh Arief Adityawan dalam bukunya yang berjudul Tinjauan Desain Grafis. Pada subbab Perkembangan Fotografi ia menyebutkan bahwa setelah di tahun 1888 George Eastman menciptakan kamera Kodak yang sangat mudah dibawa, masyarakat pun mulai membiasakan diri membawa kameranya kemana mereka pergi. Adityawan menyebutkan bahwa sejak saat itu pendekatan orang dalam memotret pun setidaknya ada dua yaitu fotografi dokumentasi dan fotografi pictorial – fotografi yang mengedepankan nilai estetika.
Lantas, masih menurut Adityawan, di ranah dokumentasi pun ada beberapa motivasi ketika orang ingin memotret. Pertama, untuk memenuhi rasa ingin tahunya: seperti apakah realita yang ia alaminya jika dipotret. Kedua merekam secara kritis kondisi sosial masyarakat.
Sementara motivasi yang kedua itu bisa ditafsirkan sebagai fotografi jurnalistik, maka penafsiran saya pun menyebut bahwa motivasi memenuhi rasa ingin tahu tentang realitas yang terpotret itu adalah cikal bakal street photgraphy. Jika fotografi jurnalistik cenderung lebih serius dan punya kewajiban untuk memberitahu khalayak luas tentang sebuah fenomena dan memiliki kaidah atau etika tertentu maka street photography itu lebih ‘bermain-main’ tentang perekaman kenyataan. Bermain dengan ruang, tanda-tanda, serta interaksi manusia dan lingkungannya. Lalu, karena tidak memiliki banyak kewajiban, street photography pun menyediakan wadah yang besar untuk subyektifitas pemotret.
Di kalangan pehobi fotografi Indonesia – tempat wacana dan praktik fotografi tumbuh berkembang – istilah street photography itu datang sangat terlambat. Walau sudah akrab dengan istilah fotografi dokumenter, saya mengira kalau awalnya, kita, para pehobi fotografi, berasumsi bahwa ranah itu sebagai fotografi yang harus kritis merekam kondisi sosial masyarakat, harus punya pesan moral dan fenomenal. Itulah mengapa istilah pendekatan yang berkembang adalah fotografi jurnalistik dan human interest. Lantas, karena hobi fotografi hanya bisa dimiliki kalangan menengah ke atas, maka ihwal yang dianggap fenomenal dan perlu dikritisi adalah kehidupan masyakarat kelas bawah di perkotaan. Apalagi sekarang ini masyarakat indonesia banyak yang baru naik kelas sosial. Jurang pemisah antara si kaya-miskin masih terbentang luas di sini.
Namun, di luar pehobi-pehobi fotografi yang terjebak pada konstruksi internal itu, ada beberapa yang mengadopsi fotografi dokumentasi ala luar negeri yang mulai bermain-main. Tentunya, mengacu pada situs-situs fotografi yang dijadikan kiblat, istilah street photography pun dilabeli pada foto-fotonya. Seketika kita yang terbiasa dengan foto dokumentasi dengan pesan moral pun seperti kebingungan melihat foto-foto hitam putih di ruang publik yang kadang humoris, kadang sulit dimengerti, bahkan tak jarang hadir tanpa judul dan keterangan.
Jika dipersonifikasikan, street photography di Indonesia ialah remaja yang baru memasuki masa pubertasnya. Gejolaknya tiba-tiba meninggi, sedikit saja asupan diterima tak jarang dianggapnya sebagai jati dirinya sesungguhnya. Lantas, tak beda dengan remaja yang doyan berguyub, street photography juga lahir dan hidup di komunitas. Tentunya masing-masing komunitas punya ideologi dan definisinya sendiri-sendiri. Ada yang mensyaratkan hanya sekedar dilakukan candid dan di ruang publik, lalu menambahkan harus hitam-putih, menjadikan abstrak sebagai patokan, mewajibkan untuk berkiblat pada barat, atau juga yang memilih lepas dari syarat-syarat itu dan benar-benar serius bermain tanpa mau diganggu.
Seksualitas remaja juga bisa disininonimkan dengan street photography Indonesia. Coba lihat saja, ada pelakunya yang memilih masturbasi dengan teknik memotret dengan kamera yang high-end ala streetphotographer luar negeri (baca: Leica), menjiplak semua gambaran yang didapat dari situs-situs street photography dunia, lalu mengunggahnya ke jejaring social. Orgasme pun dicapai seiiring apresiasi semu itu bermuncratan. Padahal, idealnya adalah memilih sabar untuk mencapai orgasme lewat mimpi basah. Mengumpulkan segambreng referensi tanpa membuka ‘celana’ kamera buru-buru, lalu dihayati sungguh-sungguh semua unsur visual yang disajikan pada realita: budaya serta gaya hidup, pola interaksi antar manusia dan dengan lingkungannya, kontur geografi, dan lain-lain. Lantas lewat mimpi pun semua unsur-unsur keseharian di lingkungannya yang dihirup itu diolah. Baru setelah bangun kita ambil kamera lalu mencatat realita dengan kameranya, mencipta street photography rasa Indonesia.
......
terima kasih kepada Yohannes Prima yang udah kasih kesempatan kepada saya untuk menuliskan ini dan memuatnya di zine buatannya, Face Me, yang tengah mengulas Street Photography.
1 komentar
Tulisan yang menarik. Akan lebih bagus kalau dilengkapi dengan contoh foto-foto street photography ala Barat dan Indonesia untuk perbandingan.
Posting Komentar